Malam 19 Juni 2017 di sebuah hotel di Pontianak, Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus meluncurkan buku otobiografinya berjudul “Anak Kampung Jadi Uskup Agung.” Namun, di pagi hari, dalam Misa Pancawindu Tahbisan Imam di Seminari Tinggi Interdiosesan Antonio Ventimiglia, Siantan Hulu, Pontianak, Mgr Agus menguraikan pemenungannya tentang ‘anak kampung.’
Di hadapan umat dari 10 paroki dekanat Kota Pontianak serta sekitar 75 imam serta kaum Religius, Mgr Agus mengatakan tidak mengatasnamakan semua anak kampung, namun dirinya sendiri sebagai anak kampung mengalami banyak tantangan dan kesulitan luar dalam.
Meskipun sebagai uskup, prelatus itu mengaku suka minder dan tidak percaya diri. Ketika diangkat sebagai Ketua Komisi Kepemudaan KWI tahun 1997, uskup itu tetap merasa sebagai orang kampung di tengah uskup lain tamatan Roma, ada yang doktor dan sebagainya. “Anak kampung banyak efek positif negatif dalam hidup saya. Tapi saya melihat Tuhan mau memakai siapa pun, Tuhan tidak memilih orang hebat. Anak kampung pun punya harga, punya martabat, sama dengan orang lain. Kalau Tuhan mau, anak kampung, anak kota, anak desa, sarjana atau tidak, kaya atau miskin, akan Tuhan pakai.”
Diceritakannya, hidup orang kampung sungguh banyak menderita, bahkan malu menyebut nama kampungnya kalau ditanya orang. “Tapi, ketika sekolah saya merasa bukan main hebatnya anak kampung. Mereka tahu mana buah yang bisa dimakan dan mana daun yang bisa dijadikan obat.”
Sebagai bahan permenungan Mgr Agus mengatakan, anak kampung pun dipakai dan dicintai Tuhan. Selalu ada tantangan dalam perjalanan hidupnya, khususnya dalam membuat hal-hal besar, tetapi Tuhan tetap mengasihinya. “Kalau Tuhan tidak mencintai saya, saya tidak jadi seperti ini. Meski saya masih memiliki banyak kekurangan, masih bisa marah, masih keras hati, kadang-kadang tidak tahan diejek orang, saya melihat Tuhan mendampingi hidup saya, sehingga akhirnya bisa berdiri di sini merayakan 40 tahun imamat.”
Ungkapan tentang buku itu mau mengatakan agar orang kampung tidak usah takut menjadi imam, karena orang kampung pun bisa menjadi uskup agung. “Pendidikan imamat mutlak dan sentral dalam kehidupan Gereja, juga di Kalimantan dan Pontianak yang masih membutuhkan banyak imam,” kata Mgr Agus seraya meminta agar mengikuti teladannya yang bisa mengatasi banyak hal bukan ‘minumnya’. “Semakin sering disepu atau ditantang, semakin kelihatan ‘mas’ asli,” tegas Mgr Agus.
Misa, yang sengaja tidak dilaksanakan di katedral tapi di seminari karena intensi untuk panggilan imam dan derma untuk seminari, memperlihatkan kerja sama umat 10 paroki Dekanat Kota yang bukan saja menyiapkan makanan untuk sekitar 100 tamu dan umat yang hadir tapi juga persembahan dalam Misa.
Misa itu dimeriahkan oleh koor frater seminari tinggi. Tarian pembukaan dan persembahan menampilkan tarian adat Dayak dari sebuah sanggar. Sebelum berkat penutup, dengan saxosphone dan fluite, Didiek SSS dan putri tunggalnya, Calista, mempersembahkan untaian lagu “Ya Namamu Maria.” Mereka juga tampil dalam acara peluncuran buku itu di malam hari. Malam itu, Maria Sandy ikut membawa suasana syukur dengan membawakan lagu-lagu rohani.
Selain tamu-tamu dari Jakarta, Surabaya, Bali, Cirebon, dan Lampung, hadir juga teman-teman Mgr Agus saat tahbisan diakon di Kentungan, Ketua dan Divisi Humas dan Publikasi Paguyuban Imam-Imam Diosesan (UNIO Indonesia) Pastor Paulus Christian Siswantoko Pr dan Pastor Paulus Wirasmohadi Soerjo Pr, serta Uskup Agung Emeritus Pontianak Mgr Hieronymus Herculanus Bumbun OFMCap. Mgr Agus berterima kasih atas kehadiran Mgr Bumbun yang menahbiskannya 40 tahun lalu, dan memberikan potongan kue pertama kepada Mgr Bumbun.
Imam pribumi pertama ditahbiskan di Sekadau
Dalam siaran pers yang diedarkan hari itu diceritakan bahwa 40 tahun lalu, Diakon Agustinus Agus Pr menerima tahbisan imamat dari Mgr Bumbun sebagai imam pribumi pertama di Sekadau, “bak buah sulung yang ranum.” Pastor Agus lalu dikaryakan sebagai Kepala Paroki Senangak, Sekadau.
Waktu bergulir, lanjutnya, tugas mesti diemban, menggembalakan umat juga berarti mengenal umat. “Relasi dengan sesama imam pun dari kacamata iman menjadi hal yang meneguhkan panggilan meski sempat meredupkannya. Tantangan demi tantangan datang dan dihadapi, bahkan harus memadamkan kemelut di Sekadau.”
Dikatakan juga bahwa imam itu kemudian memilih belajar di Maryknoll School of Theology, University of the State of New York, USA. “Tentu bukan hal mudah dan mulus menyelesaikan studi di sana. Namun, dukungan sahabat dan keluarga melalui surat-surat menjadi kekuatan yang meneguhkan panggilannya. Pengalaman di luar negeri menggelitik pikirannya untuk membandingkan dengan realitas di tempat asalnya, Kalimantan Barat, khususnya Sanggau. Semangat menyeruak ingin mengajak bangkit umat yang selama ini masih tertidur, masih belum sadar, tersingkirkan, bahkan ketinggalan zaman dan terpuruk. Meyakinkan bahwa ‘kita’ juga pasti bisa.”
Keteguhan dan kesetiaan membawanya pada Panggilan Suci Vatikan sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Sintang, 21 Januari 1996. Namun, bukan hal mapan dan stabil yang dihadapi di Sintang ketika itu. “Kondisi Gereja dan umat yang terpecah mengharuskan Mgr Agus menemukan cara-cara untuk menata kembali Gereja dan umat. Tanggal 9 November 1999, Vatikan menyampaikan panggilan suci sebagai Uskup Sintang. Mgr Agus ditahbiskan oleh Yulius Kardinal Darmaatmaja SJ, 6 Februari 2000, saat usianya 50 tahun.”
Keuskupan Sintang dibenahi, mulai dari struktur keuskupan, keuangan, hingga hal-hal yang berkaitan dengan umat. Setahap demi setahap kekuatannya sebagai gembala bersama umat di Keuskupan Sintang nyata dalam banyak wujud pembangunan. Dibangunlah gereja-gereja hingga ke stasi-stasi, seminari, Tempat Wisata Rohani Bukit Kelam, Rumah Betang Baligundi, dan sebagainya.
Sebagai uskup yang rajin turne, kebersamaan dengan umat terasa begitu dekat. “Tidak salah jika dikatakan sebagai uskup yang mengumat. Semua umat mengenalnya dengan baik. Hobi berpantun, bekondan, main musik, mancing, menembak, olah raga, dan masak menjadikan Mgr Agus sebagai pribadi yang mudah bergembira di mana pun.”
Setelah 18 tahun, Tahta Suci memanggil Mgr Agus untuk melanjutkan karya kegembalaan di Keuskupan Agung Pontianak, 3 Juni 2014. Pengukuhan sebagai Uskup Agung dilaksanakan 28 Agustus 2014 di Gereja Santo Agustinus, Sungai Raya. Misa pengukuhan dipimpin Mgr Bumbun sebagai Uskup Agung Emeritus Pontianak dengan 16 uskup konselebran. Dalam Misa itu Nuntius membacakan bulla Paus Fransiskus yang menunjuknya sebagai Uskup Agung Pontianak, dan menyerahkan tongkat gembala.
“Menjadi uskup agung berbeda dengan uskup. Tantangan selalu datang ibarat gelombang yang selalu meraih pantai. Untuk itu, dukungan dan doa umat sangat diharapkan. Terlebih lagi, kondisi umat Keuskupan Agung Pontianak pun begitu beragam dengan beragam persoalan pula,” tulis siaran pers itu.
Untuk mengenang perjalanan imamat selama 40 tahun dan untuk memahami latar belakang budaya maupun pendidikan Mgr Agus, tanggal 19 Juni 2017 di Hotel Star diluncurkan buku “Anak Kampung Jadi Uskup Agung” karya Chatarina Pancer Istiyani. Buku setebal 348 yang telah dibaca oleh Daniel Dakhidae dan diedit oleh R Masri Sareb Putra itu diterbitkan oleh Penerbit OBOR, Jakarta. “Buku itu menawarkan inspirasi dan motivasi bagi siapa saja, terutama bagi kaum muda dan yang menghadapi masalah-masalah berat dalam perjuangan hidup.”
Apakah saya layak?
Tanggal 29 Juni 2014, nampak Mgr Agus berjalan paling depan dalam perarakan 24 uskup agung dari lima benua memasuki Basilika Santo Petrus Vatikan untuk menerima pallium dari Paus Fransiskus. “Ini peristiwa sangat luar biasa bagi saya. Seperti para pastor bertemu uskup dalam sakristi, demikian juga kita para uskup agung bertemu paus.”
Kalau kembali ke kampung halaman, kata Mgr Agus, dia akan bertanya, “Apakah saya layak menerima penghormatan seperti ini, melihat karakter saya yang keras kepala?” Mgr Agus bercerita tentang pengalaman pacaran, ancaman untuk dikeluarkan dari asrama dan wisma Narungkop dan Sekolah Tinggi di Jogya, bahkan beberapa minggu sebelum tahbisan “clash” dengan prefeknya. “Perjalanan saya untuk menjadi imam bukanlah sesuatu yang mudah,” tapi Mgr Agus kembali kepada motonya: “Tuhan adalah kekuatan umat-Nya dan benteng keselamatan bagi orang yang diurapi-Nya!” Mazmur 28:8 (paul c pati)