Peserta Pertemuan Pastores Keuskupan Agung Pontianak serentak terkejut mendengar informasi dari Sekretaris Uskup Agung Pontianak Pastor Pius Barces CB melalui microphone ruang pertemuan yang berkata, “Para saudara terkasih, saudara kita Pastor Mattheus Sanding OFMCap telah dipanggil Tuhan pukul 16.00 WIB. Mari kita doakan dia supaya beristirahat dalam damai dan kebahagiaan bersama Bapa di surga.”
Pertemuan di Rumah Provinsialat Kapusin yang menyatu dengan Rumah Retret Santo Fransiskus Tirta Ria di Kabupaten Kubu Raya itu dihentikan sejenak dan para imam dari 26 paroki dan peserta lain diijinkan datang ke kamar tidur Pastor Sanding. Di sana mereka melihat pastor yang dipanggil “kakek” itu terbujur kaku sambil duduk bersandar di ranjangnya dengan posisi berdoa, tangan terkatup di dadanya.
Meski sudah pensiun, Pastor Sanding mengikuti pertemuan pastores hari pertama , 31 Januari 2016, dan pagi hari kedua. Tapi sejak pukul 9 pagi, 1 Februari 2017, kakek tak lagi terlihat di kursinya. Saat makan siang, juga tidak muncul. Peserta menyangka kakek makan di rumah retret. Saat rehat kopi, pukul 3 sore, peserta mulai bertanya dan mencari. Sejam kemudian Minister Provinsial Kapusin Pontianak Pastor Amandus Ambot OFMCap minta agar mencari di kamar tidurnya.
Berita meninggalnya Kakek Sanding cepat menyebar, karena di sana banyak yang sedang menjalankan retret. Tak lama kemudian kompleks itu dipenuhi imam, kaum religius dan umat, juga Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus, dan adik kelas Kakek Sanding, Uskup Agung Emeritus Mgr Hieronymus Herculanus Bumbun OFMCap.
Setelah disemayamkan di Rumah Kapusin, putra Dayak kelahiran Nyandang, Rantau Parapat, Sanggau, 23 Desember 1935, itu dibawa ke Gereja Paroki Santo Agustinus, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Sesudah Misa requiem, kakek dimakamkan di Pemakaman Santo Yusuf Sungai Raya, 3 Februari 2017.
Di gereja itu pula tanggal 4 April 2016, imam Kapusin Dayak pertama “yang membuka jalan bagi masyarakat Dayak untuk turut membaktikan diri sebagai gembala” merayakan Misa Syukur 50 Tahun Tahbisan. Tahun 70-an, kakek yang pernah melayani banyak paroki itu, menempuh perjalanan dengan sepeda ontel dari Paroki Singkawang menuju Paroki Pemangkat dan Paroki Sambas, kemudian dari Sambas kembali ke Pontianak. Keseluruhan jarak tempuh itu sekitar 315 kilometer.
Kakek yang suka lucu dan gembira itu sudah menempuh jalan ke surga. Namun setelah hening sejenak sambil merenung Pastor Ambot percaya, dia sudah “Melakukan Kehendak Tuhan” sesuai moto tahbisan imamatnya, 5 Maret 1966.
“Sebagai biarawan Kapusin, setelah membaca moto tahbisannya, saya merasa dikuatkan dan diteguhkan untuk tetap tekun dan setia melakukan kehendak Tuhan. Saya cukup mengenalnya, karena kurang lebih delapan tahun bersama dia. Menurut saya, dia sungguh menghayati dan menghidupi moto itu dengan segala potensi dan kemampuan dirinya,” kata provinsial saat Misa Requiem terakhir.
Menurut provinsial, banyak tidak menyangka kematian itu. “Peserta pertemuan pastores pun sangat terkejut. Sehari sebelumnya Kakek Sanding masih ikut kegiatan pastores. Tak ada tanda dia sakit.”
Saat Misa penutupan peti jenazah, definitor Kapusin Pontianak Pastor Hermanus Mayong OFMCap menceritakan keunikan dan keutamaan kakek. Tapi yang paling menonjol, menurut provinsial “dia sederhana, tampil apa adanya, polos, jujur, pendoa dan pekerja, tak pernah mau diam, tidak tenang kalau tidak bekerja, meski kadang orang memandang pekerjaannya seperti tidak ada gunanya.”
Kakek tidak pernah melalaikan hidup doa, tegas Pastor Ambot. “Meski jam ofisi sudah lewat, dia akan lalukan nanti. Meski seakan-akan hanya kewajiban membaca doa ofisi, tapi dia merasa tak nyaman, masih kewajiban yang kurang.”
Meski sudah 80 tahun lebih, jelas provinsial, kakek memiliki semangat kerasulan luar biasa, dan setiap Sabtu Minggu bersemangat membantu Misa di paroki, dan setiap Natal dan Paskah mau berkerasulan di kampung hingga dua minggu. “Saya pikir inilah salah satu keutamaan yang patut menjadi teladan saudara-saudara Kapusin, para imam yang menjadi pelayan atau hamba Tuhan.”
Seorang wakil keluarga membenarkan bahwa kakek adalah orangtua yang selalu memberi motivasi, inspirasi dan semangat kepada para pastor, umat dan keluarga, dalam hidup keluarga, menggereja, dan pendidikan. “Saat bertugas di kampung, kakek memotivasi petani, dan pasti ada yang ditanamnya, ada ternak dipeliharanya, dan kolam ikan dibangunnya. Tak pernah istirahat setiap hari. Bangun pagi, sarapan, dan hilang. Kita cari ke belakang, sudah nyangkul.”
Maka yang kehilangan bukan hanya kapusin atau umat Katolik, “tapi kita keluarga, sangat-sangat kehilangan figur yang selama ini jadi teladan keluarga kita masing-masing. Motivasi dan nasihatnya memberi inspirasi dan mendorong kita untuk hidup baik dalam Gereja, keluarga dan masyarakat.”
Perwakilan Saudara Kapusin, yang banyak mengalami suka dan duka bersama kakek, pasti merasa kehilangan. “Tetapi kami yakin kamu membuka jalan bagi kami dan mendoakan kami yang sedang berjuang di dunia,” kata imam itu seraya menatap jenazah kakek dan memohon maaf atas kesalahpahaman dalam hidup bersama.
Dan “Gita Sang Surya” yang diciptakan Pendiri Kapusin Fransiskus Asisi terdengar dari mulut saudara-saudara kakek yang ditinggalkan, para biarawan Kapusin yang berdiri melingkari peti jenazahnya. Mereka bernyanyi antara lain:
“Pujian pada-Mu Tuhan karna saudara Maut
Darinya tidak luput insan makhluk
Seluruh dunia alam nan fana siap menghadapi
Maut nan berbahagia pawang alam baka” (paul c pati berdasarkan berbagai laporan)