Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Hibertus Hartono MSF mengatakan bahwa Gereja Katolik selalu mengharapkan agar orang Katolik tidak kawin campur, meskipun Gereja dihadapkan pada dua hal penting, tidak bisa melarang dan melindungi iman anggota.
“Kawin campur salah satunya berpotensi mengancam keutuhan keluarga meskipun sangat tergantung pada pribadi masing-masing,” kata Pastor Hartono dalam seminar setengah hari di Gedung Karya Pastoral (GKP) Paroki Santa Helena, Curug, Tangerang, 14 Februari 2016.
Seminar yang digagas oleh Seksi Kerasulan Keluarga, Couple for Christ (CFC), dan Komunitas Pria Katolik (KPK) itu diikuti sekitar 500 peserta, yang juga berasal dari paroki-paroki tetangga. Kepala Paroki Santa Helena Curug Pastor B Nono Juarno OSC juga hadir.
Sikap Gereja Katolik sesungguhnya menyarankan umat untuk tidak kawin campur. Namun, untuk pasangan yang terlanjur kawin campur, “Gereja Katolik tetap melakukan pendampingan,” kata Pastor Hartono seraya mengakui bahwa pasutri yang kawin campur mengalami kesulitan.
“Paus Paulus VI mengatakan, meskipun pernikahan beda iman agak “dilonggarkan’ namun bila terjadi akan berdampak terhadap keutuhan rumahtangga, karena sifat perkawinan Katolik, monogam, soal peneguhan perkawinan dan sakramentalis,” tegas imam itu.
Menurut Pastor Hartono, perkawinan ideal hendaknya dilandasi iman, dan yang lain menjadi tiang serta atap “sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.”
Selanjutnya, tegas imam itu, “cinta, rahmat dan komitmen merupakan bagian penting lainnya sebagai perekat yang menyatukan hidup berkeluarga, dan kisah tentang pesta perkawinan di Kana adalah simbol keluarga yang terselamatkan.”
Lebih lanjut dikatakan, cinta yang menjadi wujud kesatuan ditandai ciri-ciri kekaguman, kehadiran, dan tindakan. “Perasaan cinta bukan terpendam dalam hati melainkan diwujudkan dalam tindakan atau perbuatan nyata,” kata imam kelahiran Magelang itu.
Yang penting dalam berkeluarga menurut Pastor Hartono adalah komitmen. “Komitmen menjadi hal yang tidak boleh terpisahkan dari pasangan suami-istri, selain saling menghormati dan saling menghargai sehingga kebersamaan semakin sempurna serta saling bekerja sama.”
Monika Diana sudah lama berumah tangga. Sebelum menikah suaminya berjanji untuk menjadi Katolik, tetapi anak sudah empat janji itu tak pernah terwujud. Akibatnya, pembicaraan mengenai agama dalam rumah tangganya selalu diwarnai pertengkaran. “Setiap kali saya bawa tiga anak ke gereja, saya selalu berdebat dengan suami. Ia mau mereka ikuti agama yang dia anut,” kata umat Paroki Santa Helena itu.
Peserta juga mendengar pengalaman pernikahan beda agama antara Mayong Suryo Laksono dan Nurul Arifin, anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar. Meski berbeda iman mereka sudah menjalani hidup berumah tangga selama 24 tahun dua bulan.
Mayong mengakui, yang membuat mereka awet adalah komitmen. Mereka sepakat soal agama dan pendidikan anak diserahkan kepada Mayong, maka dua puteranya menjadi penganut Katolik. “24 tahun 2 bulan bukan karena saya hebat, tapi kami berdua selalu jaga komitmen,” kata Mayong.
Meskipun demikian Mayong menyarankan agar pasangan beda iman mempertimbangkan kembali hubungan mereka. “Berpikirlah lebih matang, jangan sampai terjadi masalah kemudian hari,” katanya.
Tapi Pastor Nono Juarno mengatakan “tidak ada yang salah kalau terlanjur menikah campur.” Gereja, tetap memberikan pendampingan terhadap pasangan itu “demi membangun keluarga bahagia dan sejahtera serta mendapatkan penddikan anak yang lebih baik,”’ kata imam itu. (Konradus R. Mangu)