Oleh Lukas Awi Tristanto*
Meski sudah berusia 50 tahun, dokumen Konsili Vatikan II tentang dialog atau hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen, Nostra Aetate (NA), masih relevan dan signifikan bagi pembangunan dialog antariman dan perdamaian di dunia ini, terkhusus di Indonesia.
Tanggal 28 Oktober 1965, mendiang Paus Paulus VI melalui Konsili Vatikan II mengesahkan dokumen yang menjadi rujukan umat Katolik dalam membangun dialog dan perdamaian antariman. Apa yang signifikan dan relevan dengan kondisi Indonesia? Adakah sesuatu yang paralel dari dokumen ini dengan berbagai tradisi agama dan iman yang hidup di Indonesia bahkan dunia?
Saya mengamati, yang menarik, melalui dokumen ini, Gereja Katolik mengajak umatnya untuk menghormati agama-agama dan tradisi-tradisi iman yang ada. Bahkan dikatakan secara eksplisit dalam artikel 2, “Gereja Katolik tidak menolak sesuatu pun yang dalam agama-agama ini benar dan kudus. Dengan penghormatan tulus ia memandang cara-cara bertindak dan hidup itu, norma-norma dan ajaran yang meskipun dalam banyak hal berbeda dengan yang dianutnya dan tak dikemukakannya sendiri; tetapi tak jarang mencerminkan pantulan Kebenaran, yang menerangi semua orang.”
Bahkan artikel 5 berbicara tentang penolakan setiap diskriminasi, “…Gereja menolak setiap diskriminasi atau penindasan terhadap manusia karena alasan ras atau warna, status atau agama sebagai bertentangan dengan semangat Kristus.”
Saya yakin, pernyataan atau semangat semacam itu juga ada dalam agama atau pun tradisi-tradisi iman yang lain. Maka, jika semangat-semangat itu disatukan dan bermuara dalam satu perjumpaan, tentu peradaban kasih yang diwarnai persaudaraan akan terjadi.
Sayangnya, yang justru terjadi tak selalu mulus menuju peradaban kasih. Alih-alih membangun persaudaraan, oknum tokoh-tokoh agama justru menyerukan kebencian. Mereka mengajak pengikutnya untuk membenci dan memusuhi orang yang tak seagama bahkan tak sealiran dengan mereka, bahkan kalau perlu kekerasan pun dilakukan.
Di tahun 2014, SETARA Institute mencatat 134 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan 177 bentuk tindakan yang tersebar di 26 provinsi. Sedangkan di tahun 2013, lembaga yang sama mencatat 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan 292 bentuk tindakan yang tersebar di 20 provinsi.
Dalam kondisi seperti itu, dokumen NA menjadi signifikan dan relevan dalam membangun dialog dan perdamaian di Indonesia. Melalui ajakan untuk tidak menolak bahkan memusuhi agama atau tradisi iman yang berbeda, dokumen ini menjadi inspirasi yang kuat bagi pembangunan perdamaian.
Tugas bersama para tokoh lintas iman adalah mencari semangat yang paralel terkait penghormatan terhadap umat dari agama dan tradisi iman yang berbeda. Hal ini memang bukan perkara mudah mengingat lembaga agama maupun ormas-ormas berbasis agama kerap mempunyai kepentingan-kepentingan sesaat yang tak jarang mengganggu hubungan antaragama dan tradisi lintas iman.
Searah dengan semangat NA, supaya menghormati secara tulus pada yang berbeda, diharapkan semangat itu pun terjadi pada para tokoh-tokoh agama untuk menyadari cara beragamannya. Diskresi cara beragama itu sampai menukik pada cara hadirnya yang baru yakni lebih menunjukkan keramahan daripada kemarahan dan ketertutupan. Lebih tulus berelasi daripada berakal bulus. Lebih suka membangun dialog daripada merusaknya.
Indonesia adalah negeri yang amat plural. Aneka ragam agama dan budaya merayakan perbedaan. Dalam terang NA, pluralitas itu bisa menjadi ajang belajar mencari pantulan kebenaran, yang menerangi semua orang. Perbedaan bukanlah ancaman yang memiskinkan, namun media untuk saling menimba spiritualitas perdamaian dan media untuk berkaca pada cara beragama kita sendiri.
Dengan demikian, perbedaan sebenarnya merupakan media untuk saling memperkaya spiritualitas perdamaian yang berujung pada peradaban kasih, yakni ketika semua orang apapun latar belakangnya tidak menjadi korban diskriminasi dan penindasan. Selanjutnya, perbedaan menjadi media untuk membangun kerjasama mencari solusi atas aneka persoalan ketika masing-masing agama atau tradisi iman mustahil untuk melakukannya sendiri.
Permasalahan akut yang menghantui Indonesia selama ini setidaknya ada tiga yakni, korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup. Ketiganya mustahil untuk diselesaikan lembaga agama tertentu sendirian. Di sinilah sebenarnya, berbekal dengan semangat yang paralel mengenai membangun dialog dan perdamaian dari masing-masing agama dan tradisi iman, terbukalah peluang kerja sama membangun peradaban kasih yang berujung pada persaudaraan semesta, yakni terjaganya relasi antara Tuhan, sesama manusia dan lingkungan hidupnya.***
- Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan dari Keuskupan Agung Semarang