Oscar Romero adalah “terang bagi bangsa-bangsa dan garam dunia. Meskipun orang-orang yang menganiaya dia telah menghilang dalam bayangan kelupaan dan kematian, namun kenangan akan Romero terus hidup dan terus menghibur orang miskin dan orang terpinggirkan di bumi.”
Inilah kata-kata Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus Kardinal Angelo Amato dalam homilinya saat Misa Beatifikasi Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero di San Salvador. Beatifikasi, yang berlangsung hari Sabtu, 23 Mei 2015, itu dihadiri ribuan orang yang menantikan peristiwa bersejarah itu, demikian laporan Zenit.org dari San Salvador, 25 Mei 2015.
Pada awal Ekaristi, Presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga dan Postulator Pagelaran itu Uskup Agung Vincenzo Paglia membacakan biografi dari beato baru itu. Kemudian formula Beatifikasi dibacakan, pertama-tama dalam bahasa Latin kemudian dalam bahasa Spanyol. Pesta Beato Romero akan dirayakan tanggal 24 Maret. Dalam perayaan Ekaristi itu diperlihatkan juga relikui dari Beato baru itu: kemeja berlumuran darah yang dia kenakan di hari kemartirannya.
“Siapa Romero itu? Bagaimana dia mempersiapkan kemartiran?” tanya Kardinal dalam homilinya. Kardinal lalu menjawab dengan menjelaskan bahwa dia adalah “seorang imam yang baik dan seorang Uskup yang bijaksana,” tapi “terlebih-lebih dia adalah seorang berbudi luhur.” Sesungguhnya, “dia mengasihi Yesus, dia memuja-Nya dalam Ekaristi, dia memuliakan Perawan Maria Yang Mahakudus, dia mencintai Gereja, dia mencintai Paus, dan dia mencintai umatnya.”
Justru karena itu, kemartirannya “bukanlah sebuah improvisasi, tetapi memiliki persiapan panjang. Romero, sebetulnya, sama seperti Abraham, seseorang yang memiliki iman mendalam dan harapan yang kuat,” jelas Kardinal.
Kardinal Amato mengingat kembali kata-kata dari Beato baru itu yang dia tulis dalam buku catatannya sebelum ditahbiskan imam: “Tahun ini saya akan memberikan sumbangan besar bagi Allah! Ya Allahku, bantulah saya; persiapkanlah saya. Engkau adalah segalanya, saya tidak dan belum menjadi apa-apa, cinta-Mu menginginkan aku menjadi banyak. Dengan kesegalaan-Mu dan ketidak apa-apaan saya kita akan berbuat banyak!”
Kardinal juga mengingat kembali suatu peristiwa yang menandai Romero: pembunuhan Pastor Rutilio Grande, seorang imam Yesuit dari Salvador, “yang meninggalkan tugas sebagai pengajar universitas untuk menjadi pastor paroki para petani, orang tertindas dan terpinggirkan.” Pembunuhan ini “menyentuh hati Uskup Agung itu. Dia menangis duka cita atas kematian imam-imamnya seperti seorang ibu menangisi kematian anaknya sendiri.”
Sejak hari itu, bahasanya menjadi lebih eksplisit dalam membela orang-orang tertindas dan imam-imam yang teraniaya, meskipun dia harus menerima ancaman setiap hari, demikian pengamatan Kardinal Amato.
Juga dikatakan bahwa keberpihakan Uskup Agung Romero kepada kaum miskin “bukanlah ideologis tetapi evangelis. Amal kasihnya juga meluas kepada para penganiaya. Dia menasehati mereka untuk berubah menjadi orang baik. Dia memastikan pengampunan bagi mereka.” Dia biasa bersifat penuh belas kasih; kemurahan hatinya dalam memberikan kepada mereka yang meminta itu total dan berlimpah. Dia memberikan kepada siapa pun yang meminta, lanjut Kardinal.
Prefek itu menunjukkan bahwa amal kasih pastoral Romero “secara luar biasa menanamkan kekuatan dalam dirinya.” Dia tidak menjadi kecil hati karena ancaman dan kritik yang dia terima, tapi terdorong untuk bertindak tanpa dendam, tegas Kardinal Amato.
Akhirnya, kardinal itu mengatakan bahwa Romero “bukan simbol perpecahan tetapi perdamaian, kerukunan dan persaudaraan.” (paul c pati berdasarkan Zenit.org)
Keterangan foto dari atas: Kardinal Angelo Amato memimpin perayaan beatifikasi, kanvas dengan gambar besar Uskup Agung Oscar Romero tergantung di depan Teater Nasional San Salvador, suasana ribuan umat Katolik saat perayaan kanonisasi, relikui pakaian berdarah dari Uskup Agung Oscar Romero