Selesai berdoa rosario, sekelompok umat Katolik Mbesi, Paroki Banteng, Sleman, yang sedang berlatih koor diserang sekelompok warga seraya meneriakkan nama Allah. Mendengar dan membaca informasi terkait peristiwa kekerasan di rumah Julius Felicianus, Direktur Galang Press itu, Pastor Aloys Budi Purnomo Pr langsung meluncur dari Semarang ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
Setelah menempuh perjalanan sekitar empat jam, cerita pastor yang bertugas sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (HAK KAS), dia tiba di rumah sakit. Meski bukan jam bezoek, imam itu diijinkan masuk dan berjumpa dengan Julius yang sedang menerima telepon sambil duduk di atas ranjang.
Pastor yang juga pemimpin redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan, itu mengamati mata kanan Julius memar. Tulang bahu sebelah kiri patah. Kepala dekat telinga kiri dijahit dan diperban. Semua itu akibat pukulan, tendangan, lemparan batu dan tebasan senjata tajam ke tubuhnya.
Selain Julius, tiga orang lain menjalani rawat inap akibat diserang. Ketua Komisi HAK KAS itu menyerukan agar pihak berwajib dan pemerintah menindak tegas dan mengusut tuntas kasus itu.
“Akankah seruan keadilan demi terwujudnya damai sejahtera dan kerukunan terus lenyap seperti angin di padang gurun negeri yang Presiden dan Pemerintahannya selalu bungkam dan tidak bertindak tegas terhadap semua kasus serupa yang telah terjadi? Sampai kapan hal ini akan terus menjadi bahaya laten yang setiap saat meletup tanpa ada penanganan yang serius? Apa respons para Capres-Cawapres atas kasus intoleransi ini?”
Namun, selain keprihatinan, bela rasa dan solidaritas bagi para korban dan keluarga, imam itu berdoa agar para korban kian teguh dalam iman, harapan dan kasih. “Tetesan darah para korban telah mengobarkan semangat kemartiran di Tanah Air Indonesia sebagai murid-murid Kristus.”
Dalam siaran pers yang dibagikan, Pastor Budi bersama para korban juga menyerukan pengampunan terhadap para pelaku. “Semoga para pelaku kekerasan dicurahi Roh Kudus dengan pertobatan dan kelemahlembutan, keramahan bukan kemarahan terhadap perbedaan iman dan agama, memiliki sikap hormat terhadap kebebasan beragama dan beribadah.”
Pertobatan dan pengampunan disertai silih, kata siaran pers itu, maka, “kami menyerukan agar pihak aparat dan pejabat terkait menegakkan hukum menurut rasa keadilan yang benar terhadap pelaku dan tetap melindungi serta mengayomi para korban dan keluarganya dengan rasa aman dan perlindungan.”
Imam itu berdoa agar Yesus Kristus melimpahkan berkah kepada para korban bersama seluruh anggota keluarga dan mengampuni para pelaku. “Semoga Tuhan mengubah ratap tangis dan dukacita ini menjadi sukacita pewartaan Injil. Damai-sejahtera bagi bangsa kita semakin diwujudkan. Kerukunan dan persaudaraan sejati dengan semua pihak kian diwujudkan.”
Berikut ini PEN@ Indonesia menurunkan kisah yang Pastor Aloys Budi Purnomo Pr juga bagikan ke berbagai milis:
Mendengarkan kisah yang disampaikan Julius yang dikenal baik di masyarakat dan terlibat dalam banyak kegiatan lintas iman di tempat dia tinggal, serangan yang dia alami sungguh brutal dan sadis.
“Saya sudah jatuh tersungkur, entah bagaimana jadinya seandainya saya tidak bisa menghindar. Kepala saya mungkin sudah pecah tertimpa pot dan batu yang dilemparkan ke arah kepala saya. Mereka berteriak: Bunuh! Allahu Akbar! Untunglah saya diselamatkan dua orang polisi yang ada di lokasi. Mereka melempar saya ke dalam rumah dan menutup pintu rumah saya,” tutur Julius.
Serangan yang menimpa Julius sekitar pukul 21.20 adalah serangan kedua di malam tanggal 29 Mei 2014. Julius pulang ke rumah karena mendapat telepon dari Rico, anaknya, bahwa sekelompok orang melempari rumahnya, saat sekitar 15 orang di rumahnya sedang latihan koor setelah berdoa rosario.
Serangan pertama sekitar pukul 20.30. Nur Wahid bersama Tiara yang berusia 8 tahun duduk di teras rumah Julius untuk menjemput Weny, istrinya yang ikut berdoa rosario dan latihan koor. Tiba-tiba serombongan orang berjubah dan celana komprang datang menyerbu dengan lemparan batu dan alat setrum. Wahid yang kepalanya sudah bocor berdarah-darah akibat terkena lemparan batu masih menerima setruman di tangannya. Dia dikeroyok tiga orang yang menghajar wajahnya. Tiara yang ada di pelukannya tak luput dari serangan alat setrum di tangannya. Anak kelas dua SD Kanisius Sengkan itu masih trauma dan dirawat di RS Panti Rapih bersama ayahnya. Wahid melihat istrinya keluar sambil berteriak-teriak. Dia meminta istrinya masuk ke dalam rumah bersama Tiara.
Setelah itu, Wahid lari meminta pertolongan orang kampung sambil teriak-teriak, “Tolong saya diserang laskar…” Dia yang terus berdarah langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Sementara itu, Rico, anak Julius, berhasil menyembunyikan belasan umat di dalam gudang. Tadinya mereka mau disembunyikan di kamar mandi, namun terlalu sempit. Mereka itu sebagian besar ibu-ibu dan tiga orang anak serta seorang nenek. Mereka bersembunyi di dalam gudang itu sekitar satu jam sampai polisi datang ke TKP.
Sementara itu, Rico mencoba menghubungi ayahnya. Dia sendiri sempat menjadi sasaran orang-orang brutal itu, namun berhasil lolos karena meminta ampun saat mendengar teriakan “Bunuh!” Dia lari meminta pertolongan ke tetangga dan menghubungi Julius.
Malam itu, Julius sedang berada di Kantor Penerbitan Galang Press tempat dia bekerja sebagai direktur, karena ada doa bersama lintas agama menyambut Pilpres 2014. Mendengar kabar bahwa terjadi serangan brutal di rumahnya, Julius meluncur menuju rumah bersama dua orang Polda DIY.
Sesampai di rumah, keadaan senyap. Wahid dirawat di rumah sakit terdekat. Belasan umat yang sebagian besar ibu-ibu masih bersembunyi di gudang. Tak lama setelah itu, rombongan penyerang datang lagi dan saat itulah Julius menjadi sasaran mereka! Syukurlah, Julius bisa diselamatkan kendati kepalanya bocor dan tulang bahunya patah.
Serangan pertama dilakukan oleh 10 orang. Serangan kedua oleh 8 orang. Pada serangan kedua, Michael, wartawan KompasTV, juga menjadi sasaran amuk massa brutal. Michael yang sempat menyuting serangan terhadap Julius menjadi sasaran. “Handycam” direbut setelah dia sendiri dipukuli oleh empat orang yang sadis dan bengis itu. Sempat terjadi dialog antara Michael dan mereka. Meski dia mengaku wartawan, toh tetap dihajar juga.
Kita bertanya-tanya, apa motif penyerangan itu? Intoleransi atas kebebasan ibadah? Atau ada motif lain yang bersifat politis?
Sebetulnya, sejak 1 sampai 28 Mei, di rumah Julius sudah diselenggarakan doa rosario dan tidak ada masalah. Kalau memang motifnya intoleransi, mengapa serangan baru dilancarkan di hari ke-29? Yang jelas aksi brutal itu tidak merupakan tindakan spontan melainkan terencana. Bahwa mereka datang menyerang dengan batu, alat setrum dan senjata tajam, itu indikasi keterencanaan aksi tersebut. Bahwa mereka mengenakan jubah dan celana komprang serta teriakan-teriakan khas keagamaan tertentu, itu mengindikasikan radikalitas dan fanatisme tertentu. Disadari atau pun tidak, ada motif intoleransi di situ.
Ada kecurigaan motif politik terkait dengan kegiatan Julius sebagai tim jaringan relawan untuk Capres Jokowi. Rencananya, Senin, 2 Juni 2014 akan ada aksi menghantar Jokowi menghadap Sri Sultan HB X. Julius sendiri sebelumnya menjadi Tim Sukses pemenangan GKR Putri Hemas dalam Pileg yang lalu.
Apa pun motivasi penyerangan itu, kita tidak pernah setuju bahwa kekerasan menjadi cara bergaul di negeri ini. Aparat Kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini! Jangan biarkan pelaku kekerasan seperti itu berkembang di negeri ini. Kita sedih menyaksikan aksi serupa terus terulang!
Para pelaku penyerangan bukan orang baru. Beberapa dari mereka dikenali nama dan aktivitasnya. Bahkan dua di antara mereka adalah tetangga di depan rumah Julius. Bahkan lagi, salah satu adalah bekas mahasiswa Julius.
Menurut penuturan Sumadi yang sempat saya jumpai di RS Panti Rapih, mereka sudah beberapa kali bikin ulah di perumahan maupun di masyarakat. Bahkan sempat hendak diusir oleh warga. Sumadi mengenal mereka. Wahid juga mengenal mereka.
Maka, tunggu apa lagi, para aparat terhormat, mengapa mereka tidak ditindak tegas dan diusut tuntas? Jangan biarkan masyarakat dicekam rasa cemas akibat ulah pelaku kekerasan brutal dan jaringannya? Bila tidak, mereka akan menjadi gerombolan anak macan yang siap menerkam siapapun, termasuk pawang-pawangnya!***
Keterangan foto: foto pertama dan kedua adalah Julius Felicianus yang diambil dari halaman facebook miliknya dan foto ketiga adalah Pastor Aloys Budi Purnomo Pr yang diambil dari blog Triwidodo