Paroki akan taat kalau uskup katakan tak boleh pakai merah

15
16169

DSCN0980

Misa inkulturasi Imlek atau Tahun Baru Cina di Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB) Tangerang sudah dirayakan tanggal 4 Februari 2014, namun perayaan yang diangkat oleh PEN@ Indonesia itu menimbulkan banyak pertanyaan umat soal warna kasula serta warna altar yang semuanya serba merah.

Sesuai kalender liturgi, perayaan itu dilaksanakan pada hari biasa, maka seharusnya imam yang memimpin Misa itu mengenakan pakaian berwarna hijau, demikian juga kain yang menutup altar. Dalam tata liturgi, warna merah digunakan pada Misa untuk mengenang atau menghormati para martir.

Konselebran Misa itu, Pastor Dismas Tulolo SJ, menjelaskan kepada PEN@ Indonesia, 11 Februari 2014, bahwa warna merah “sesungguhnya melambangkan kegembiraan dan sukacita bagi keturunan Tionghoa, dan dikenakan bukan hanya dalam suasana Imlek tapi juga dalam upacara perkawinan.”

Maka, pastor rekan di Paroki HSPMTB itu mengakui bahwa warna pakaian dalam Misa 4 Februari itu tidak sesuai dengan liturgi Gereja Katolik. Namun, imam kelahiran Makassar itu berpandangan, dalam inkulturasi ada “perlakuan-perlakuan” berbeda yang diberikan. “Pengecualian penggunaan pakaian merah dimungkinkan dalam liturgi Gereja Katolik, artinya boleh menggunakan pakaian warna merah,” dalam Misa Inkulturasi Imlek, kata imam itu.

Paroki HSPMTB Tangerang adalah bagian dari wilayah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Maka, tegas imam keturunan Tionghoa itu, Paroki HSPMTB harus tunduk kepada uskup sebagai pemimpin umat Katolik di KAJ. “Seandainya uskup agung KAJ mengatakan tidak boleh menggunakan lagi pakaian warna merah, maka paroki kami siap untuk tunduk atau taat,” kata imam itu.

Imam yang pernah belajar Bahasa Mandarin di Cina dan pernah bertugas di Sumatera Utara itu mengatakan pernah mendapat “protes” dari umat berkaitan dengan penggunaan kasula warna merah. “Di kalangan warga Tionghoa sendiri ada yang menerima kasula merah dan ada yang menolak kasula merah dalam Misa Imlek. Berarti, tak semua warga Tionghoa menyetujui penggunaan kasula dan atribut lain berwarna merah. Alasannya, tidak sesuai dengan warna liturgi Gereja Katolik,” kata Pastor Dismas.

Namun, imam itu menyerahkan kembali semua itu kepada Uskup Agung Jakarta. Jikalau Uskup Agung  Jakarta mengatakan harus menggunakan warna tertentu, misalnya kuning emas, pihaknya pasti mengikutinya. “Kalau uskup tidak keberatan dengan warna merah, kita bisa memakai warna merah,” kata Pastor Dismas Tulolo seraya menambahkan bahwa rata-rata umat merasa bahagia dalam Misa Imlek.

Sarana dalam Ekaristi Kudus, lanjut imam itu, sejatinya membantu umat untuk memuji dan memuliakan Tuhan. “Maka setiap kali merayakan Misa Imlek, kami melakukan evaluasi, baik panitia, umat dan para imam di paroki. Seandainya sarana tersebut tidak cocok dengan iman Katolik maka dihilangkan. Seandainya sarana yang dipakai dalam liturgi tidak membantu umat melakukan perjumpaan dengan Allah, hal itu perlu dihilangkan,” tegas imam itu.

Pastor Dismas membandingkan kehidupan menggereja di Indonesia dengan di negara Cina. Misa Imlek di Indonesia, kata imam itu, lebih meriah daripada Misa Imlek di Hongkong atau Cina. “Kalau di sana, selesai misa langsung makan-makan, sedangkan d sini selesai Misa masih ada pertunjukan barongsai dan acara hiburan lainnya.”

Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Pastor Dismas memang seringkali diminta merayakan Misa Imlek, maka dia mengaku selalu berusaha untuk terus memperbaiki dengan terus membaca, mencari informasi tambahan, dan membuat evaluasi, agar Misa Imlek membawa suka cita bagi seluruh umat.

Mungkin untuk membawa suka cita, cerita imam itu, ada paroki di Jakarta bahkan pernah memasukkan barongsai di dalam gereja sebelum Misa dimulai, dan pastor di paroki itu merasa tidak menjadi masalah karena bukan masuk dalam liturgi Ekaristi. “Jadi intinya, hal-hal seperti itu harus dijelaskan kepada umat yang hadir, sehingga tidak menimbulkan pertanyaan.”(Konradus R Mangu)***

Keterangan Foto: Pastor Dismas Tulolo SJ, Foto oleh Konradus R Mangu 

15 KOMENTAR

  1. “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? … Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri. … Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” – Yesus Kristus (Matius 15:3, 6, 9)

  2. Boleh di postingkan disini pater,dimana di tuliskan bahwa yang mengatur warna liturgi merupakan kewenangan Uskup?

    Barongsai masuk Gereja?
    Pada saat apakah tepatnya?saat bersamaan dengan perarakan?bila iya,bukankah perarakan sudah termasuk TPE?

  3. bahwa warna merah “sesungguhnya melambangkan kegembiraan dan sukacita bagi keturunan Tionghoa, dan dikenakan bukan hanya dalam suasana Imlek tapi juga dalam upacara perkawinan.”

    Tanggapan saya atas argumen pembelaan warna merah yang melanggar warna liturgi adalah sbb:

    1. Dalam pesta2 perkawinan pasangan dari ras Tionghoa sendiri jarang sekali yang memakai warna merah. Umumnya (dari undangan2 yang saya hadiri) mengenakan pakaian international yang umumnya berwarna putih utk wanita dan hitam/putih utk prianya.

    2. Melakukan improvisasi itu bukan dengan dasar uskup TIDAK MELARANG, tapi jika USKUP sudah mengeluarkan petunjuk resmi tentang inkulturasi tersebut. Jadi jangan bersikap seperti maling, tapi bersikaplah seperti Kristus yang TAAT.

    PAX

  4. Menurut saya, merayakan Imlek dalam Gereja Katolik, membutuhkan sikap yang tepat. Yang merayakan itu bukan orang Cina yang kebetulan Katolik. Tetapi yang merayakan itu Gereja Katolik, yang merayakan suatu perayaan yang biasa dilakukan oleh etnis Cina, pesta musim semi dan tahun baru.
    Untuk pesta-pesta seperti itu, Gereja sudah punya warna Liturgi sendiri: PUTIH. saya tidak sepakat bahwa karena itu hari biasa, maka harus pakai warna hijau. Kalau saat itu ada orang yang merayakan pesta peringatan ulang tahun perkawinan, tentu pakai warna Putih, bukannya Hijau.
    Pemakaian warna Merah saya rasa juga tidak tepat. Karena Merah dalam Liturgi Gereja punya makna khusus: Para Martir dan Roh Kudus. Pemakaian warna merah dalam Misa Imlek, mengacaukan pemahaman akan warna Liturgi pada umumnya.
    Jadi, yang merayakan Misa Imlek adalah Gereja Katolik, yang menghormati tradisi etnis Cina. Tetapi Misa Imlek bukan hanya untuk etnis Cina yang Katolik saja, kan? Yang bukan cina juga ikut misa, kan? Jadi kita pakai pedoman Liturgi umum: Perayaan memakai warna Putih

  5. Romo Dimas maju terus romo, di Yogyakart inkulturisasi sdh dijalankan dengan mulus baik dalam adat Jawa di Gereja Ganjuran dan Gereja Pugeran, dan dalam adat Tiongkok di Gereja Kotabaru dan Gereja Pugeran. Saya kira dalam hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Da;am ajaran Kristus yang penting hatimu yang menyembah Tuhan. Janganlah semuanya menjadi batu sandungan. Imanmu yang menyembuhkan.. Maju terus Romo Dimas

  6. Romo Dimas,

    Kami butuh figur seperti Romo yang mau memperkenalkan inkulturasi berkelanjutan tanpa kebablasan.

    Sudah saatnya juga orang muda Katolik mau “pusing” dengan serba-i liturgi Katolik ini. Hari mana harus menggunakan warna liturgi mana? Lantas, bagaimana bisa kami mengerti bahwa bahkan warna itu pun bisa diganti warna lain sejauh ada pendasaran teologis yang mumpuni.

    Saya pernah ikut kuliah liturgi dan ada poin yang baik menurut saya pantas direfleksikan.
    Liturgi Katolik memang sangat kaya dan penuh dengan ketentuan yang sebagian besar sudah baku. Tetapi tetap saja ada “ruang” bagi penafsiran.

    Jika dibawa pada konteks ketaatan dan ketidaktaatan, mungkin aksioma etis boleh berlaku disini: SETIAP ATURAN (termasuk aturan liturgis) BISA DAN LAYAK DILANGGAR JIKA, DAN HANYA JIKA, NILAI PELANGGARAN ITU LEBIH BESAR DARIPADA NILAI ATURAN ITU SENDIRI.

    Analogi atau pendasarannya sangat banyak:
    -biblis: Raja Daud yang membagi-bagikan makanan yang diambil dari meja sinagoga (baca: meja altar Yahudi) demi para prajuritnya yang lapar
    -teologis-biblis: Yesus yang kerap mendobrak aturan “liturgi Yahudi” yang sangat baku demi memperjuangkan nilai manusia yang lebih tinggi dari nilai aturan itu sendiri
    -populer: Sebagai contoh, di keuskupan saya, sudah mafhum dan sudah diterima bahwa imam/pastor mengenakan kasula dengan motif “ulos”, yakni kain tradisional adat Batak Toba. Mengutip kesaksian dari Bapak Paulus Samsu Wienarno, “di Yogyakart inkulturisasi sdh dijalankan dengan mulus baik dalam adat Jawa di Gereja Ganjuran dan Gereja Pugeran, dan dalam adat Tiongkok di Gereja Kotabaru dan Gereja Pugeran”.

    Yang menarik buat saya: Diskusi dialogis dalam hal liturgis yang dulunya membosankan dan penuh ‘tetek-bengek” ini ternyata menarik buat kaum muda serperti saya. Hehehe..

    This is something good, I think.

  7. Berkecimpung di dalam liturgi lama-lama memang membuat hati banyak orang terluka. Padahal Paus dan Uskup berulang kali menegaskan bahwa liturgi adalah ungkapan syukur bagi Allah yang didalamnya perlu mencerminkan kesukacitaan. Tapi berkali-kali orang-orang yang terlibat liturgi akhirnya merasa merayakan liturgi dengan hati yang tidak nyaman dan akhirnya malah merasa partisipasinya di dalam misa kurang puol.

    Biasanya umat terpecah di antara “manut kepada imam” dan “manut kepada otoritas yang lebih tinggi, yaitu dokumen”. Kebijakan pastoral yang sering kali digunakan sebagai alasan imam justru harus dipertanyakan apabila sampai membuat perpecahan di antara umat, sebagaimana sering terjadi di dalam paroki.

    Kasus pastor Dismas tidaklah unik. Banyak paroki mengalami konflik Gereja-Budaya yang sama, baik dengan Imlek, upacara-upacara Jawa, dan terutama juga dengan perkembangan jaman melalui aliran musik, instrumen-instrumen yang dipakai di gereja, dan berbagai alat elektronik. Sebagaimana dikatakan rekan saya yang saya hormati: “Allah tentu tidak memberikan kita semua itu apabila Ia tidak menginginkan kita menggunakannya.” Namun saya pun punya argumentasi begini: “semua emas yang dimiliki oleh orang Israel pada waktu itu tentu Allah yang memberikannya, namun Allah tidak setuju dengan penggunaannya di lembu emas.”

    Konflik-konflik seperti ini, yang memecah belah umat kita, sayangnya sering bersumber kepada imam yang sering kali tidak bijak melihat situasi. Dalam kasus ini misalnya, Pastor Dismas sendiri mengakui bahwa sebagian umatnya yang juga berwarga Tionghoa melihat adanya ketidak-sregan dengan menggunakan busana liturgi merah pada saat misa Imlek. Namun pastor sendiri tetap memilih untuk ‘memaksakan’ inkulturasi waktu beliau belum mampu untuk mengkatekese umatnya dalam hal penggunaan warna merah di Misa Imlek. Bukankah hal ini malah terus memperuncing konflik baik antar umat maupun antara umat dan pastor?

    Sebenarnya kebanyakan umat di Indonesia adalah umat-umat yang nrimo. Kalau pasturnya bilang A, selama masih dapat dipahami logika, tidak merusak citra diri mereka sebagai orang Indonesia bersuku/ras ini dan itu, mereka biasanya akan mengikuti saja. Tentu kuping pastor sering kali dipenuhi oleh umat-umat yang agresif, baik yang benar maupun yang salah. Mungkin pendekatan tersebut yang harus diubah melalui salah satu panggilan Paus Fransiskus agar imam mengenal baik umatnya, bahkan sampai kepada nama julukan mereka. Bukan mereka yang aktif saja, namun juga mereka yang tidak pernah menjumpai pastor.

    Semoga dengan demikian inkulturasi yang sungguh benar dan menjadi inspirasi Konsili Vatikan II terjadi di Indonesia dan umat Katolik di Indonesia menjadi orang yang 100% Katolik dan 100% Indonesia. Amin

  8. Imlek adalah tahun baru china, bukan peraan keagamaan. jdi kalo dibuat misa khusus untuk merayakan bagi warga tionghoa yah sah2 saja kalo didaratan china, masalahnya china di Indonesia kan sdh WNI jdi jalani saja yang kita jalani di indonesia. nggak iklas jadi WNI ya..??

  9. Ketegasan yang memang perlu, bukan membelenggu, masalahnya Indonesia kreatiitasnya lebay. Alasan inkulturasi, selalu Jadi bemper, selalu abu-abu, kita kan multi etnis? Katolik Indonesia memang kebablasan, makanya PUMR ganti saja dengan POMR, Pastor Omonh Masalah Ramping, contohlah keuskupan surabaya, yay berani dengan tegas, imlek bukan calender liturgy katolik.

  10. Dear
    Yang menjadi pertanyaan,
    1.lebih penting mana ekaristi atau warna ekaristi?
    2.lebih penting mana warna merah sebagai tanda kegembiraan imlek atau kegembiraan imlek itu sendiri yang dirayakan dengan ekaristi??
    Paroki kami merayakan imlek hari minggu setelah rabu abu dan warna ekaristinya merah, saya pribadi condong sebaiknya warna sesuai dengan liturgi saja.
    Menurutku untuk apa kita ributkan harus warna merah atau hijau atau putih sementara yang terpenting hati kita fokus kepada ekaristi itu sendiri. Warna dipakai sebagai lambang dan sarana untuk menghantar umat agar dapat mengikuti misa dengan hikmah!!!
    Salam

  11. Hati-hati jangan menciptakan potensi dan peluang bagi iblis untuk memecah belah kesatuan umat Katolik. Tradisi dan liturgi Katolik selalu berada “di atas” dan ini sudah terbukti sekian lama dan aman-aman saja. “Kompromi-kompromi” semacam inilah yang bisa menjadi “potensi” untuk melencengkan tujuan Yesus untuk mendirikan Gereja yang “Satu”, terarah,kekal sampai “akhir zaman”. Bukan Katolik yang harus mengikuti zaman, tapi zaman yang harus tetap mengikuti Katolik.

  12. Menarik juga nih pendapatnya teman-teman semua. Menurut pendapat Saya, komentar yang tertulis di sini semuanya ada benarnya.

    Menurut pendapat Saya, Misa Imlek merupakan ucapan syukur atas tahun baru menurut tanggalan kalender Tiongkok. Biasanya diisi dengan kemeriahan dalam acara pesta. Namun demikian, setahu Saya tidak ada peringatan tentang orang kudus atau martir dalam tradisi imlek, kecuali bila tanggalnya bertepatan dengan penanggalan liturgi gereja Katolik mengenai peringatan hari raya orang kudus atau tentang Yesus Kristus. Sehingga, warna liturgi nya mungkin kurang tepat kalau berwarna merah. Berbeda halnya dengan perkawinan, yang merupakan liturgi tersendiri, itulah sebabnya misa perkawinan (walaupun ada liturgi ekaristi di dalamnya), tidak pernah digabungkan dengan perayaan Ekaristi mingguan, sehingga warna liturginya adalah Putih.

    Oleh karenanya, ‘Inkulturasi’ seharusnya hanyalah sebagai pelengkap dalam perayaan Ekaristi, bukanlah menjadi ‘liturgi’ itu sendiri, sehingga tidak boleh merubah seluruh tata perayaan yang dituliskan dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR).

    Sehingga karenanya, bila peringatan Imlek dilaksanakan bertepatan juga dengan Ekaristi mingguan, maka bukannya lebih baik mengikuti pedoman dalam PUMR? Dengan inkulturasi adat Tiongkoknya di’sisipkan’ dalam hal musik-musik pembuka, pengiring persembahan dan/atau penutup, misalnya, karena dalam pedoman, hanya disebutkan persembahan diantar oleh umat kepada Imam.
    Sedangkan bila Imlek dirayakan dengan waktu khusus, tetap harus dilihat penanggalan liturginya karena Imlek belum masuk dalam penanggalan liturgi gereja, dan yang perlu diperhatikan adalah, apakah hari Imlek tersebut berada dalam masa Prapaskah atau tidak. Karena bila dirayakan pada masa PraPaskah, sepertinya kurang tepat juga ada pesta-pesta besar.

    Saya yakin Romo Dimas sudah melakukan konsolidasi terlebih dahulu dengan para wakil umat, komunikasi para Imam maupun dengan Bapak Uskup.

    Selamat pagi.

  13. Di Makassar pun mengiringi perarakan dengan barongsai walaupun tdk masuk dalam gereja, pakaian liturgi pun berwarna merah dengan tulisan China.
    Perarakan pulang pun lagi tidak sampai pastor meninggalkan gedunv gereja karena ada penampilan barongsai di depan gereja, homili pun di sisipi mengenai imlek.

    Saya sebagai umat yang tdk merayakan juga merasa agak terganggu dengan ini, karena menurut saya walaupun indonesia mengakui imlek sebagai hari libur nasional, bukan berarti diakui dalam tahun liturgi. (Perlu dikaji awal mula mengapa imlek menjadi hari nasional di indonesia)
    Dan kadang sy merasa inkulturasi menjadi kebablasan dengan kegiatan seperti itu.
    Mungkin sebagai orang awam saya harus lebih banyak belajar mengenai liturgi khususnya inkulturasi jika memang pendapat pastor diatas benar demikian.

Leave a Reply to Helo Batal

Please enter your comment!
Please enter your name here