Film Pedibus Apostolorum melukiskan bahwa Kerajaan Allah harus dirasakan

0
3309

Pedibus

Bagi Pastor JB Prennthaler SJ, Kerajaan Allah tidak cukup diwartakan namun harus dirasakan secara nyata dalam kehidupan umat dan warga umumnya. Maka, karya kesehatan, pendidikan, kewirausahaan dan budaya menjadi pilihan pendukung dari pewartaan iman yang dijalankan imam itu di Jawa Tengah.

Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Semarang (Komsos KAS) Pastor Agoeng Noegroho Pr, menegaskan hal itu saat Nonton Bareng Film “Pedibus Apostolorum” di Aula Kantor Pelayanan Pastoral Keuskupan Agung Semarang (KPPKAS) Semarang, 30 Oktober 2013.

Sebagai sutradara, imam  itu menceritakan bahwa dalam film itu diperlihatkan bagaimana Pastor Prennthaler SJ yang akrab dengan panggilan Romo Prennt, yang dilakonkan oleh Daniel P Nugroho, memelihara secara konkret iman umat lewat pelayanan sakramen dan doa-doa devosional “Malaikat Tuhan” dengan menghadirkan banyak lonceng yang dikenal dengan nama “Lonceng Prennthaler.”

Selain  itu,  jelas Pastor Noegroho di depan sekitar 100 penonton, Romo Prennt “memulai membangun tempat ziarah Sendangsono sebagai peringatan 25 tahun pembaptisan massal oleh Romo van Lith.”

Film  berdurasi 101 menit itu menceritakan perjalanan kerasulan (pedibus apostolorum) Romo Prennt, seorang Yesuit dari Austria yang datang ke tanah Jawa tahun 1920-an melalui Provinsialat Belanda. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk melayani umat di sekitar Bukit Menoreh, khususnya di Boro, Yogyakarta. Pada masa Jepang, imam itu sempat pindah sebentar ke Rawaseneng.

Nobar itu dilaksanakan oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komhakkas) dan Majalah INSPIRASI bekerja sama dengan Komsos KAS untuk mengisi Tahun Iman yang telah dicanangkan Paus Emeritus Benediktus XVI.

“Film ini banyak melibatkan pribadi-pribadi yang mempunyai kemauan tinggi untuk mendukung dan mewujudkan film ini. Maka kalau melihat film tersebut, tidak ada artis yang terkenal, tidak ada sama sekali,” kata Pastor Agoeng, seraya menjelaskan bahwa proses editing pun hanya dikerjakan oleh komisi itu sendiri.

Film ber-setting wilayah Paroki Boro, sekitar perbukitan Menoreh itu, memang adalah buah karya Komsos KAS bekerja sama dengan Komsos Paroki Boro dan umat Paroki setempat. Anak-anak, orang dewasa bahkan kakek dan nenek terlibat dalam film yang kadang diselingi adegan-adegan kocak itu.

Film itu melibatkan 135 pemain, yang kalau ditambah dengan unsur pendukungnya, termasuk 75 ibu yang masak dan menyiapkannya, menjadi sekitar 205 orang. “Semuanya adalah rasul-rasul untuk karya komunikasi kita. Mereka tidak diberi bayar sebagaimana mestinya seorang artis dibayar. Tetapi hanya ongkos pijat saja,” seloroh Pastor Agoeng.

Pastor Agoeng bersama timnya membuka diri berkeliling dari satu paroki ke paroki lain yang menghendaki pemutaran film dengan metode “Layar Tancap.” Hal itu, kata imam itu, “seperti Romo Prennth yang rajin berjalan mendatangi umat dan masyarakat.”

Dalam kesempatan itu, Pastor Aloys Budi Purnomo Pr mengatakan, karya-karya Romo Prennt masih ada. “Sampai hari ini masih bisa kita lihat, kita rasakan, kita petik buahnya di sekitar Bukit Menoreh, mulai dari Boro, Sendangsono, dan sekitarnya.”

Pastor Budi Purnomo tak lupa menyebut salah satu warisan yang kemudian menjadi Pertapaan Rawaseneng, Temanggung. “Itu antara lain warisan dari jejak-jejak kerasulan Romo Prennt,” kata Ketua Komhakkas itu berharap dengan menonton film itu, iman umat menjadi semakin bertumbuh.***