Jumat, November 22, 2024
27.1 C
Jakarta

Persaudaraan, sapaan, belarasa dan kegembiraan akan tetap jadi pegangan hidup saya

SUSTER ANNA MARIE DWIYANTI SUPRIHASTUTI OP

 

Wawancara dengan Provinsial Baru dari Kongregasi Suster-Suster Santo Dominikus (OP)

 

PURWOKERTO (PEN@ Indonesia) — SUSTER ANNA MARIE DWIYANTI SUPRIHASTUTI OP telah terpilih di akhir Kapitel Kongregasi Suster-Suster Santo Dominikus di Indonesia (OP) di Bandung, tanggal 16 Maret 2013, sebagai provinsial atau Ketua Dewan Suster Kongregasi Santo Dominikus di Indonesia Masa Bakti 2013-2017, bersama anggota-anggota dewan Suster Sisilia OP, Suster Fidelis OP, Suster Thomasian OP, dan Suster Dominika OP.

 

Suster Anna Marie OP yang lahir 7 Maret 1958 di Yogyakarta. Suster Anna berasal dari keluarga dengan empat bersaudara, namun karena satu di antaranya meninggal karena kecelakaan, maka kini dia anak kedua dari tiga bersaudara. “Bapak saya sudah tidak ada. Sebelum kongregasi memestakan saya Pesta Perak saya, bapak saya mengajak supaya pesta dulu di rumah. Kemudian saya retret untuk persiapan pesta itu. Baru tiga hari, retret itu putus karena bapak meninggal.”

 

Setelah menyelesaikan SD hingga SMA Kejuruan Perawatan, tahun 1982  suster itu masuk biara Dominikan di Yogyakarta dan profesi di tahun 1984. Setahun kemudian dia ikut kursus penyesuaian di Rumah Sakit (RS) Elisabeth Semarang dan ditugaskan di BP Adi Dharma Purwokerto sampai 1990.

 

Suster Anna Marie pernah bertugas di RS Carolus, Jakarta, dan tinggal di Komunitas OP Pejaten selama tiga tahun. Dari RS Carolus, suster itu tidak dikembalikan ke bidang kesehatan tapi diminta melanjutkan kursus pembinaan, yang membawa dia menjadi pendamping novis di Novisiat Baciro, Yogyakarta.

 

Setelah empat tahun di novisiat, dia pindah ke RS Elisabeth Purwokerto untuk membantu akreditasi rumah sakit itu. Setelah jadi anggota dewan kongregasi, dia pindah ke Majenang dan membuka rumah pertama suster OP di sana. Selanjutnya dia kembali ke Adi Dharma untuk melanjutkan S1 Keperawatan dan membantu RS Elisabeth Purwokerto. Kini dia sedang menyelesaikan S2 Managemen Rumah Sakit.

 

Tanggal 27 Maret 2013, Paul C Pati dari PEN@ Indonesia menemui Suster Anna Marie, wakil moderator Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI dan mantan ketua MATRI (Musyawarah Antar Tarekat Religius dan Imam) Keuskupan Purwokerto, di rumah komunitas Adi Dharma untuk wawancara.

 

PEN@ Indonesia: Ketika terpilih menjadi provinsial OP, apa perasaan suster?

 

SUSTER ANNA MARIE DWIYANTI SURPIHASTUTI OP Saya tidak menyangka atau mengira akan terpilih sebagai provinsial, tetapi saya percaya bahwa persiapan dengan Roh Kudus, doa-doa para suster setiap bulan, mingguan sampai harian membuktikan bahwa Roh Kudus sungguh berkarya dan hidup.

 

Ketika Suster Lucia OP menjadi provinsial, sesuai kebutuhan kongregasi saya dipersiapkan untuk rumah sakit baru sehingga saya diminta melanjutkan studi managemen rumah sakit. Saya mau studi, kendati sudah usia. Tapi, saya belum menyelesaikan S2 atau magister Managemen Rumah Sakit. Tinggal tiga mata kuliah. Mungkin selesai Oktober tahun ini.

 

Maka, saya tidak mengira kalau Roh Kudus mengarahkan mereka untuk memilih saya. Saat dipilih, saya mencoba minta waktu sebentar untuk berdoa. Akhirnya karena dukungan Suster Lucia dan percaya akan rahmat Tuhan serta dukungan para suster dan doa dari banyak orang, saya menjawab ‘saya siap’.

 

Ketika mengatakan ‘saya siap’, apa yang suster pikir harus segera dilakukan untuk kongregasi?

 

Saya tidak cepat-cepat membuat intervensi atau pembaruan. Yang penting saya ingin agar persaudaraan Dominikan diwujudnyatakan dan untuk itu saya siap mendengarkan apa yang menjadi harapan. Apa yang baik yang sudah dibuat oleh Suster Lucia, itu yang terbaik, saya tidak akan cepat bereaksi.

 

Yang penting, saya tetap berharap agar semangat hidup Santo Dominikus tetap hidup dalam diri semua anggota, mewujudkan persaudaraan, menyelamatkan jiwa-jiwa, dan mewartakan kebenaran. Kebenaran berarti bukan kamu salah saya benar, tapi Yesus sendiri yang menjadi kebenaran, sumber segala-galanya. Itu saja. Saya tidak melihat kegiatan atau program apa. Saya ingin merangkul dan menyapa suster yang sudah sepuh dan sakit. Itu dulu, agar bisa masuk kepada semua anggota kongregasi ini.

 

Apa kelebihan Suster Lucia yang akan suster teladani dalam menjalankan tugas provinsial?

 

Perhatian Suster Lucia. Suster Lucia punya rasa empati terhadap orang sakit dan menderita, entah fisik, batin atau karena permasalahan. Sejak awal masuk biara, saya sudah terjun ke dunia kesehatan. Jadi saya punya background kesehatan. Kemudian pimpinan pendahulu melihat saya punya hati atau ketrampilan menemani orang sakit. Itu pun ditingkatkan dengan studi. Karena melihat saya punya sifat keibuan, membimbing orang, saya pun diminta mendampingi adik-adik di novisiat.

 

Apakah masih banyak kemungkinan bagi kongregasi ini untuk berkarya di bidang kesehatan?

 

Karya bidang kesehatan bukan untuk segi medis saja tapi juga non-medis, misalnya akounting, hukum, administrasi dan managemen. Jadi masih banyak bisa dilakukan dalam karya kesehatan. Tapi, kami memiliki keterbatasan tenaga. Maka menjawab permintaan, kami perlu pendekatan, penelitian dan analisa sesuai kebutuhan tenaga. Kami akan bersama-sama memikirkan seluruhnya. Kalau memang dibutuhkan kita studi kelayakan, studi banding, dan studi kebutuhan.

 

Tetapi benar, kesehatan adalah tuntutan zaman sekarang. Keterlibatan di bidang kesehatan sangat diperlukan, bukan hanya dalam segi spiritual. Maka kita akan menanggapi tuntutan itu.

 

Kongregasi juga terlibat dalam karya justice and peace, pendidikan, dan pelayanan bagi anak yatim piatu dan lansia. Bagaimana suster melihat pelayanan justice and peace saat ini?

 

Saya tertarik dengan justice and peace. Sampai sekarang pun saya masih wakil moderator Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI yang diketuai dari Mgr Vincentius Sutikno. Kegiatan ini banyak menyangkut kegiatan justice and peace.

 

Sekarang marak kasus human trafficking, baik manusia juga organ tubuh manusia yang mengakibatkan banyak terjadi pembunuhan dan penculikan. Siapa tahu orang dengan maksud buruk menyamar sebagai anggota keluarga dan masuk di sekolah atau rumah kita. Ini kerpihatinan saya. Kita harus peka dan penuh doa menghadapi masalah rawan ini.

 

Di Purwokerto saya masih mendampingi dua orang korban human trafficking dan eksploitasi seksual. Banyak sekali penawaran untuk bekerja di sini. Mereka terjebak. Saya menemani mereka sampai sekarang. Saya ajak mereka membuat tasbeh sebagai souvenir untuk sunatan di desa atau perkawinan. Saya siap mendampingi mereka sampai tuntas, mandiri dan menerima keberadaan mereka.

 

Saya membantu mereka menjalankan usaha kecil-kecilan dengan modal 300 ribu rupiah untuk membuat peyek yang dijual di desa. Pernah, ketika saya masih ketua MATRI Keuskupan Purwokerto, sebelum pertemuan di Hening Griya, saya hubungi mereka untuk menjual peyek dalam pertemuan itu. Suster, bruder dan imam membeli, karena sebelumnya saya cerita tentang mereka dan mereka  menyampaikan testimoni yang mengajak anggota MATRI untuk mencegah, agar tidak menjadi korban seperti mereka, agar tidak mudah kena bujukan, karena para biarawati juga ketemu dengan orang yang begini-begitu.

 

Ada juga korban kekerasan dalam rumah tangga, padahal dia bersama suaminya adalah orang intelek yang bekerja di bank. Tidak jelas mana yang benar mana yang salah. Semua mengadu, tetapi sulit sekali mempertemukan keduanya. Saya memberikan pendampingan kepada mereka di sini.

 

Bagaimana karya pendidikan yang dilaksanakan para suster OP sekarang?

 

Saya memang tidak banyak terlibat dalam karya pendidikan. Tapi selama 19 tahun di Purwokerto yang berkembang luar biasa, saya juga melihat karya pendidikan para suster OP yang ternyata banyak saingan dari sekolah yang dijalankan oleh yayasan dari agama lain. Maka, harus berani meningkatkan sekolah sesuai kebutuhan, baik fasilitas maupoun mutu, sehingga anak didik menjadi anak yang baik, bukan berarti manut saja tetapi kritis ke arah yang baik.

 

Namun, sekolah Katolik unggul karena selalu mau berkembang. Meski banyak saingan, orang masih merespons baik pendidikan yang dijalankan sekolah suster. Saya menghargai sebagai sesuatu yang positif ketika melihat suster-suster dan guru-guru diajak studi banding sampai ke Australia.

 

Bagaimana dengan pelayanan bagi anak yatim-piatu dan orang lansia?

 

Kalau saya lihat, rasa-rasanya Pondok si Boncel bukan murni untuk anak yatim-piatu tapi korban masalah keluarga. Itulah keprihatinan bagi saya. Entah itu anak yatim atau piatu, tetapi dia punya keluarga. Mereka korban masalah keluarga. Maka menerima mereka menjadi tanda keselamatan bagi anak-anak itu. Maka saya dukung. Tapi harus prosedural karena mereka punya keluarga. Suster patut ikut mendamaikan atau barangkali menjadi jembatan untuk menciptakan kembali kedamaian keluarga.

 

Untuk lansia … memang ibu saya juga lansia. Mereka perlu persiapan diri untuk menerima keberadaan masa usia lanjut. Maka saya berpikir, orang-orang yang mendekati pensiun perlu mempelajari, membaca banyak buku, atau ikut seminar mengenai post power syndrome. MATRI Purwokerto pun mempunyai program seminar, sarasehan atau rekoleksi tentang post power syndrome, agar kita siap menjadi tua.

 

Menjadi tua perlu belajar dari sekarang bukan nanti saat tua. Masa tua perlu persiapan agar nanti tidak merasa ditinggalkan. Banyak orang tua tidak siap menjadi tua. Religius dan imam juga tentunya, agar tidak merasa ditinggalkan saat sudah tidak produktif. Sebenarnya, kami bisa terus produktif, karena di masa tua kami bisa mendoakan orang lain atau mengantar Sakramen Maha Kudus bagi orang lain.

 

Banyak karya sedang dijalankan para suster OP. Dengan semangat Santo Dominikus yang mana suster akan memayungi semua karya itu?

 

Persaudaraan, sapaan, belarasa, dan kegembiraan! Itu saja yang akan tetap menjadi pegangan hidup saya. Nilai-nilai ini masih dipegang oleh para suster OP di Indonesia, tetapi masih selalu perlu diingatkan, didorong dan diberi penyegaran serta pembaharuan sesuai spiritualitas Santo Dominikus.

 

Bagaimana panggilan suster-suster OP saat ini?

 

Berkurang. Kita harus bertanya, ada yang terjadi? Sekarang kami harus menjemput bola, mencari dan berusaha dengan pendekatan kepada keluarga dan kaum muda, serta hadir bersama anak-anak. Namun sebelum hadir, kami harus dipenuhi dengan bekal tentang tujuan kehadiran di antara mereka.***

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini