SURABAYA, Pena Katolik – Nunsio Apostolik untuk Indonesia, Mgr. Piero Pioppo memimpin Misa Tahbisan Uskup Surabaya Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo. Misa Tahbisan ini diadakan di Auditorium Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Rabu 22 Januari 2025. Sebagai uskup pendamping adalah Uskup Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi dan Uskup Malang, Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan OCarm.
Tahbisa Uskup adalah peristiwa penting karena menandai peralihan kepemimpinan secara resmi dalam suksesi kepemimpinan di sebuah keuskupa. Pada sehari sebelumnya, rangkaian Tahbisan Uskup Surabaya ini dimulai dengan Vesper Agung yang dipimpin Uskup Purwokerto, Mgr. Christoporus Tri Harsono. Pada kesempatan ini, Mgr. Didik menyampaikan janji setia sebagai Uskup Surabaya. Selain itu, pada Vesper Agung ini juga dilakukan pemberkatan lambing-lambang uskup yang baru.
Pada awal prosesi tahbisan ini, Mgr. Piero sebagai wakil Paus bertanya tentang kesediaan Mgr. Didik untuk menjadi Uskup Surabaya. Pertanyaan ini dijawab dengan kesediaan menjalankan tugas sebagai Uskup Surabaya.
“Bersediakah engkau dengan bantuan Roh Kudus, melaksanakan sampai mati tugas yang dipercayakan? Bersediakah engkau dengan setia selalu mewartakan Injil Kristus?” Romo Didik menjawab dengan lantang, “Saya bersedia.”
Bagian penting dalam tahbisan ini adalah prosesi penumpangan tangan, yang kemudian diikuti dengan pemakaian atribut resmi uskup kepada Mgr. Didik.
“Pentahbisan ini tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga menjadi pengukuhan spiritual. Ini adalah momen sakral yang menunjukkan hubungan langsung antara Gereja lokal dan Tahta Suci,” pungkas Romo Agustinus Ferdian Dwi Prasetyo (Panitia Tahbisan).
Penilik dan Gembala
Mgr. Didik memilih moto tahbisannya “Mencintai seperti Kristus Mencintai”. Makna tema ini dijelaskan oleh Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo saat menyampaikan homili dengan merefleksikan percakapan antara Yesus dan Petrus, pasca kebangkitan-Nya.
Pada saat sesudah bangkit, Petrus bercakap dengan Petrus. Kata “kasih” yang dipakai Yesus saat itu berbeda dengan kata “kasih” yang dipakai Petrus. Yesus memakai kata “kasih” yang berarti ‘kasih sempurna dan tak terbatas’. Ini berbeda dengan yang digunakan Petrus, sebab ia menggunakan kata “kasih” yang ‘yaitu kasih yang terbatas’. Yesus kemudian bahkan “menurunkan standarnya, dengan sekali lagi bertanya akan kasih Simon kepada-Nya.
Kardinal Suharyo mengatakan, dari awalnya dengan kasih yang terbatas, Simon dibimbing untuk melayani dengan “kasih yang tak terbatas”. Ini nyata ketika Petrus menyerahkan nyawanya menjadi martir. Bertumbuh dari kasih manusiawi menjadi kasih yang sempurna.
Ajaran resmi Gereja mengenai panggilan umat beriman, “Bagi semua jelas, bagi semua ornag kristiani, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani, kesempurnaan kasih dan kesempurnaan kesucian”. Paus Fransiskus menegaskan panggilan ini dalam dunia sekarang ini.
Tema tahbisan ini, menurut Kardinal Suharyo mengungkapkan harapan Mgr. Didik menjadi dorongan untuk umat Keuskupan Surabaya, bertumbuh menuju “kesempurnaan kasih”.
Kardinal Suharyo kemudian bercerita tentang permohonan Mgr. Didik untuk tidak dipanggil dengan sebutan “monsinyur” atau ‘yang mulia’, namun lebih baik dipanggil dengan sebutan “romo uskup” atau “bapak uskup” Didik a. Kardinal Suharyo melanjutkan,
“Jadi ini pesan untuk umat (Keuskupan) Surabaya nanti jangan panggil ‘monsinyur’ tetapi memanggilnya ‘romo uskup’ atau ‘bapak uskup’, suatu permintaan yang tidak sulit untuk diterima,” ujar Kardinal Suharyo.
Uskup berarti ‘penilik’, dengan makna ini, Tuhan menyediakan jalan untuk bertumbuh dalam kesempurnaan kasih dan memilihnya menjadi “penilik”. Kardinal Suharyo mengutip Paus Fransiskus yang mendorong pad uskup untuk sering mengunjungi umatnya dan hadir di tengah-tengah mereka dengan kehadiran sederhana dan penuh kasih. Pada kesempatan lain, uskup berdiri di belakang dan menuntun umat menentukan langkah-langkah baru.
Jalan yang ditentukan
Pada saat menyampaikan sambutan setelah tahbisan. Mgr. Didik mengatakan, jalan untuknya seperti telah disiapkan. Ia masuk Seminari Menengah Santo Vincentius a Paulo (SMA Katolik Seminari Garum) di Blitar. Romo Didik saat itu diwawancarai Romo Vincentius Sutikno Wisaksono, sosok yang kini ia gantikan menjadi Uskup Surabaya.
“Yang mewawancarai saya adalah Romo Sutikno yang kemudian menjadi Uskup Surabaya sebelum saya,” katanya.
Kedekatan Mgr. Didik dengan Mgr. Sutikno juga terjalin ketika studi filsafat sebagai calon imam Keuskupan Surabaya di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII Malang. Saat itu, Vincentius menjabat rektor dan Frater Didik kerap dilibatkan dalam aktivitas kampus.
Saat Mgr. Sutikno menjadi uskup, Romo Didik pernah ditugaskan ke Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat. Saat itu, Romo Didik dipanggil pulang dan dipercaya menjadi vikaris jenderal. Permintaan ini datang dua kali, yang pertama berupa tawaran yang ditolak oleh Romo Didik, namun yang kedua Mgr. Sutikno meminta agar Romo Didik tidak menolak, sebab sang uskup mengatakan bahwa sebagai imam harus taat kepada uskupnya.
“Saya bisa menolak tetapi setahun kemudian Bapa Uskup (Vincentius) mengatakan saya tidak bisa lagi menolak karena harus patuh dan taat,” ujar Mgr. Didik. Ia lalu pulang ke Keuskupan Surabaya dan menerima tugas sebagai Vikaris Jenderal. “Meskipun merasa tidak pantas, saya menerima penugasan itu,” ujarnya mengenang saat ditunjuk menjadi Vikjen untuk masa karya 2011-2017.
Mgr. Didik mengatakan, saat diberitahu pengangkatannya sebagai Uskup Surabaya, ia merasa dirinya tidak layak, banyak kekurangan. Ia merasa berat menerima tugas ini. Namun, ia menceritakan perkataan Mgr. Pioppo yang menyampaikan bahwa “Paus Fransiskus mengetahui seperti apa Romo Didik, lebih dari yang Romo Didik sendiri pahami”. Perkataan ini yang meyakinkan Romo Didik untuk menerima penugasan baru sebagai uskup.
“Namun, Paus Fransiskus melalui Nunsius meyakini sebaliknya dengan berkata bahwa mereka mengetahui saya lebih dari saya sendiri,” ujarnya.
Mgr. Pioppo saat memberi sambutan merasa yakin, mendiang Mgr. Sutikno akan senang dengan penunjukkan ini. Saat ini telah ada penerus yang menggembalakan Keuskupan Surabaya, terdiri atas 47 paroki dengan lebih dari 150.000 jiwa umat Katolik.
Uskup Ketujuh
Mgr. Didik menjadi Uskup Surabaya yang ke-7 sejak wilayah keuskupan ini masih berstatus Prefektur Apostolik Surabaya pada 15 Februari 1928. Ia diumumkan menjadi Uskup Surabaya pada 9 Oktober 2024. Ia menggantikan Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono.
Agustinus memilih moto “Mencintai seperti Kristus Mencintai” atau ‘Diligere sicut Christus dilexit’. Moto episkopal ini salah satunya terinspirasi dari moto tahbisan imamatnya pada 1996. Saat itu, Agustinus memilih moto dari Kitab Yohanes Bab 17 Ayat 26, yakni “supaya kasih yang kau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka”.
Sebagai informasi, Keuskupan Surabaya memiliki wilayah pelayanan yang mencakup sejumlah daerah di Jawa Timur serta sebagian wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Takhta Keuskupan Surabaya ada di Katedral Hati Kudus Yesus, dan menjadi pusat kehidupan menggereja di Keuskupan Surabaya.
Di Jawa Timur, Keuskupan Surabaya meliputi beberapa kota dan kabupaten, antara lain Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto beserta Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban, serta sebagian wilayah di Kabupaten Pasuruan. Untuk di Jawa Tengah, wilayah yang masuk wilayah pelayanan Keuskupan Surabaya mencakup Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang. (AES)