“Kemerdekaan bangsa ini terjadi berkat rahmat Allah yang Mahakuasa. Dengan demikian, sejarah bangsa kita pun menjadi bagian dari sejarah keselamatan Allah. Cinta kepada tanah air merupakan tanggungjawab sejarah untuk mengisi kemerdekaan dengan peradaban kasih.”
Penegasan itu disampaikan oleh Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Pujasumarta dalam Surat Gembala Hari Raya Kemerdekaan RI ke-68 bertanggal 15 Agustus 2013 yang dibacakan dalam Misa di gereja-gereja Keuskupan Agung Semarang (KAS) Sabtu-Minggu, 17-18 Agustus 2013.
Pendiri negeri telah membangun sikap yang arif dan bijaksana dalam memperjuangkan dan melestarikan kemerdekaan Indonesia. Maka, tegas Mgr Pujasumarta, “Sungguh arif dan bijaksanalah, bila pemimpin negeri ini mengemban kekuasaan negara untuk melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana dituangkan dalam prinsip dasar kehidupan negara ini, yakni dalam sila-sila Pancasila.”
Umat KAS juga diharapkan tidak ikut merusak negeri ini dengan “tanpa malu melanggar hukum dengan terang-terangan, memperparah sakit masyarakat sehingga mati rasa terhadap nilai-nilai moral dan etika.”
Uskup prihatin melihat semakin lemah tenggang rasa antarwarga, bahkan agama bisa dijadikan alasan untuk membenci, dan dengan kekerasan melukai kerukunan hidup bertetangga warga masyarakat. “Ternyata kita belum merdeka dari kuasa dosa yang merajalela di negeri ini … kita masih belum terlibat tuntas mengelola kemerdekaan karena belum sungguh mewujudkan cinta kepada tanah air.”
Cinta kepada tanah air, lanjut Mgr Pujasumarta, terwujud dalam kesungguhan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. “Kesungguhan teruji karena dewasa ini kita sadari pula ada usaha-usaha merongrong dasar Negara. Kalau dasar Negara rapuh, akan tumbanglah bangunan Negara Republik Indonesia ini.”
Dengan cinta tanah air, tulis surat gembala bertema ‘Mengisi Kemerdekaan Dengan Peradaban Kasih’, umat Katolik memilih mengisi kemerdekaan dengan rela melakukan apa yang baik (bdk. 1Ptr 2:13-17), yaitu “membangun persaudaraan, bukan menceraiberaikan; menghormati sesama, bukan merendahkan; mengasihi sesama, bukan menyingkirkan orang lain karena berbeda suku, agama, ras dan golongan.”
Mgr Pujasumarta juga menyampaikan ajaran penting Paus Fransiskus dalam Ensiklik “Lumen Fidei” (Terang Iman), 29 Juni 2013, bahwa “iman adalah terang yang khas, yang mampu menyalakan setiap aspek kehidupan manusia.” Paus menyadarkan, semakin beriman secara benar, semakin tidak lupakan penderitaan dunia, tapi semakin membuka diri pada kenyataan kegelapan dengan kehadiran yang selalu mendampingi, membangun sejarah kebaikan yang menyentuh setiap kisah penderitaan manusia saat ini.
“Kita harus berani menyatakan, bahwa iman akan Kristus adalah sungguh-sungguh baik untuk pembangunan negara ini karena akan menghadirkan terang bagi kebaikan bersama. Iman Katolik justru akan membantu membangun masyarakat kita sedemikian rupa, sehingga bangsa ini dapat melakukan perjalanan menuju masa depan penuh pengharapan,” kata uskup seraya menambahkan peringatan Paus agar iman diwujudkan semakin menjadi berkat bagi seluruh bangsa.
Mgr Pujasumarta lalu mengajak umat KAS agar mengisi kemerdekaan dengan membangun peradaban kasih dengan menumbuhkembangkan rasa cinta kepada sesama dan lingkungan kehidupan di mana mereka berada, karena dengan demikian anak-anak hidup dalam “peradaban kasih” serta memiliki rasa handarbeni (rasa memiliki) dan dimiliki negeri ini.
Lembaga-lembaga pendidikan formal diminta mengajarkan pendidikan kebangsaan dan “pendidikan peradaban kasih” yang terencana sebagai isi dari ”Sekolah Cinta Kasih”, agar memahami nilai-nilai dasar Pancasila dan Ajaran Sosial Gereja. “Melalui pendidikan formal yang baik, saya berharap, generasi muda makin memiliki pegangan moral untuk terlibat membangun “peradaban kasih” di negeri tercinta ini.”
Bidang pelayanan Dewan Paroki, lanjut uskup, perlu memberikan ruang dan perhatian khusus bagi kaderisasi agar umat siap sedia menjadi patriot sejati. “Dan tentu saja masyarakat sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya pribadi perlu menghembuskan atmosfer yang mendukung suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik dan benar.”
Umat diminta umat untuk berani berpegang pada prinsip hidup yang mengutamakan kesejahteraan umum, dengan menghidupi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai perwujudan cinta kita kepada tanah air secara kritis dan bertanggungjawab.
Menghadapi Pemilu 2014, Mgr Pujasumarta mengingatkan agar, “Dengan bimbingan hati nurani yang terdidik secara benar kita menjadi pemilih yang cerdas dan kritis dalam menentukan pemimpin negeri ini.” Dengan demikian, uskup agung percaya, akan terpilih pemimpin yang arif dan bijaksana, rendah hati namun sigap, tegas dan kreatif mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.***