YERUSALEM, Pena Katolik – Sekelompok besar anak muda turun ke jalan-jalan Yerusalem untuk pertama kalinya sejak pecahnya perang Israel-Hamas pada Oktober lalu. Sekitar seribu anak-anak dan remaja dari sekolah-sekolah Kristen berjalan di Via Dolorosa di Kota Tua sambil memanjatkan doa untuk perdamaian, meninggalkan jejak harapan di belakang mereka, Pada hari Jumat, 23 Februari.
Inisiatif bertajuk “Jalan Salib… Jalan Damai” ini diselenggarakan oleh para imam Fransiskan Penjaga Tanah Suci dan melibatkan 12 institusi, termasuk dua Sekolah yang dikelola Gereja Anglikan dan sekolah Gereja Apostolik Armenia. Kegiatan ini juga dihadiri Delegasi Apostolik untuk Yerusalem, Mgr. Adolfo Tito Yllana.
Ribuan pemuda ini kemudian mengadakan Jalan Salib yang dimulai dari Gereja Pencambukan dan berakhir di Gereja Sang Juru Selamat Yerusalem. Di setiap perhentian, setelah pembacaan Kitab Suci dan doa, dua orang anak melepaskan sepasang burung merpati, yang merupakan tanda nyata doa perdamaian dan kebebasan, yang dipanjatkan oleh peserta termuda.
Seperti diberitakan CNA, kegiatan jalan salib ini adalah acara tahunan yang diinisiasi para imam Penjaga Tanah Suci. Tahun lalu, peristiwa ini mendapat perhatian khusus: Para siswa mengenakan syal merah, warna darah, dengan gambar patung Yesus yang dirusak beberapa minggu sebelumnya di Kompleks Flagellation. Patung yang rusak itu tidak pernah diperbaiki dan menjadi simbol penderitaan Yesus. Tahun ini perhentian pertama “Via Crucis” diadakan di sekitar patung itu.
“Setiap tahun, kami menyelenggarakan Via Crucis bersama para siswa sekolah,” jelas Pastor Ibrahim Faltas OFM, Vikaris Penjaga Tanah Suci dan Direktur Sekolah Terra Sancta, kepada CNA.
Tahun ini, syal yang digunakan berwarna putih, yaitu warna kedamaian. Tanda “Da nobis pacem Domine”, ‘Beri kami kedamaian’ membentuk tanda silang pada kain. Di kain itu juga ada gambar merpati yang memegang ranting zaitun di paruhnya, simbol perdamaian.
Pastor Faltas menekankan pentingnya kebebasan beribadah mengingat laporan baru-baru ini yang menunjukkan bahwa pemerintah Israel mungkin mempertimbangkan untuk membatasi akses ke Masjid selama bulan Ramadhan.
“Yerusalem harus terbuka untuk semua orang; itulah sifatnya. Seseorang tidak dapat dilarang untuk melaksanakan salat, pada usia berapa pun. Setiap orang berhak salat di tempat ibadahnya. Kalau saat Ramadhan masyarakat tidak bisa ke masjid, itu akan menjadi masalah besar,” ujarnya.
Perhentian 9 hingga 14 berlangsung berada di Gereja Sang Juru Selamat yang dikelola para imam Fransiskan. Di akhir Jalan Salib, para imam penjaga Tanah Suci menyampaikan renungan singkat tentang karunia Yesus, yang memberikan hidupnya untuk seluruh umat manusia.
Setelah pembacaan “Doa Sederhana”, Mgr. Yllana lalu memberkati para peserta Via Crucis. Usai acara, petugas bea cukai berbicara kepada wartawan yang hadir pada acara tersebut dan memberikan komentarnya mengenai partisipasi anak-anak.
“Jalan Salib ini juga bertujuan untuk mendorong anak-anak kita agar tetap teguh dalam pengharapan,” ujarnya petugas itu. (AES)