Selasa, Desember 24, 2024
26.3 C
Jakarta

Mengenang Romo Karl Edmund Prier SJ: Maestro Musik Liturgi Indonesia

YOGYAKARTA, Pena Katolik – Gereja Indonesia dan Serikat Yesus kehilangan satu lagi imam terbaiknya, Romo Karl-Edmund Prier SJ dipanggil Tuhan malam dini hari tadi 21 Januari 2024, pukul 00.40  WIB di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Diketahui, Romo Prier beberapa waktu ini dirawat karena sakit. Misa Requiem untuk Romo Prier akan diadakan pada Senin 22 Januari 2024. Selanjutnya, mendiang Romo Prier akan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Maria Ratu Damai di Girisonta, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.   

Romo Prier selama ini dikenal sebagai maestro Musik Liturgi Indonesia. Ia Bersama mendiang Paul Widyawan menjadi motor yang merintis buku nyanyian Liturgi berbahasa Indonesia Madah Bakti, yang hingga kini masih digunakan.

Beberapa waktu lalu, Romo Karl Edmund Prier SJ, atau akrab disapa Romo Prier, menerima gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC) dari Institut Seni Indonesia atau ISI Yogyakarta, 11 Mei 2023. Imam Jesuit asal Jerman itu menerima gelar kehormatan ini bersama Gunnar Spellmeyer.

Ilmuan Musik

Anugerah untuk Romo Prier ini diberikan atas dedikasinya dalam bidang music, khuususnya Musik Liturgi. Pada saat penganugerahan gelar ini, Romo Prier menyampaikan pidato ilmiah bertajuk “Hidup untuk Musik”. Keputusan penganugerahan Doktor HC ini disampaikan dalam sidang senat terbuka di Gedung Concert Hall ISI Yogyakarta. Sekretaris Senat ISI Yogyakarta, I Wayan Dana membacakan langsung keputusan penganugerahan ini.

“Memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa Karl Edmund Prier, SJ atas jasa yang luar biasa dalam bidang keilmuan musik, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat pada gelar tersebut,” demikian bunyi surat keputusan yang dibacakan Wayan.

Romo Prier lahir di Weinheim-Jermanpada 18 September 1937. Sejak usia Sembilan tahun, Prier sudah mulai belajar piano hingga pada 1953, ia berlatih musik secara serius di Gymnasium Albertus Magnus Schule Viernheim, saat itu usianya 16 tahun. Ia sempat mengajar musik di Kolese Stella Matutina Feldkirch, Austria.

Lulus dari sekolah musik itu, Prier memutuskan masuk Novisiat Serikat Yesus pada tahun 1957. Selesai Novisiat, ia lalu belajar filsafat di Munchen dan tamat pada 1962.

Kelahiran Madah Bakti

Inspirasi masuk Jesuit diperoleh Prier setelah membaca sebuah buku yang mengisahkan perjalanan seorang misionaris di pedalaman Eskimo. Namun, bukan di “negeri es” itu Frater Prier diutus ke Indonesia tahun 1967. Ia melanjutkan studi teologinya di Yogyakarta. Ia ditahbiskan pada 18 Desember 1969 oleh Kardinal Yustinus Darmoyuwono di Yogyakarta. Moto tahbisannya saat itu adalah “Putra Manusia Datang Bukan untuk Dilayani, tetapi untuk Melayani”.

Romo Prier mendirikan Pusat Musik Liturgi di Yogyakarta pada 11 Juli 1971. Ia mendirikan PML ini bersama Paul Widyawan untuk merealisir pembaruan musik Liturgi, secara khusus musik inkulturasi.

Sejak 1971 hingga 2004, Romo Prier juga mengajar Sejarah Musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia juga mengajar Ilmu Harmoni dan membuka praktik organ di Kursus Musik Gereja PML. Pada 1973, dalam Kongres Liturgi di Jakarta, Romo Prier diangkat sebagai Ketua Seksi Musik Liturgi Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

“Kami waktu itu sepuluh orang dari PML diundang untuk memeriahkan ibadah dalam kongres. Penampilan kami (Paduan Suara Vocalista, -Red) tampaknya mampu mencuri perhatian peserta kongres. Sehingga diputuskan, kongres dua tahun ke depan dilaksanakan di Yogyakarta,” tuturnya.

Ternyata, dari peristiwa itulah menjadi awal lahirnya buku nyanyian Madah Bakti. Dalam Kongres Musik Liturgi di Yogya pada 1975, PML dipercaya menyusun buku nyanyian dari doa dengan lagu-lagu Indonesia. Selanjutnya, dalam Kongres Liturgi di Jakarta, 1980, diresmikanlah buku nyanyian dan doa Madah Bakti.

“Kami ditugasi membuat banyak nyanyian baru, melalui lagu yang sudah ada maupun belum tercipta di Madah Bakti,” tutur Romo Prier.

Kelahiran Lagu Liturgi Indonesia

Bagi Romo Prier, paling menggembirakan di dunia musik adalah saat mengikuti lokakarya komposisi bersama para pemusik tradisional di pedalaman. Lokakarya tersebut banyak menghasilkan lagu inkulturasi. Demi mendapatkan “harta karun” musik tradisional dari masing-masing daerah, Romo Prier bersama Paul Widyawan dan tim PML banyak melakukan perjalanan ke sejumlah wilayah, antara lain Mentawai, Nias, Papua, dan Maluku. Banyak rintangan yang mereka hadapi kala itu. Salah satunya akses jalan yang sulit.

Mereka harus melintasi sungai dan rawa-rawa. Kadang, mereka harus berjalan dengan tumpuan batang bambu panjang, agar tidak terperosok ke rawa atau tenggelam di sungai.

“Itu merupakan perjalanan berat, tapi saya tidak pernah menyesal, justru sebagai pengalaman yang menggembirakan,” kenangnya.

Musik inkulturasi, bagi Romo Prier, menjadi alasan untuk dirinya selalu gembira hingga sekarang. Tatkala sedang jatuh sakit dan susah, Romo Prier merasa selalu ada yang menyemangati, baik itu umat, imam di komunitasnya maupun penghiburan dari Tuhan sendiri.

“Pergi ke pelosok daerah, saya dihormati dan dilayani dengan jamuan makanan yang enak-enak. Di asrama komunitas para romo Jesuit di Bener, saya merasa diperlakukan seperti di rumah sendiri. Di Kantor PML, ketika saya melakukan kesalahan dibiarkan, tapi tetap dimaafkan. Orang Jawa memang mudah memaafkan,” pujinya.

Pada 1981, Romo Prier bersama Paduan Suara Vocalista diundang ke Jerman oleh Misereor Aachen, untuk memperkenalkan musik dan budaya Indonesia. Sejak 1984, ia bersama Paul mulai sering diundang berlokakarya komposisi lagu inkulturasi di luar Yogyakarta, dalam konteks musik tradisional yang hidup bersama para pemusik setempat. Sampai 2019 disebutkan telah diadakan 57 lokakarya.

Lama Sakit

Pada 2006, Romo Prier sempat divonis dokter bahwa hidupnya tidak lama lagi, akibat kanker prostrat yang dideritanya. Namun, kanker ganas itu lenyap setelah dirinya berobat dan dirawat di Jerman.

Romo Prier sempat menjadi korban aksi terorisme saat ia diserang ketika sedang memimpin Misa di Gereja St Lidwnina Bedog. Namun, ia segera memafkan penyerangnya itu.

“Saya diselamatkan tangan Tuhan,” kenangnya.

Dengan rendah hati, maestro Musik Liturgi Inkulturasi ini justru mengakui banyak dididik oleh rekan-rekannya di PML, terutama oleh sahabatnya, Paul. Dalam dunia musik, Romo Prier menjadi pribadi yang sabar dan berpikir sebagai orang Jawa. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini