Sabtu, November 23, 2024
25.6 C
Jakarta

Mendalami Isu Sensitif: Membahas Kekerasan Seksual dalam Rekoleksi Biarawati, Biarawan, Frater, dan Imam di Keuskupan Ketapang

Romo Eko Sulistyo, SJ (Delegat Safeguard SJ dan Delegat Formasi SJ)

Pena Katolik – Ketapang (06/07/2023) – Perlindungan anak adalah upaya untuk memastikan keamanan, perlindungan, dan kesejahteraan anak-anak. Anak-anak secara inheren rentan karena mereka belum memiliki kapasitas fisik, emosional, atau intelektual yang sama dengan orang dewasa. Faktor-faktor yang membuat anak rentan termasuk ketergantungan pada orang dewasa, kurangnya pengetahuan atau pemahaman tentang hak-hak mereka, dan ketidakmampuan untuk membela diri.

Usaha bagi perlindungan anak melibatkan langkah-langkah seperti melindungi anak dari kekerasan fisik, seksual, atau emosional; memastikan akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan nutrisi yang memadai; dan mempromosikan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Undang-undang dan kebijakan perlindungan anak berbeda-beda di setiap negara, tetapi tujuannya tetap sama, yaitu melindungi hak-hak dan kesejahteraan anak.

Selain itu, perlindungan orang dewasa rentan berkaitan dengan melindungi individu yang memiliki keterbatasan fisik, mental, atau sosial yang membuat mereka rentan terhadap penyalahgunaan, eksploitasi, atau diskriminasi. Kelompok-kelompok orang dewasa rentan meliputi lansia, orang dengan disabilitas, orang yang menderita penyakit mental, korban kekerasan dalam rumah tangga, dan orang yang hidup dalam kondisi sosial atau ekonomi yang buruk.

Karena keprihatinan Gereja terhadap kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak dan umat dewasa, Keuskupan Ketapang mengangkat tema rekoleksi bagi biarawati, biarawan, frater dan imam sebagai sebagai bentuk kepedulian terhadap maraknya kekerasan seksual terhadap anak dan orang dewasa rentan sehingga keterlibatan Gereja sebagai lembaga dapat memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan banyak individu.

Rekoleksi Dua Hari

Rekoleksi yang diadakan oleh Keuskupan Ketapang selama dua hari yaitu pada 06 Juli sampai 7 Juli 2023 diharapkan memberikan kesadaran di kalangan rohaniwan dan religius untuk mewujudkan anjuran Paus Fransiskus untuk membentuk protokol perlindungan anak dan dewasa rentan di setiap keuskupan.

Pemateri yang memberikan rekoleksi didatangkan para ahli dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Ketapang Elias Ngiuk, S.Sn. (Ketua KPPAD Ketapang) bersama Deasy Maria A, S.Psi. (Bidang Sosialisasi, Konsultasi dan Kerja Sama KPPAD Ketapang) dan Romo Eko Sulistyo, SJ, (Delegat Safeguard SJ dan Delegat Formasi SJ). Materi yang diberikan sangat penting sehingga peserta rekoleksi memperhatikan dengan penuh antusias tentang masalah yang dibahas dalam rekoleksi.

Upaya KPPAD Ketapang

KPPAD Ketapang merupakan Lembaga yang berada di Kabupaten Ketapang yang bertugas untuk menyelenggarakan pengawasan dan perlindungan Anak di Daerah Ketapang yang bersifat independen, non diskriminatif, akuntabel, profesional dan kemitraan. Adapun tugas-tugas dari KPPAD Ketapang antara lain melakukan sosialiasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaran perlindungan anak di daerah Ketapang, dan memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Bupati dalam rangka perumusan kebijaksanaan penyelenggaraan Pengawasan dan Perlindungan anak di daerah Ketapang.

Kriteria individu yang disebut sebagai “anak” adalah seseorang yang berlum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Perlindungan anak sangat penting karena anak-anak adalah individu yang rentan dan belum memiliki kemampuan fisik, emosional, atau intelektual yang sama dengan orang dewasa. Maka dari itu perlindungan anak menjadi tugas KPPAD Ketapang untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, sehat, cerdas, tumbuh, dan berkembang, serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kejahata, keterlantaran, kekerasan dan diskriminasi. Maka dari itu, kekerasan terhadap anak bagaimanapun bentuknya tidak dapat dibenarkan karena berpotensi timbulnya kesengsaraan, penderitaan fisik, psikis, seksual dan penelantaran terhadap anak termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Pemaparan dalam rekoleksi hari ini mengenai data statistik tentang kekerasan terhadap anak pada tahun 2022. Data yang diinput pada tanggal 1 Januari-31 Desember 2022 dan data per 1 Januari 2023 hingga saat ini (real time). Rasio Anak Korban Kekerasan tahun 2022 di Kalimantan Barat sebanyak 337 korban. Secara spesifik Anak Korban Kekerasan dari Januari hingga Juli 2023 di Kalimantan Barat terdapat sebanyak 101 korban. Secara khusus, terdapat beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Ketapang tahun 2023 ini yakni kekerasan  fisik sebanyak 3 korban, kekerasan psikis sebanyak 2 korban dan kekerasan seksual sebanyak 19 korban. Hal ini cukup menyedihkan karena angka yang ditulis di atas adalah angka yang berhasil dilaporkan kepada KPPAD Ketapang, tetapi kasus-kasus yang belum/tidak dilaporkan tentu saja lebih banyak dari itu. Terjadinya kasus kekerasan terhadap anak di Ketapang disebabkan oleh beberap faktor di antaranya kurangnya pendidikan agama pada anak, kurangnya pendidikan seksual pada anak sesuai usia, kemiskinan, pengangguran, globalisasi informasi dan pola asuh.

Mendalami Safe Guarding

Salah satu arah dasar Gereja Keuskupan Ketapang adalah tangguh dalam pelayanan kasih kepada sesama manusia. Oleh karena itu dicita-citakan Gereja yang melindungi anak dan umat yang rentan dari tindak kekerasan, khususnya kekerasan seksual oleh imam, biarawan dan biarawati serta pelayan Gereja di awam. Tujuan dari kegiatan yang direncakan oleh Keuskupan Ketapang ini antara lain memberikan kesadaran akan pentingnya membangun budaya aman dan memberikan perlindungan bagi anak-anak dan orang dewasa rentan menjadi subyek atau obyek pelayanan reksa pastoral. Selain itu, tujuan lainnya ialah membantu peserta untuk bisa mengimplementasikan kesadaran akan budaya aman dalam usaha membangun Gereja aman sesuai konteks masing-masing yang mencakup penanganan dan pemulihan.

Sebelum memulai rekoleksi, pada sesi kali ini Romo Eko Sulistyo, SJ menceritakan latar belakang mengapa beliau bisa berkecimpung dalam hal-hal yang berkaitan dengan tema kali ini. Sejak 2012, Romo Eko diutus oleh Provinsial SJ untuk menjadi bagian dari tim BKBLI dan KOPTARI (Konferensi Pimpinan Tarekat Religius Indonesia). Melalui gagasan di mana Gereja harus menanggapi kasus-kasus pelecehan yang terjadi, kemudian sidang KWI 2017 melakukan usaha penyadaran bagi Gereja di Indonesia. Dikumpulkan beberapa orang dari berbagai kongregasi untuk menjadi bagian dari tim ini. Pada Desember 2017, dibentuk Tim awal yang memberikan seminar mulai tahun 2018 dan sudah beberapa kali mengadakan workshop. Pada agenda bulan ini, tim akan mengadakan seminar yang berjudul Quo Vadis Vade Mecum. Selain itu, Romo Eko juga membagikan sebuah majalah ROHANI yang membahas banyak mengenai Safeguarding yang berkaitan dengan surat Paus Fransiskus tentang Pelecehan Seksual oleh Para Klerus. 

Suasana Rekoleksi

Setelah dipaparkan secara data oleh Tim KPPAD Ketapang, dapat disadari bahwa kekerasan seksual itu ada dan nyata dalam lingkungan sehari-hari. Romo Eko mengisahkan ketika beliau mengawali tugas sebagai Delegat Safeguarding, beberapa bulan kemudian muncul broadcast yang terbit di web sesawi dan sebagainya. Banyak pihak merasa bahwa akibat dari tugas delegat yang diemban Romo Eko, dua saudara Jesuit mendapatkan suspensi. Meskipun demikian, selama setahun menjalankan tugas tersebut, pada akhirnya yang dihadapi adalah saudara-saudara setarekat. Tentu saja perasaan tersebut sungguh tidak mengeenakkan. Apabila Romo Eko datang ke Komunitas, beliau dianggap seperti polisi yang siap menggerebek tersangka. Namun syukurnya, beliau cukup diterima walau dengan berkelakar,”Kamu datang ke sini mau periksa siapa lagi ini?” Walaupun mendapatkan tugas yang tidak enak, namun hal tersebut harus tetap dijalani dan diolah dengan baik.

Era media sosial juga semakin lama semakin menguasai. Romo Eko membeberkan bahwa ada salah satu akun Facebook yang merasa diri sebagai pendamping korban. “Apakah para suster, para Romo mengikuti Facebook ini?” Romo Eko bertanya kepada para peserta. Semua orang, melalui akun tersebut diserang. “Yang sering diserang itu dua, uskup Keuskupan Agung Semarang dan Provinsial saya; dikatakan goblok lah, provinsial yang menutup-nutupi lah bahkan nama Mgr. Pius Riana pernah disebut, bahkan chattingan, WA yang sangat private itu diunggah di sana.” 

Romo Eko kemudian mempertanyakan apakah cara orang tersebut harus demikian? Apabila semua kasus diselesaikan melalui hukum sipil, mungkin pekerjaan Romo Eko lebih enteng. Tetapi dalam kasus-kasus yang terjadi dalam Gereja, tidak semua kasus semudah itu. Karena beberapa korban ada yang tidak mau berurusan dengan kepolisian. Misalkan, anak di bawah umur harus menjalani BAP (Berita Acara Pemeriksaan), mereka akan ditanyakan kembali. Ketika diintrogasi semacam itu, malah akan menambah beban, luka, trauma bagi si korban. Sehingga hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi tim yang menjalankan advokasi kasus ini. Maka dari itu, penyelesaian masalah di dalam Gereja ada banyak pendekatan.

Semangat yang dipakai untuk menggerakkan perjuangan ini adalah melalui cara pandang Allah yang meskipun dunia ini mengalami carut-marut, tetapi Ia masih mau menyelamatkan manusia dari kebinasaan dengan mengutus putera-Nya. Dalam konteks kekerasan, pelecehan dan sebagainya, di dalam kemanusiaan yang rapuh, justru Tuhan Allah mau masuk dan berempati ke sana, menjadi manusia dan mau masuk ke dalam penderitaan kita. Romo Eko menyebut hal tersebut sebagai realitas para pejuang. Meskipun hukum negara yang terbaru para pelaku pelecehan seksual dikebiri secara kimia, tetapi tindakan pelecehan seksual tidak juga kunjung berhenti. Pada 16 Februari 2023, seorang imam Keuskupan Ruteng menggantung diri di kamarnya setelah diadukan pada tahun 2012 setelah ia diadukan menghamili mahasiswi di kampus yang dipimpinnya. Dalam carut marut dunia yang seperti demikian, Gereja dipanggil untuk dekat dan solider dengan para korban dan bergabung dalam doa dan puasa, penuh penyesalan atas “kekejaman” semacam itu.

“Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita” (1 Korintus 12:26). Menurut Paus Fransiskus kepada Umat Allah tentang Pelecehan Seksual oleh Para Klerus sebagaimana dikutip oleh majalah ROHANI, Paus menuliskan bahwa kata-kata Santo Paulus tersebut kuat bergema di dalam hatinya ketika ia mengakui sekali lagi penderitaan yang dialami oleh banyak orang di bawah umur karena pelecehan seksual, penyalahgunaan kekusaan serta hati nurani yang dilakukan oleh sejumlah imam dan anggota hidup bakti. Kejahatan itu menimbulkan luka-luka mendalam dan ketidakberdayaan, terutama pada para korban, tetapi juga para anggota keluarga mereka dan seluruh komunitas, entah orang-orang beriman atau tidak beriman.

Penting bahwa Gereja dapat mengakui dan mengutuk dengan rasa sakit dan malu kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang ditahbiskan, imam-imam dan semua yang diberi perutusan untuk mengawasi dan melindungi mereka yang paling rentan. Paus mengajak kita semua untuk mohon pengampunan atas dosa kita sendiri dan dosa orang lain. Kesadaran akan dosa membantu kita untuk mengakui kesalahan, kejahatan, dan luka yang disebabkan masa lalu dan membantu kita, pada saat ini, untuk lebih terbuka dan berkomitmen pada perjalanan pertobatan yang dibarui. Wujudnya adalah panggilan dan komitmen dalam perlindungan dan budaya aman terhadap anak-anak dan orang dewasa rentan (Safeguarding). Cara memulainya adalah Gereja harus mengakui bahwa pernah melakukan salah, pernah menutup-nutupi.

Bulan Maret lalu, Paus memperkuat dan memperbaharui prosedur penanganan tindakan pelanggaran seksual Vos Estis Lux Mundi. Ini merupakan sebiah rambu-rambu bagaimana Gereja menerima laporan, menindak dan mendampingi korban terlebih anak-anak dan orang dewasa rentan yang mengalami pelecehan. Vos Estis Lux Mundi diterbitkan Paus Fransiskus pada 7 Mei 2019 dengan harapan masing-masing keuskupan sudah memiliki sebuah sistem safeguarding.

Meskipun begitu, dalam perjalanan waktu rancangan sistem safeguarding tersebut dirasakan tidaklah mudah karena begitu banyaknya tantangan dan tegangan salah satunya faktor budaya. Setiap tarekat, keuskupan dalam konteks tempat mereka berada, negara ataupun bangsa memiliki tegangan dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh safeguarding. Prinsip yang ditekankan dalam safeguarding adalah keadilan, dan pemulihan martabat korban. Misalnya, ada seorang pemimpin tarekat yang mengatakan,”Imam-imam kami itu sudah tanda tangan di atas materai, bahwa mereka kalau melakukan tindak pidana kekerasan seksual, itu adalah tanggung jawab pribadi” Romo Eko memberikan contoh. Apakah pernyataan ini adil? Memang imam harus bertanggung jawab, tetapi selanjutnya siapakah yang akan mendampingi korban? Maka dari itu, semangat safeguarding pertama-tama adalah mendengarkan korban.

Safeguarding sendiri merupakan upaya perlindungan dan membangun budaya aman dalam institusi dan tempat bekerja. Tugas safeguarding adalah untuk memastikan bahwa setiap individu yang ada di dalamnya dihormati martabatnya sebagai pribadi. Kesalahpahaman yang acapkali terjadi, apabila tergabung dalam tim safeguarding, tugasnya menjadi “polisi” dan menindak padahal sesungguhnya bukanlah demikian.

Tugas tersebut pertama-tama adalah pencegahan, dan bagaimana budaya aman itu dikampanyekan dalam institusi dan tempat bekerja. Contohnya, para suster atau bruder yang memiliki sekolah; bagaimana memastikan bahwa guru-guru yang baru direktrut adalah pribadi-pribadi yang aman, mereka bukanlah pribadi yang memiliki kecenderungan pedofilia (suka dengan anak-anak). Contoh lain, bagaimana memastikan bahwa Tukang AC yang memperbaiki AC di sekolah itu tidak akan macam-macam. Misalnya, dia tidak memotret anak-anak yang cantik ketika sedang memperbaiki AC. Bagaimana memastikan ruang-ruang konseling jika ada pribadi yang ditugaskan sebagai BK, pendamping asrama, ruang konseling tersebut transparan, bukan pintu-pintu yang tertutup. Maka dari itu, kita tidak menunggu kasus pelecehan seksual tersebut terjadi melainkan bagaimana memastikan setiap institusi tempat bekerja kita itu menjadi ruang-ruang yang aman.

Kekerasan Seksual Dalam Gereja: Kasus, Latar Belakang dan Pemulihan

Seperti yang telah dijelaskan bahwa sistem Safeguarding merupakan upaya pencegahan. Maka dari itu, diperlukan komitmen pada Budaya Aman dan Perlindungan (Safeguarding) di mana kebijakan tersebut, khususnya di dalam Gereja menjadi tempat yang aman. Gereja menjadi tempat di mana ada akses korban agar dapat didengarkan, didampingi dalam semangat keadulan dan pemulihan martabatnya.

Sebelum masuk ke dalam Gereja dan pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak (minor abuse), perlu diketahui beberapa istilah dalam kekerasan seksual. Kekerasan seksual atau pelecehan seksual merupakan suatu kejahatan seksual. Ada beberapa istilah seperti pedofilia (kecenderungan menyukai anak-anak di bawah umur), epebophilia (kecenderungan menyukai anak-anak remaja), predator anak, child abuse atau minor abuse merupakan istilah-istilah dalam kasus pelecehan anak-anak.

Menurut TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) berdasarkan UU No. 12 Tahun 2022 mencatat bahwa Tindak Pindana Kekerasan Seksual terdiri atas: (1) pelecehan seksual non fisik, (2) pelecehan seksual fisik, (3) pemaksaan kontrasepsi, (4) pemaksaan sterilisasi, (5) pemaksaan perkawinan, (6) penyiksaan seksual, (7) eksploitasi seksual, (8) perbudakan seksual, dan (9) kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain itu, Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: (1) perkosaan, (2) perbuatan cabul, (3) persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau ekspolitasi seksual terhadap Anak, (4) perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban, (5) pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, (6) pemaksaan pelacuran, (7) tindakan pindana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual dan (8) tindakan pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu UU No. 35 Tahun 2014 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada Anak, (2) Perlindungan khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan kepada: (1) Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, (2) Anak korban kejahatan seksual.

Berkaitan dengan Vos Estis Lux Mundi, pada 7 Mei 2019, Vademecum “instruksi gerejawi” yang berkekuatan seperti undang-undang yang diperbaharui Paus pada 25 Maret 2023 menekankan beberapa hal seperti pelapor bisa siapa saja, tidak harus pimpinan tarekat, pelecehan juga mencakup pelecehan dalam relasi kuasa yang dialami oleh seminaris atau novis. Terkait pada pembatasan laporan, Paus Fransiskus menekankan bahwa tidak ada lagi pembatasan masa pelaporan, bisa melaporkan kasus-kasus yang terjadi di masa lampau. Alasannya adalah supaya memperluas jangkauan perlindungan bagi korban dan menghentikan praktik menutup-nutupi yang dilakukan oleh pimpinan Gereja.

Selain itu, dalam Vos Estis Lux Mundi artikel 5 disampaikan mengenai pemeliharaan bagi pribadi-pribadi. Artikel tersebut berbunyi: “Otoritas Gereja harus berkomitmen untuk memastikan bahwa (penyintas/survivor) pihak-pihak yang dirugikan, bersama dengan keluarganya, diperlakukan sesuai dengan martabat dan penuh hormat, dan secara khusus, diperlakukan: (1) Diterima, didengarkan, dan didukung, termasuk melalui penyediaan pelayanan khusus. (2) Dilayani dengan bantuan rohani (3) Dilayani dengan bantuan medis, termasuk bantuan psikologis dan terapeutis, yang dibutuhkan dalam kasuskasus tertentu.”  Selain itu, nama baik dan kerahasiaan (privacy) orang-orang yang terlibat, sebagaimana kerahasiaan data pribadi, harus dilindungi.

Pelaku Pelecehan Seksual Anakanak (Minor Abuse)

Pedofil dapat menjadi siapa saja, dan ada di mana saja. Maka dari itu, jangan tertipu janji manis predator anak. Pedofil biasanya menjalani kehidupan di depan orang bertindak normal, hormat, bertanggung jawab menjalankan tugas sebagai orang dewasa. Dari data menjunjukkan bahwa pelaku kejahatan seksual ini bisa siapa saja, entah eksekutif, orang yang mapan, anggota keluarga, teman, manager, politikus, imam, pemuka agama, guru, pelatih olah raga. Beberapa dari mereka adalah orang yang menikah, hal ini berkebalikan dengan anggapan umum bahwa pelecehan terjadi karena masalah selibat. Selain itu, pedofil juga dapat dengan sangat cerdik mengambil hati korban.

Ada beberapa istilah bagaimana seorang pedofil dapat mencapai tujuan untuk melecehkan si korban. Pelaku dapat melakukan Grooming, tampil sebagai seorang yang bersahabat dengan anak: memberi uang, mainan, permen, melindungi, (membangun relasi dan kepercayaan). Ada enam tahap Grooming: Pertama, Pelaku akan mencari target kemudian mencari titik lemah korban yaknianak dengan (vulnerability) kebutuhan emosional, anak dengan kecenderungan isolasi, dan anak dengan rasa percaya diri yg rendah. Anak-anak dengan perhatian yg sedikit dari orang tua adalah mangsa yang diinginkan pelaku. Kedua, Pelaku akan berusaha mendapatkan kepercayaan dari korban dengan cara mengumpulkan informasi tentang anak, mencari kebutuhannya dan bagaimana memenuhinya.

Suasana Rekoleksi Foto: Frater Sesko

Pelaku akan menjadi perawat yang hangat dan bentuk perhatiannya begitu nyata. Ketiga, Pelaku akan mulai memenuhi kebutuhan korban. Ketika pelaku mulai memenuhi kebutuhan korban, maka kehadirannya dalam hidup korban semakin penting dan diidamkan. Kebutuhan tersebut dapat berupa hadiah, perhatian lebih, afeksi membedakan dari relasi dengan orang dewasa lain, sehingga haruslah menjadi perhatian dan tanda untuk lebih waspada. Keempat, pelaku akan memisahkan anak.

Pelaku akan membuat situasi yang membuat anak sendirian sehingga membuat relasi semakin kuat. Pelaku akan merawat, mengajari, melatih si korban dan tindakan-tindakan ini merupakan bentuk-bentuk isolasi anak. Relasi khusus dapat terjadi ketika anak merasa dicintai lebih dari siapapun (bahkan orang tuanya). Kelima, pelaku akan membuat relasi ke arah seksual. Ketika tahap ketergantungan emosional dan afektif sudah mencukupi, pelaku menseksualiasi relasi yang ada. Upaya merangsang dapat terjadi melalui cara bicara, gambar, dan menciptakan berbagai macam situasi (contohnya: berenang bersama) yang mebuat pelaku dan korban telanjang. Dalam titik ini, pelaku orang dewasa akan mengeksploitasi rasa penasaran anak, menggunakan rangsangan untuk meningkatkan relasi seksual. Keenam, pelaku kemudian menjaga control terhadap anak. Ketika pelecehan telah terjadi, pelaku umumnya pelaku akan mengancam utk merahasiakan agar anak mau bereleasi secara seksual secara diam-diam. Hal ini dikarenakan karena aktivitas seksual dapat menyebabkan anak menarik diri dalam relasi seksual. Anak-anak ada dalam situasi terjerat akan menyalahkan dirinya sendiri dan segala macam bentuk barang-barang yang diberikan oleh pelaku. Anak itu mungkin merasa bahwa kehilangan hubungan dan konsekuensi dari mengeksposnya akan mempermalukan dan membuat mereka semakin tidak diinginkan.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui mengenai seorang pedofil. Pertama, seorang pedofil biasanya memiliki kebingungan orientasi seksual. Kebingungan ini terkait dengan ketidakmampuan seseorang menerima rasa perasaannya sendiri yang membuatnya malu dan mengingkari tema pembicaraan terkait fantasi dan orientasi seksual. Bisa saja dalam wawancara orang tersebut bingung menjawab, tidak jelas dan tidak meyakinkan dalam menjawab. Kedua, seorang pedofil memiliki minat dan perilaku yang kekanak-kanakan.

Dalam berelasi, ada kecenderungan untuk mempunyai relasi, nafsu, dan fantasi yang terkait dengan anak-anak. Bisa ditanya ‘apa hobby atau kebiasaan?’ Hal yang terjadi sebenarnya ia tidak memiliki minat, relasi, dan tingkah laku yang wajar sebagai orang dewasa. Ketiga, seorang pedofil miskin akan relasi dengan teman sebaya. Ketika ada-anak hanya menjadi pusat perhatian seseorang, ini merupakan indikasi kuat bahwa orang tersebut mempunyai hidup emosional, intelektual, dan imaginatif yang pada dasarnya tidak dewasa. Yang menjadi masalah bukanlah relasinya dengan anak-anak, tetapi kurangnya relasi dengan teman sebaya, yang adalah tanda ketidakmatangan dalam psikologi perkembangannya. Keempat, seorang pedofil memiliki pengalaman perkembangan seksualitas yang ekstrim. Perkembangan seksual seseorang adalah kunci untuk memahami elemen-elemen yang telah dibicarakan sebelumnya ini. Pengalaman seksual yang terjadi sebelum masa pubertas berpengaruh kuat terhadap perkembangan seksual seseorang.

Misalnya terjadinya abuse di masa lalu. Mereka punya kecenderungan mengirimkan pesan yang ambigu dan ‘seductive’ karena ini merupakan satu-satunya hal yang mereka pelajari dalam berelasi dan dalam mengekspresikan dirinya. Bahkan, ada kemungkinan dalam diri mereka untuk mengulangi apa yang pernah mereka alami ketika anak-anak. Demikian juga sejarah seksualitas yang rigid dan represif juga sama merusaknya dalam perkembangan seseorang. Ada pedofil yang menampilkan diri sebagai ‘malaikat’ karena tidak ingin membicarakan seksualitasnya dan memendam hal-hal terkait dengan seksualitas. Kelima, seorang pedofil memiliki pengalaman akan sejarah kekerasan dan penyimpangan seksual. Mayoritas pelaku mengalami pengalaman dilecehkan ketika mereka kanak-kanak. Bisa juga terjadi karena adanya kekerasan lain di masa lalu yang mengakibatkan kurangnya afeksi; menjadi sasaran hukuman kekerasan; atau bisa juga karena pelaku ketika kecil menyaksikan secara berulang-ulang insiden yang sama. Kurangnya kesadaran akan batas yang sehat antara anakanak dan orang dewasa terlebih dalam hal kedekatan (intimacy). Keenam, Kepribadian seorang pedofil sangat pasif, introvert, konformis,dan tergantung (dependent). Corak kepribadian ini umumnya ditemukan dalam banyak kasus pelecehan seksual anak-anak. Hal ini terjadi karena ketakutan untuk tidak menyenangkan orang lain terlebih figur otoritas dan orang dewasa, sebagai akibat dari penyangkalan akan kemarahan dan dialihkan kepada erotisasi kemarahan. Para pelaku tak jarang menjadi budak dari kemarahannya sendiri.

Relasi Kuasa

Relasi kuasa merupakan kondisi di mana salah satu pihak memiliki atribusi serta power yang lebih tinggi dibanding dengan yang lainnya serta menggunakan hal tersebut untuk menguasai individu atau kelompok yang dianggap lebih lemah. Kekerasan seksual yang terjadi karena adanya relasi kuasa atau power abuse biasanya terjadi jika pelaku memiliki status hierarkis yang lebih tinggi dibanding korbannya. Kekerasan seksual dengan relasi kuasa, selain menempatkan korban sebagai pihak yang tidak beradaya, biasanya juga disertai dengan ancaman: mendapat nilai studi yang buruk, diberhentikan dari pekerjaan, mengancam bahwa keluarga korban akan dicelakai, hingga ancaman pembunuhan pada korban. Maka dari itu, korban tidak melawan dan pelaku bisa melakukan berulang kali dan bukan berarti korban menyukainya, namun karena faktor-faktor di atas.

Dalam materi yang disampaikan oleh Romo Eko mengenai relasi kuasa, terdapat tiga sumber kekuasaan. Pertama, Dalam arti Kepribadian (Personality), kekuasaan bisa berasal dari karisma dan kepribadian; kepandaian, ketenangan, humor, kejujuran, kebaikan, kemapuan meyakinkan dan menyampaikan pendapat. Kemampuan ini bisa dipakai untuk memperoleh kepatuhan dan pengaruh dari orang lain. Kedua, dalam arti kepemilikan (Property): Uang dan barang bisa menjadi daya tarik untuk membuat orang lain patuh dan menuruti apa yang diinginkan. Ketiga, dalam arti Organisasi: Adanya struktur dan aturan memungkinkan orang untuk mengatur dan memperoleh pengaruh dan kepatuhan dari mereka yang ada dalam struktur di bawahnya.

Ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada korban. Misalnya, kekerasan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa, orangtua terhadap anak, artis dengan fans, bos dengan karyawan, rentenir dengan pengutang, dan lain sebagainya. Bahkan, relasi kuasa bisa terjadi antara seseorang dengan orang yang disukai atau dikaguminya, meskipun tak punya hubungan langsung.

Relasi pastoral adalah relasi yang menampilkan wajah pelayanan Gereja sehingga orang lain mengalami relasi karena kekuasaan dan kompetensi setiap Jesuit, dan karena itu relasi ini tidak setara. Ada kekuasaan dalam praktik relasi ini yaitu antara Jesuit yang mempunyai wewenang sebagai pelayan Gereja dan umat yang dilayani. Orang datang kepada seorang Jesuit seringkali karena mengalami kerapuhan pribadi dan membutuhkan pelayanan pastoral.

Oleh karena itu, sangat penting bahwa kaum selibat perlu sadar dan menghormati batas-batas profesional. Usaha membawa relasi pastoral ke arah relasi seksual merupakan pelanggaran kepercayaan. Jika pihak lain memulai usaha membawa relasi pelayanan kepada relasi seksual, kaum selibater yang berelasi dengannya bertanggung jawab untuk menjaga batas terhadap kontak seksual. Dalam hal “korban” tampak memberi persetujuan dan mungkin juga sadar sepenuhnya dalam memberi persetujuan untuk relasi seksual (consensual sex), kaum selibater dan orang tersebut tidak berada dalam posisi yang setara sehingga kaum selibater tersebut wajib menjaga relasinya tetap profesional.

Beberapa prinsip penanganan (Gereja) dalam kasus kekerasan terhadap anak dan orang dewasa rentan. Pertama, tidak adanya relasi konsensual antara anak, orang dewasa dan dewasa rentan dengan klerus yg membenarkan kekerasan seksual dalam ranah pelayanan karya gereja. Kedua, tidak adanya relasi (kuasa) setara dalam layanan pastoral. Hal ini disebabkan karena pihak yang mendapatkan layanan pastoral berada dalam posisi rentan untuk menjadi korban.

Pencegahan: Warning Signs, Asesmen, Seleksi

Dalam sesi kali ini, Romo Eko menyampaikan bahwa ada beberapa warning signs ketika tarekat/kongregasi/keuskupan hendak menerima calon anggotanya untuk mencegah terjadinya tindakan pelecehan seksual di masa depan.  (1) Pengalaman sexual abuse waktu kecil/anak. Pengalaman ini dapat merusak gambaran diri, penilaian moral, serta afeksi. (2) Pengalaman trauma psikologis yg besar. Pengalaman ini dapat merusak / mengaburkan identitas diri dan relasi. (3) Luka-luka batin yang parah sewaktu kecil. Pengalaman tersebut dapat menimbulkan rasa rendah diri, kesepian, sikap menghukum yang berlebihan. (4) Catatan-catatan tentang prilaku seksual yang ganjil dari keluarga, teman, orang dekatnya.

Hal tersebut dapat mempengaruhi afeksi kekanak-kanakan / tidak dewasa seturut umur (pribadi terlalu tergantung atau terlalu menjauh/tak nyaman) (5) Sejarah hidup seksualitas yg tidak biasa atau menyimpang. (6) Kejadian/peristiwa tidak wajar (sexually related-events) selama masa formasio (7) Catatan tentang relasi tidak sehat dengan sesama jenis dari remaja sampai dewasa (pelanggaran relasi) (8) Informasi tentang pornografi atau adiksi lainnya. (9) Menerima calon yang menjadi korban dan menjadi pelaku pelecehan seksual merupakan sebuah keputusan yang sangat beresiko (sehingga perlu dilakukan seleksi ketat dengan pertimbangan hal tersebut) (10) Pastikan ada formator kompeten yang mampu mendeteksi serta membantu mengolah trauma seksual dari anggota.

Menurut Data Klinis, pelaku sexual abuse of a minor (kekerasan seksual pada anak) memiliki sejarah / pengalaman pelecehan seksual di masa kecil (abused-abusing circle). Pelaku menunjukan defisit intimitas, berlaku seperti remaja dengan masalah-masalah psikologis (stress, obesity, alcohol, gambling). Pelaku juga memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan-gangguan psikologi yang berat.

Mendengarkan Korban

Salah seorang korban dalam pertemuan dengan Paus Fransiskus mengatakan, “Yesus mempunyai ibu-Nya ketika ia menghadapi sengsara dan kematianNya. Tetapi ibuku, Gereja, meninggalkanku sendirian dalam masa terlukaku.”. Luka yang ditimbulkan akibat dari pelecehan seksual anak begitu mendalam. Gereja perlu hadir dan siap mendengarkan korban. Menjadi suatu hal yang fatal apabila yang terjadi adalah dengan mudah memberikan kompensasi (uang, barang, dan lain-lain) yang justru membuat Gereja tidak aktif mendampingi korban.

Korban kekerasan seksual sendiri memiliki kecenderungan untuk diam. Maka ‘diam’ ini jangan dipahami bahwa kasus yang dialami korban sudah selesai atau tidak ada masalah lagi. Muncul suatu mekanisme pembelaan diri terhadap rasa malu, aib, dan lain-lain sehingga membuat korban tidak serta merta mudah terbuka. Banyak kasus menunjukkan bahwa korban baru bisa terbuka dan mau jujur ketika telah berusia 30 tahun ke atas.

Dampak psikologis korban pelecehan seksual terhadap korban bisa bermacam-macam. Misalkan, dampak fisik seperti sering merasa sakit kepala, mual, sakit perut, lemas tidak mempunyai energi, psikosomatis dan lain-lain. Meskipun demikian, dampak-dampak tersebut tidak melulu disebabkan oleh pelecehan seksual, bisa jadi juga diakibatkan oleh trauma-trauma yang lainnya. Dampak lain yang bersifat psikologis antara lain gangguan kognitif, mood, perilaku hingga relasi.

Gangguan Kognitif misalnya orang yang menjadi korban mempunyai konsep diri yang buruk (Saya kotor, saya tidak suci, merasa tidak berharga, saya ini sampah), rasa curiga yang tinggi terhadap orang lain, menganggap orang lain ancaman. Dalam segi mood (corak nuansa emosi), orang menjadi marah, malu, trauma, takut, merasa bersalah, hingga depresi. Ada orang yang mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yaitu korban mengalami trauma dengan orang-orang atau tempat-tempat yang berkaitan dengan terjadinya pelecehan seksual. Dalam hal perilaku, korban akan mengisolasi, menarik diri, obsesif kompulsif. Korban yang mengalami obsesif kompulsif misalnya memiliki perilaku yang selalu ingin mencuci tangan (setiap 5 menit cuci tangan). Korban bisa juga menjadi agresif baik aktif maupun pasif, kata-kata menjadi kasar, melukai diri. Perilaku lainnya adalah adiktif, masturbasi, alcoholic, hingga bunuh diri. Kesulitan dalam relasi bisa terjadi dalam beberapa bentuk: mengalami kesulitan dalam berelasi, sulit percaya orang lain, adanya ketergantungan afeksi, relasi tidak mendalam dan kurang bermakna. 

Mengapa korban kekerasan seksualtidak melapor? Pertama, takut, malu dan khawatir akan mendapat stigma dari orang lain, terutama jika kasus ini akan diproses secara hukum. Kedua, kekhawatiran bahwa kasus ini tidak akan diproses lebih lanjut karena belum ada payung hukum yang secara spesifik berpihak pada korban. Ketiga, masih ada penyidik yang memiliki pandangan bias ketika memproses kasus, sehingga proses pelaporan yang membuat korban mengalami retraumatisasi. Keempat,sulitnya mendapatkan saksi yang menjadi salah satu persyaratan ketika ingin diproses secara hukum dalam kasus kekerasan seksual. Kelima, pelaku memanfaatkan kekuasaannya untuk melobby pihak yang dapat mempengaruhi laporan korban agar tidak diterima. Keenam, ada kekhawatiran pelaku melaporkan balik korban.

Ada tiga kaki penting (The Tripod of Relational Safety Model) dalam membangun relasi budaya aman dalam lingkungan kita: diri yang aman, komunitas yang aman, dan pelayanan yang aman. Diri yang aman (Safe-Self) yaitu meningkatkan kesadaran diri sebagai individu yang menjadi bagian dari umat gereja, dengan menghargai diri sendiri, saling memahami dan menghormati batasan masing-masing. Komunitas yang aman (Safe community) yaitu negara, masyarakat dan gereja membuat regulasi/protokol Safe Guarding yang menghormati hak asasi dan martabat manusia. Pelayanan yang aman (Safe ministry) yaitu karya pelayanan gereja perlu membuat regulasi/protokol untuk membangun budaya Safe Guarding dengan cara mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak dan orang dewasa rentan.

Spiritualitas Safe Guarding

Spiritualitas Safe Guarding dapat direfleksikan melalui Injil Matius 18:4-6: “Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepadaKu, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.”

Apabila dirangkum, spiritualitas Safe Guarding dapat diwujudkan dengan menghidupi semangat kerendahan hati (humility) dan kemurahan hati (hospitality), dan semangat pemimpin yang melayani. Semangat dasar dan kunci dari Safe Guarding adalah belajar dan mendengarkan dari anak-anak (korban).

Penulis: Fr. Fransesco Agnes Ranubaya
Narasumber: KPPAD Ketapang dan Romo Eko Sulistyo, SJ

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini