PONTIANAK, Pena Katolik – Diakon Rambang Ngawan OP lahir dan besar dalam keluarga Dayak di Sungai Putat, Siantan, Pontianak, Kalimantan Barat. Namun, masa kesilnya dihabiskan di Sanggau. Di tempat inilah, sang ayah mengabdi sebagai seorang guru di SMAN 1 Kembayan (Sanggau). Sang ayah menjadi salah satu guru perintis sekolah itu. Sedangkan ibunya sehari-hari membuka kantin di sekolah yang sama.
Situasi ini, menjadikan Diakon Rambang bercita-cita menjadi seorang guru. Cita-cita ini lumrah, di masa kanak-kanak, untuk menjadi seorang guru, polisi, tentara dan berbagai macam lainnya. Selain itu, ia juga telah berpikir untuk suatu saat menjadi seorang imam.
Diakon Rambang mengingat, juga semacam trend saat itu diantara teman-teman di Kembayan¾saat saya kelas 5-6 SD di SDN 09 Tanjung Merpati¾untuk lanjut ke seminari menengah. Tahapannya adalah selesai lulus SD, kemudian masuk salah satu asrama di Bodok dan kemudian dilanjutkan dengan seminari menengah di Nyarumkop.
Sayang, keinginan itu gagal terwujud.setelah 11 tahun di Kembayan, sang ayah harus pindah ke Serawai, Kabupaten Sintang karena diangkat menjadi Kepala Sekolah di SMAN 1 Serawai. Hal ini mengharuskan ia sekeluarga harus pindah ke Serawai, Kabupaten Sintang. Beruntung, di Serawai ia mendapat informasi tentang Seminari Menengah Santo Yohanes Maria Vianney Sintang. Begitulah, awal panggilan Diakon Rambang dimulai.
Lahir di Pontianak
Diakon Rambang lahir di Pontianak, tepatnya di Gang Dharma Putra, Sungai Putat, Siantan (Paroki Stella Maris) pada tanggal 12 Desember 1990. Ia anak kedua dari empat bersaudara. Hidup dalam keluarga guru, Rambang kecil dan saudara-saudaranya diajarkan untuk selalu ke Gereja setiap minggu. Dengan demikian, hidup menggereja sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masa kecilnya. Rasanya, inilah yang menjadi titik awal atau pondasi imam.
Sebenarnya, Rambang ingin masuk Seminari Menengah Santo Yohanes Maria Vianney Sintang sedari tingkat SMP. Namun, saat itu ia terjangkit typus yang cukup parah. Lagi, mendekati tahun terakhir di SMP, keluarga juga sedang mengalami kesulitan finansial. Impian mendaftar di seminari pun terhambat, ia akhirnya sempat mendaftar di SMAN 1 Serawai.
Namun, panggilan untuk menjadi imam masih terus bergema. Adalah Sr. Emmanuela, PK yang punya peran yang sangat penting. Suster Emma mendengar situasi sulit yang dialami dan berusaha membantu pendidikan
“Saya kemudian menyusul Abang saya yang sudah satu tahun berada di seminari, yang juga membantu proses awal saya masuk seminari. Adalah suatu mukjizat selama pembinaan di seminari kesehatan saya berangsur-angsur membaik,” kenang Diankon Rambang.
Sejarah Formasi
Setelah lulus SMP, Rambang lalu mendaftar dan diterima di Seminari Menengah Santo Yohanes Maria Vianney Sintang. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan selama tiga tahun di sana. Sampai saya kelas 2 SMA, Rambang mengakui, ia tidak tahu apa itu Ordo Dominikan.
“Saya tidak pernah sekolah di persekolahan Dominikan dan bahkan tidak pernah membaca tentang apa itu Ordo Pewarta (OP),” ujarnya.
Perkenalan Rambang dengan OP bermula saat Romo Adrian Adirejo, OP datang ke seminari untuk mengadakan promosi panggilan. Di sinilah, Rambang mulai mengenal dan tertarik. Ia tertantang, karena OP adalah hal baru dan mereka menempatkan studi sebagai salah satu pilar kehidupan membiara.
“Kebetulan saat itu saya juga sedang senang-senangnya studi,” ujarnya.
Setelah lulus Seminari menengah, Rambang melamar dan masuk sebagai Aspiran Dominikan di Palapa (Pontianak). Selama dua tahun sebagai aspiran, bersama dengan saudara-saudara seangkatan (termasuk Frater Aris Kung, OP dan Bruder Andreas Priyanto, OP) ia belajar pelajaran-pelajaran pengantar filsafat dan terutama pendalaman Bahasa Inggris. Selama dua tahun ini, ia semakin mengenal dinamika hidup dari komunitas pewarta.
Selanjutnya, Frater Rambang menjalani masa Postulansi selama setahun di Calamba, Filipina dan belajar di Letran College untuk mengejar ketertinggalan mata kuliah. Pada tanggal 19 Maret 2011, ia menerima jubah sebagai seorang Dominikan. Setelah itu, ia melanjutkan formasi saya di Novisiat OP di Manaoag, Pangasinan selama kurang lebih 14 bulan. Pada tanggal 8 Mei 2012, Frater Rambang mengucapkan Kaul Pertama bersama Sembilan saudara seangkatannya.
Selanjutnya, ia menjalani formation saya sebagai seorang Dominikan dikomunitas para frater di Dominican Studentate di Quezon City. Ia menyelesaikan pendidikan S1 Filsafat dan kemudian Teologi. Ia juga menempuh studi S2 di Certificate in Preaching dan ditahbiskan sebagai diakon bersama dengan dua Diakon lain: Diakon Reginald Zamora, OP dan Diakon John Andrew Bautista, OP di Gereja Santo Domingo, Quezon City pada 30 April 2022.
“Totalnya, saya menjalani 12 tahun masa formasi di Filipina sebelum saya ditahbiskan sebagai seorang Diakon dan kembali melayani ke negara asal saya, Indonesia.”
Makna Krisis Panggilan
Diakon Rambang mengakui, krisis adalah bagian dari pemurnian. Selama di Filipina, ia menyadari, bahwa dari semua aspek pembinaan dan pengalaman di sana semakin memperkuat persiapan sebagai seorang calon imam Dominikan. Tentu, ia mengakui ada krisis panggilan yang silih berganti datang. Ia sadar, bahwa terkadang cobaan juga datang saat ia harus mengambil keputusan penting. Kadang ada kabar yang memberatkan, misalnya ketika ia baru tahbisan diakon, tiba-tiba Bapak dikabarkan punya penyakit jantung.
“Sejauh ini, karena saya selalu terbuka untuk senantiasa terlibat dalam proses formatio, kesulitan-kesulitan tidak terlalu jadi hambatan namun sekali lagi menjadi momen pemurnian dan momen-momen rahmat.” ujarnya.
Setelah menerima tahbisan Diakon di Gereja Santo Domingo, Kota Quezon, Filipina pada 30 April 2022. Diakon Rambang akan ditahbiskan menjadi imam di Katedral Santo Yosef Pontianak pada 15 November 2022. Ia akan ditahbiskan oleh Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus.
Diakon Rambang mengungkapkan, alasan dasariah untuk menjalani panggilan hidup suci diajarkan oleh Yesus sendiri seperti yang kitab isa temukan dalam Kitab Suci: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48). Ia menjelaskan, masing-masing orang memiliki cara berbeda-beda untuk menjawab panggilan hidup. Dua komponen dalam panggilan adalah ada yang memanggil dan ada yang menjawab.
“Saya dipanggil dengan jalan hidup selibat imamat. Namun bukan berarti saya tidak menghargai hidup/panggilan lainnya,” ujar Diakon Rambang.