Pena Katolik- Spiritualitas imam Projo (diosesan) dan efektivitas dalam pelayanannya ditemukan dari penunaian tugasnya dalam pelayanan imamat. Seorang imam menjadi dirinya melalui apa yang dikerjakannya, dia bertumbuh dalam spiritualitas menurut cara dia memenuhi pelayanan imamatnya.
Dia menjadi kudus karena berhubungan dengan hal-hal yang kudus.Dalam hal ini diperlukan suatu semangat pelayanan yang sejati. Tidaklah memadai kalau hanya puas dengan pewartaan Sabda Allah, namun pewartaan ini perlu diimbangi dengan hidup menurut Sabda Allah. Dia menghidupi apa yang dikotbahkannya.
Pelayanan sakramen yang dilakukannya sungguh dijalankan dengan penuh perhatian, iman, dan cinta pastoral. Dia menjadikan hidupnya sebagai terang bagi sesama.
Karisma Pastoral
Watak sakramental menjiwai seorang imam Projo secara mendalam karena justru itulah seorang imam ditahbiskan. Tahbisan tidak lagi hanya penyerahan tugas, bukan lagi hanya pelimpahan hak dan kewajiban, bukan lagi hanya terkait dengan pembatasan peran dan fungsi seorang imam.
Namun, watak sakramental ini melekat pada diri seorang imam selama-lamanya (in aeternum). Dia menjadi seorang pemimpin rohani dan moral, dan merawat hidup kerohanian. Dalam surat “Novo Incipiente Nostro”, Sri Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa imamat adalah menanamkan karisma pastoral, keserupaan dengan Kristus, Gembala Ilahi. Sifat ini kekhasan hidup seorang imam.
Seorang imam diharapkan untuk berkarya demi keselamatan umat manusia secara khusus. Para imam diharapkan lebih peduli dengan kebutuhan keselamatan umat manusia, karena setiap imam mengambil bagian pada imamat Kristus (bdk Par. 5).
Spiritualitas seorang imam Projo ditemukan dalam menjalankan pelayanan pastoral sebagai seorang imam. Ini terutama diwujudkan dalam perayaan Ekaristi Kudus, di mana seorang imam memasuki ruang dan waktu ketika Allah sendiri bertindak untuk keselamatan manusia. Pada waktu itulah seorang imam disatukan dengan Tuhan dan menjadi “satu roh dengan Dia” (1 Kor. 6:17).
Tindakan Allah adalah hakiki: tindakan manusia mengambil bagian di dalamnya. Transformasi roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus mungkin karena seorang imam dengan kuasa sakramental mengubahnya.
Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa pendidikan liturgi yang sejati tidak hanya mempelajari dan mengalaminya dengan kegiatan-kegiatan eksternal, namun sescorang sungguh dituntun untuk memasuki tindakan hakiki yang menjadikan liturgi sebagai bagian integral hidup rohani menuju kuasa transformasi Allah, yang ingin mengubah kita dan dunia melalui apa yang terjadi dalam liturgi (Joseph Ratzinger, The Spirit of the Liturgy, 2000 Ignatius Press, 175).
Konteks Hidup Rohani
Spiritualitas pada dasarnya terpusat pada sakramen-sakramen Gereja dengan suatu kerangka pelayanan dengan misi keselamatan yang terkait cinta kasih dan keadilan. Perjumpaan dengan Allah bisa langsung dan tidak langsung, karena peristiwa ini selalu terjadi lewat pengikut-pengikut Kristus.
Konteks hidup rohani seorang imam Projo tampak dalam kegiatan-kegiatan pastoral yang dijalankan sebagai Gembala yang menuntun domba-domba menuju keselamatan. Apa pun yang direncanakan dan dilakukan selalu dalam nama Tuhan Yesus, Sang Imam Agung.
Tentu, spiritualitas ini tak terlepas dari pengalaman hidup seorang imam projo dalam bidang doa, hidup dengan rekan-rtekan seimamat, menghayati dan membarui janji-janji imamat, dan memberikan pelayanan pastoral terbaik bagi keselamatan sesama manusia.