KOLOMBO, Pena Katolik – Uskup Agung Kolombo, Kardinal Malcolm Ranjith OP meminta Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, untuk bertanggung jawab penuh atas krisis ekonomi dan mengundurkan diri.
“Hambatan terbesar untuk membebaskan negara dari situasi menyedihkan ini adalah kenyataan bahwa keluarga Rajapaksa terus berkuasa,” kata kardinal dari Ordo Pengkhotbah yang pernah menjadi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Selasa, 5 Juli 2022.
Prelatus itu mengatakan pengabaian tugas yang terang-terangan dari partai yang berkuasa telah membuat jelas bahwa keluarga ini menganggap kekuatan politik mereka lebih penting daripada kesejahteraan rakyat.
“Semua yang dilakukan sejauh ini hanyalah sulap politik,” kata Kardinal Ranjith.
Dia mengutuk beban keras kepala dan menindas yang telah ditempatkan pada orang-orang, menipu mereka dan mencuri uang dan aset negara mereka dengan cara yang korup.
“Orang-orang menghabiskan berhari-hari dalam antrian, melalui kesulitan yang tak terhitung untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Dalam situasi ini, pemerintah tidak memiliki rencana atau proyek kohesif yang pasti dapat membebaskan mereka dari situasi ini,” kata kardinal.
Atas nama orang-orang yang menderita, Kardinal Ranjith mendesak Rajapaksa dan pemerintahannya untuk menerima tanggung jawab atas situasi yang menyedihkan dan mundur dari posisi mereka.
Pemimpin Gereja Sri Lanka ini ,mengatakan presiden dan pemerintahnya tidak memiliki hak moral untuk melanjutkan jabatan lagi dalam keadaan seperti ini. Perdana Menteri, Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada parlemen pada hari Selasa, 5 Juli bahwa Sri Lanka bangkrut dalam krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Situasi ini akan berlarut-larut hingga akhir tahun depan.
Wickremesinghe mengatakan negara yang pernah makmur itu akan mengalami resesi yang dalam tahun ini dan kekurangan pangan, bahan bakar, dan obat-obatan akan terus berlanjut.
“Kami juga harus menghadapi kesulitan pada 2023,” kata perdana menteri.
Dia mengatakan pembicaraan bailout Sri Lanka yang sedang berlangsung dengan Dana Moneter Internasional bergantung pada penyelesaian rencana restrukturisasi utang dengan kreditur pada Agustus.
“Kami sekarang berpartisipasi dalam negosiasi sebagai negara yang bangkrut,” kata Wickremesinghe.
Karena keadaan ini, kata Wickremesinghe, negara harus menyerahkan rencana keberlanjutan utang kepada kesepakatan dengan IMF. Sementara itu, IMF pekan lalu mengatakan lebih banyak pekerjaan diperlukan untuk mengatur keuangan negara dengan benar dan memperbaiki defisit fiskal yang tak terkendali.
Wickremesinghe juga mengatakan kepada pihak berwenang untuk berbuat lebih banyak untuk memerangi korupsi dan mengakhiri subsidi energi mahal yang telah lama menguras anggaran pemerintah.
Pemerintah telah menutup layanan publik yang tidak penting dalam upaya menghemat bahan bakar. Sementara itu telah terjadi bentrokan di luar beberapa pom bensin yang masih menjual bahan bakar. Puluhan ribu orang mengantri untuk mendapatkan pasokan bensin yang terbatas.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa sekitar 80 persen masyarakat mengurangi porsi makan mereka untuk mengatasi kekurangan pangan dan harga kebutuhan yang semakin tinggi. Wickremesinghe mengatakan IMF memperkirakan ekonomi Sri Lanka menyusut tujuh persen tahun ini, situasi yang lebih mengerikan disbanding data yang dikeluarkan oleh bank sentral negara itu. Inflasi bisa naik di atas 60 persen, dan depresiasi mata uang yang cepat selama beberapa bulan terakhir telah menghapus nilai tabungan hingga setengahnya.
Seruan Kardinal Ranjith untuk menyuruh mundur Keluarga Rajapaksa dapat dipahami. Selama sekitar 20 tahun belakangan ini, keluarga Rajapaksa praktis menguasai politik di Sri Lanka. Keluarga Rajapaksa begitu menonjol dalam politik di negara itu.
Setelah Mahinda Rajapaksa, menjadi presiden hingga tahun 2015, kepemimpinan di Sri Lanka terus dibayangi oleh pengaruh dair keluarga ini. Saat ini, adiknya Gotabaya Rajapaksa, menggantikan kakaknya menjadi Presiden Sri Lanka.
Popularitas keluarga Rajapaksa runtuh setelah tindakan mereka menyebabkan krisis ekonomi yang dimulai pada 2019, yang mengakibatkan Sri Lanka gagal membayar utangnya untuk pertama kalinya dalam sejarah pasca-kemerdekaannya hanya dalam waktu 30 bulan setelah berkuasa. Meski begitu, hingga kini pengaruh keluarga ini masih berlanjut dalam beragam sektor kehidupan rakyat Sri Lanka.