Selasa, November 5, 2024
25.9 C
Jakarta

Umat Papua rindu imam asli Papua dan mohon dukungan bagi “Pastor Bonus”

Seminari Pastor Bonus

 

Terkadang orangtua menangis saat mencari uang untuk anaknya termasuk seminaris. Mereka menangis, walaupun secara bijaksana sembunyi di hadapan anak-anak. Mereka berusaha mencari jalan terbaik agar anak-anak mereka bisa membanggakan.

Sebanyak 40 orangtua seminaris dan pemerhati seminari diundang menyaksikan penyerahan seminaris dari orangtua kepada rektor Seminari “Pastor Bonus” Pastor Vincentius Tamba Pr dalam Misa di Kapela Seminari Keuskupan Agung Merauke (KAME), yang dimeriahkan lagu-lagu dengan iringan organ, seruling, harmonika dan gitar, 22 Juli 2013.

Tugas orang Katolik di mana pun berada, lanjut Pastor Vincentius Tamba, adalah memperhatikan seminari. “Pencapaian nilai-nilai kehidupan untuk mendengarkan panggilan Tuhan tidak terlepas dari peran orangtua. Mereka membawa arti kehidupan demi kemuliaan Tuhan dan kebahagiaan sesama dalam diri seminaris,” tegas imam diosesan Keuskupan Pangkal Pinang itu.

Dalam homili, imam itu bercerita cerita tentang Maria Magdalena yang berkomunikasi dengan Yesus yang bangkit. “Setelah Yesus bangkit, Maria Magdalena, yang setia mencari Yesus, mulai dengan membasuh kaki Yesus dan menemani Maria Ibu Yesus saat di puncak Golgota, mencari kehendak Tuhan sama dengan seminaris. Dasar hidupnya adalah kemauan bertemu Tuhan.”

Imam itu mengangkat Maria Magdalena dan orangtua dalam Misa Pembukaan Tahun Ajaran Baru 2013/2014. “Nilai kehidupan yang ditunjukkan Maria Magdalena menjadi nilai iman yang ditunjukkan oleh Kitab Suci kepada semua orang,” kata Pastor Vincentius.

“Pastor Bonus” diprakarsai oleh Mgr Hermanus Tillemans MSC, Uskup Agung Merauke waktu itu, untuk mendidik orang Papua menjadi imam dan awam di KAME. Semangat ini tercapai dengan dibukanya Seminari Menengah Hati Kudus tahun 1954.

Akhir 1967, seminari itu berubah menjadi Seminari Menengah ”Pastor Bonus” dengan rektor pertama Pastor Petrus Hoeboer MSC dan Prefeknya Pastor Cor Schipperijn MSC. Saat itu, seminaris harus lanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi di Stein, Belanda.

Sejak 1971, “Pastor Bonus” bergabung dengan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Yos Sudarso tetapi karena beberapa peraturan pemerintah, diganti lagi menjadi SMA YPPK (Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Katolik) Yos Sudarso. “Waktu itu banyak seminaris ini patut diperhitungkan. Beberapa orang berhasil menjadi imam dan awam,” ujar Anton Maskim, alumni Seminari “Pastor Bonus.”

Tahun 1976, rapat tokoh-tokoh umat yang digagas oleh Pastor Alex Welerubun MSC merekomendasikan dibukanya kembali “Pastor Bonus.” Karena usul itu tidak tercapai, maka Musyawarah Agung Umat Katolik (MAUK) 18-23 April 2005 yang diikuti putera-putera lokal kembali mendesak agar seminari itu dihidupkan, karena keuskupan itu mengalami kekurangan tenaga imam saat itu.

Tanggal 1 Agustus 2006, Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC menghidupkan kembali Seminari “Pastor Bonus,” tetapi bukan di tempat lama yang berubah menjadi Rumah Bina Santo Fransiskus Xaverius tapi di kompleks SMU Yos Sudarso, Jl. Angkasa.

Tahun lalu, guna membantu Pastor Vincentius Tamba menjalankan seminari itu, dibentuk Kelompok Pemerhati Seminari “Pastor Bonus” beranggotakan wakil-wakil umat. Seorang di antaranya, Paschalina Rahawarin menceritakan, awalnya mereka hanya berbicara mengenai seminari itu melalui handphone atau SMS. “Sebagai umat Katolik, akhirnya kami sadar bahwa orang tidak punya perhatian terhadap seminari ini. Lebih parah lagi, tidak ada dukungan dari umat sekalian,” katanya dalam sambutan.

Padahal, kata wanita itu, “semua orang Katolik selalu mengomel tidak ada pastor.” Di berbagai kampung dia lihat, “praktis tidak ada imam meski bersyukur tiap Natal dan Paskah ada frater dan suster.”

Meski ada “Pastor Bonus,” keadaan itu akan berlangsung terus, kalau tidak ada dukungan dari imam, uskup serta umat sekalian, kata Direktris WWF Region Sahul Papua, Kantor Merauke itu.

Dia mengetuk hati semua umat untuk memberi bantuan materi dan doa. “Sekarang banyak orang mau masuk seminari dan jumlahnya cukup banyak, 16 orang. Dengan dua pembina, seorang frater dan seorang imam, otomatis daya tampung tidak memungkinkan. Maka ada tiga hal yang dipikirkan, dana, pikiran dan penggerak.”

Paschalina berharap membangun sistem dengan mata rantai yang tidak pernah putus. “Kita harus mampu memberikan solusi bagi Gereja dan KAME, dimulai dari lingkungan dan paroki. Dia menyebut Paroki Sang Penebus, Kampung Baru, yang selalu memberikan dukungan finansial kepada seminari itu, dan berharap setiap keluarga memberikan sumbangan 10.000 rupiah per bulan.

Yosafat Cabuy, 57, mengatakan, puluhan orang Marind merindukan imam asli Papua. “Imam asli Papua hanya bisa dihitung dengan jari,” katanya seraya berharap akan lahir imam, serta petugas pastoral dan suster orang asli Papua.

Perwakilan seminaris itu berharap keluarga Katolik memasukkan anaknya ke seminari. “Seminari ada di KAME. Dulu kita dorong mengaktifkan kembali seminari ini. Ternyata belakangan, kurang dukungan keluarga Katolik terhadap seminari itu,” tegasnya.***

Komentar

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini