Ada beberapa proses yang harus dilalui dan harus diperiksa untuk menjadi seorang imam, harus ada virtudes naturales yaitu keutamaan atau bakat alami yang cocok dengan sifat Kristus. Ini bukan diajarkan atau ditambahkan tetapi sudah secara alami dipersiapkan oleh Tuhan, dan inilah yang diperiksa pada seseorang yang masuk seminari menengah, juga seminari tinggi, dan tahun orientasi pastoral.
Administrator Keuskupan Sibolga Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap mengatakan hal itu dengan mengutip Divina Comedia tulisan penyair Italia, Dante Alighieri, dalam Misa Krisma 2 Juli 2020 yang disiarkan secara live streaming oleh Komsos Keuskupan Sibolga. Dalam Misa, yang biasanya dirayakan sebelum Misa Kamis Putih itu, selain dilaksanakan pengungkapan janji ketaatan para imam kepada uskup, juga dilakukan pemberkatan minyak katekumen, minyak orang sakit dan minyak Krisma.
Mgr Sinaga pernah menjadi Uskup Sibolga, 24 Oktober 1980 hingga 3 Januari 2004 saat ditunjuk sebagai Uskup Agung Kaojutor Medan, kemudian jadi Administrator Keuskupan Sibolga, 22 September 2018, setelah Mgr Ludovicus Simanullang OFMCap wafat.
Dalam homili yang dikhususkan untuk memahami panggilan imam itu Mgr Sinaga menegaskan, “tidak semua orang berbakat menghadapi panggilan dalam Kristus itu,” tetapi, “yang diterima ke arah panggilan ini harus punya beberapa bakat yang cocok.”
Pertama adalah Configuratio Christi, kata Mgr Sinaga yang mengutip Dante Alighieri bahwa sesudah turun dari surga Yesus Kristus mengenakan tiga pangkat baru sebagai imam, altar, dan kurban. Seorang calon imam, kata uskup itu, harus dilatih dan diteliti bakat-bakat terpendam itu, sehingga “pendidikan imam di seminari tinggi itu sangat panjang sekurang-kurangnya enam tahun dan sering menjadi delapan tahun.”
Bakat kedua adalah Contemplatio Christi, bahwa seorang imam harus sanggup bermenung, harus sanggup beribadat kepada Yesus Kristus. “Satu bakat yang harus dipelihara adalah kemampuan menyerap harapan Kristus, satu bakat yang perlu dilatih adalah pola tindak calon imam terhadap umat, satu hal yang juga harus diperiksa adalah kesehatan mereka,” kata Mgr Sinaga seraya mengajak orang-orang yang sudah sampai pada imamat untuk merenung sejenak, “apakah benar saya mempunyai Contemplatio Christi?”
Ketiga adalah Identificatio Christi dalam pelantikan dan tahbisan, “yang merupakan formalitas pengangkatan pada jabatan, penyerahan yurisdiksi dan rumusan tugas yang sesuai.” Memang, tegas Mgr Sinaga, “kita tak semua berbakat dan sempurna pada semua bidang, tapi beberapa hal harus diperhatikan, karena imam dilantik, disahkan dan diberi yurisdiksi jabatan baru, imam. Maka, kita diberikan beberapa persyaratan dan tugas.”
Mgr Sinaga mengajak para imam merenungkan apakah mereka menghayati Identificatio Christi dengan benar dan kita setia antara lain pada kewajiban untuk Misa setiap hari?” Sedapat mungkin, imam merayakan Misa di depan umat, tetapi kalau itu tidak bisa, maka imam tetap wajib Misa sendiri setiap hari, tegas Mgr Sinaga. Juga ditegaskan, “Para imam wajib berdoa ibadat harian, tidak ada dispensasi!”
Lebih jauh tentang Configuratio Christi, Mgr Sinaga meminta para imam menjaga martabat imam dan menghargai jabatan mereka dengan memperhatikan umat, berpakaian imam saat Misa, atau menghadiri Misa sebagai imam, sekurang-kurangnya mengenakan stola kalau di komunitas, tidak usah terlalu ekstrim dengan kasula dan alba. Mgr Sinaga tidak meminta para imam di Sibolga untuk mengenakan colar sepanjang hidupnya, tetapi cukup “pakai salib” untuk “menjaga keamanan.”
Untuk menjadi altar seperti Kristus, Mgr Sinaga mengajak para imam membaca Kanon 529. “Di situ dikatakan bahwa para imam hendaknya mengenal semua umatnya, kemudian dikatakan hendaknya para imam lebih memperhatikan orang yang menderita, supaya mereka menjadi altar tumpuan persembahan penderitaan mereka.”
Administrator apostolik itu lalu mengajak para imam merenung dan memeriksa batin, “apakah kita lebih memperhatikan orang kaya dan orang terkenal daripada orang kecil, apakah kita lebih senang berfoya-foya dengan orang yang punya nama?”
Namun, seperti kata Dante Alighieri, “Kristus itu altar, kepada-Nya semua dosa, kesalahan, pelanggaran manusia ditimpakan, dan Dia tidak marah, Dia hanya berdoa, ‘Bapa kalau mungkin piala ini berlalu daripada-Ku, tetapi bukan kehendak-Ku, tetapi kehendak-Mu.”
Mengenai kurban, Mgr Sinaga mengajak para imam meniru Pastor Yohanes Maria Vianney dari Ars yang “mendoakan umatnya, dan apabila ada yang berdosa termasuk raja-raja, dia membuat doa tersendiri dan berpuasa.” Dan, tanya Mgr Sinaga, “apakah kita, para imam, pernah memberikan waktu yang sungguh dan teratur untuk mendoakan umat kita, terutama yang berada dalam bahaya dan penderitaan?”
Dari hati terdalam di tengah pandemi corona virus ini, Mgr Sinaga bertanya, “bagaimana kita menyatukan diri dengan umat yang menderita, apakah kita mengambil keuntungan dari padanya?” Administrator apostolik itu lanjut bertanya, “Apakah benar kita bisa menjadi kurban seperti Yesus Kristus yang pertama merasakan kekurangan dan penderitaan umat dan karena itu berani berkurban bagi umat?”(PEN@ Katolik/paul c pati)
Semua foto ini adalah hasil tangkapan layar oleh PEN@ Katolik/pcp