Setiap tahun Gereja Katolik merayakan Hari Pangan Sedunia (HPS) tanggal 16 Oktober “sebagai ungkapan rasa syukur akan kasih Allah yang telah memberi kehidupan berupa aneka bahan pangan untuk kelangsungan umat manusia,” tulis Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam penjelasan Gerakan HPS Nasional 2018.
Penjelasan yang juga dikirim kepada PEN@ Katolik itu menegaskan bahwa tema gerakan HPS tahun 2018 adalah “Keluarga Sebagai Komunitas Berbagi Pangan.” Melalui gerakan HPS itu, lanjutnya, “keluarga Katolik diundang untuk menyadari bahwa sumber pangan yang telah dianugerahkan oleh Allah secara cuma-cuma adalah juga diperuntukkan bagi kesejahteraan semua orang dengan kerelaan untuk berbagi, terutama kepada saudara kita yang miskin dan kelaparan.”
Juga diharapkan agar dalam keluarga, “setiap pribadi mendidik diri sendiri dan bersama dalam menumbuhkan sikap berbelarasa, menemukan kembali nilai dan makna solidaritas dalam hubungan antarmanusia.”
Di bawah ini PEN@ Katolik mengangkat secara lengkap penjelasan yang menggunakan judul tema gerakan HPS Nasional 2018 itu:
KELUARGA SEBAGAI KOMUNITAS BERBAGI PANGAN
Gerakan HPS Nasional 2018
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
Pengantar :
Setiap tahun Hari Pangan Sedunia (HPS) yang jatuh pada tanggal 16 Oktober diperingati dan dirayakan oleh Gereja Katolik sebagai ungkapan rasa syukur akan kasih Allah yang telah memberi kehidupan berupa aneka bahan pangan untuk kelangsungan umat manusia. Tema gerakan HPS tahun 2018 adalah “Keluarga Sebagai Komunitas Berbagi Pangan”. Melalui gerakan HPS ini Keluarga Katolik diundang untuk menyadari bahwa sumber pangan yang telah dianugerahkan oleh Allah secara cuma-cuma adalah juga diperuntukkan bagi kesejahteraan semua orang dengan kerelaan untuk berbagi, terutama kepada saudara kita yang miskin dan kelaparan. Dalam keluarga, setiap pribadi mendidik diri sendiri dan bersama dalam menumbuhkan sikap berbelarasa, menemukan kembali nilai dan makna solidaritas dalam hubungan antarmanusia.
Keluarga Sebagai Komunitas
Yohanes Paulus II, dalam suratnya kepada keluarga (1994), mengatakan “keluarga merupakan suatu komunitas yang cara keberadaan dan cara hidup bersamanya adalah persekutuan antarpribadi-pribadi.” Dasar keluarga adalah cinta Kasih (KGK 2201, 2204), terbuka kepada anugerah kehidupan dan mengandung masa depan masyarakat. Keluarga adalah sel inti masyarakat di mana kita belajar hidup bersama orang lain dan menjadi milik satu sama lain; Keluarga adalah tempat pertama dan terutama pendidikan integral seorang anak: pendidikan kasih, pendidikan moral dan etika, pembinaan kepribadian, pendidikan intelektual dan afektif, dan pendidikan iman. Dengan kata lain, dalam keluarga seorang anak lahir, dibentuk, dan berkembang (GS, 47. 52). Singkatnya, kualitas keluarga menentukan kualitas masyarakat.
Keluarga Katolik dalam kenyataan sehari-hari tidak terlepas dari realitas yang harus mereka temui yaitu untuk berelasi dengan keluarga dalam masyarakat dan Gereja sendiri. Keluarga yang pada hakekatnya merupakan persekutuan cinta kasih, mengemban misi untuk menjaga dan mengungkapkan serta menyalurkan cinta kasih itu kepada dunia. Salah satu tugas keluarga Katolik di tengah dunia adalah ikut serta dalam pengembangan masyarakat dan ikut serta dalam kehidupan dan misi Gereja (FC 17).
Dalam hubungan dengan masyarakat, keluarga memiliki peranan sosial dan politik. Berkaitan dengan peranan sosial, keluarga memiliki tanggung jawab membaktikan diri melalui kegiatan pengabdian sosial. Pengabdian sosial itu dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah berbagi pangan kepada sesama yang membutuhkannya. Namun semangat yang perlu mendasari pengabdian tersebut adalah kepekaan akan kebutuhan sesama dan kerelaan untuk membantunya atau berbagi (FC 30). Dalam konteks tugas Keluarga ikut serta dalam kehidupan misi Gereja adalah menyalurkan karya keselamatan melalui cinta kasih. Cinta kasih merupakan pengungkapan dan perwujudan dari misi panggilan Gereja sebagai nabi, imam dan raja (FC 32). Keluarga menjadi Ecclesia Domestica (Gereja Rumah Tangga) karena mengambil bagian dalam kelima tugas atau peran Gereja, yaitu persekutuan, liturgi, pewartaan Injil, pelayanan dan kesaksian iman.
Tantangan dan Kondisi Pangan Saat ini
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia (UU No.18/2012). Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi hak asasi setiap individu (Deklarasi Roma Tahun 1996 pada KTT Pangan Dunia). Badan Pangan Dunia (FAO) menetapkan juga bahwa hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak dan keluarganya atas pangan, dan setiap orang harus bebas dari kelaparan. Namun faktanya masih banyak saudara kita yang belum terpenuhi haknya atas pangan, beberapa data berikut menunjukkan situasi yang ada di tanah air kita tercinta.
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaan alam dan kesuburan tanahnya. Semestinya, dengan kondisi itu, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, apalagi jika menyangkut masalah pangan (nota Pastoral KWI 2018, 5.1). Namun menurut data dari BPS dan Global Hunger Index (GHI) tahun 2017, memperlihatkan masih ada sekitar 26,58 juta penduduk miskin dan dari jumlah tersebut masih ada 19,4 juta berada dalam situasi kekurangan pangan atau kekurangan gizi. Kasus kelaparan dan kekurangan gizi yang terjadi di tanah Asmat Papua pada bulan Januari 2018 yang berdampak pada berbagai penyakit dan berujung pada kematian menunjukkan salah satu fenomena bahwa kelaparan dan kekurangan gizi di Indonesia masih menjadi masalah serius (Harian Kompas Januari dan Februari 2018).
Namun ada hal lain yang cukup memprihatinkan dan mengejutkan, bahwa Indonesia ternyata masuk urutan kedua dengan tingkat food waste dan food loss terbesar di dunia, dengan nilai index 42,11. Food waste dan food loss dapat diartikan sebagai sampah makanan, atau sisa makanan yang terjadi dari proses produksi maupun yang diakibatkan dari perilaku konsumen itu sendiri. Jika menelaah perhitungan tersebut, semakin besar nilai yang didapat, semakin kecil sisa makanan atau sampah makanan yang di produksi sebuah negara. Ini berarti nilai 42,11 yang dimiliki Indonesia masih jauh dari kata berhasil dalam mengurangi produksi sampah atau sisa makanan. Sumber data dari www.foodsustainability.eiu.com. Situasi di atas memperlihatkan kepada kita semua, di tengah masih begitu banyaknya saudara kita yang berkekurangan pangan (makanan), ada banyak pula saudara kita yang berkelebihan makanan dan membuangnya. Paus Fransiskus menyebutnya budaya ‘membuang’ yang mewarnai perilaku hidup kita (LS 22). Situasi tersebut berakar pada praktek ekonomi pasar yang menciptakan manusia menjadi konsumeris dan hedonis, mengabaikan nilai-nilai moral dan agama, budaya, sosial dan keluarga. Buah-buah dari pengabaian nilai-nilai tersebut adalah kerakusan, ketamakan, pemborosan dan egoisme. Oleh karena itu penanaman dan penghayatan nilai-nilai menghargai pangan sebagai berkat dari Allah untuk semua mahluk dan semangat solidaritas pangan memang harus ditumbuhkan mulai dari lingkungan keluarga, dan berbagai komunitas atau kelompok dalam masyarakat.
Keluarga Komunitas Berbagi Pangan
Beberapa inspirasi kitab suci ini dapat menjadi motivasi dan dasar iman keluarga sebagai komunitas kecil dan bersama dengan keluarga lain memiliki kepedulian untuk berbagi pangan kepada sesama yang kelaparan. Keluarga dapat meneladan sikap Allah dan Yesus sendiri yang memberi makan orang lapar dan untuk menolong orang-orang mengusahakan makanannya sendiri. Setiap keluarga, sesuai dengan kemampuannya masing-masing, dipanggil untuk terlibat dalam keprihatinan Allah dan menjadi tangan-Nya untuk memberi makan kepada yang lapar.
Putra Allah, Yesus Kristus sendiri mengatakan bahwa diri-Nya adalah ‘roti’ Hidup (Yoh. 6:25-59). Melalui roti hidup Yesus mengorbankan diri-Nya menjadi santapan rohani bagi kita. Sama seperti Yesus yang telah memberi diri bagi keselamatan kita maka menjadi orang kristiani kita dipanggil untuk memberikan diri bagi orang lain dalam bentuk berbagi makanan (pangan). Yesus menggunakan simbol ‘roti’ untuk diri-Nya. Kita tahu bahwa roti (makanan) adalah kebutuhan pokok manusia. Tanpa makanan manusia tak dapat hidup. Yesus menyebut diri-Nya sebagai ‘roti’ hidup berarti sumber kelimpahan dan memberi kehidupan. Percaya kepada Yesus berarti kita diajak bekerja dan berkomitmen mengupayakan agak tetap ada makanan (pangan) bagi kehidupan kita, bagi sesama dan makhluk hidup lainnya. Tidak memberi makanan adalah kejahatan dan kelaparan adalah penistaan terhadap Yesus sumber pemberi hidup berkelimpahan.
Elia dan Janda Sarfat (1 Raj. 17:7-14): Melalui Elia Tuhan memberikan makanan kepada Janda Sarfat. Dia percaya bahwa tepung terigu dalam temayannya tidak akan habis dan minyak dalam buli-bulinya tidak akan berkekurangan. Janda dan anaknya pun mendapat makanan beberapa waktu lamanya. Ia menyadari bahwa itu semua adalah pemberian dan berkat dari Allah, oleh karena itu dalam kemiskinan dan kekurangannya janda itu masih memberi makan kepada Elia utusan Allah. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa kekurangan dan kemiskinan bukanlah halangan untuk berbuat baik dan berbagi kepada orang lain.
Yesus memberi makan 5000 orang (Mrk. 8:1-10; Mat. 14:13-21; Luk. 9:10-17; Yoh. 6:1-13). Kemurahan dari belas kasihan Yesus terhadap kebutuhan orang yang kelaparan dengan memberikan tanggung jawab memenuhi kebutuhan mereka kepada murid-murid-Nya. Kristus bermaksud membangkitkan di dalam diri mereka suatu kesadaran atau hati yang peka bahwa percaya dan mengikuti-Nya mencakup kesediaan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan yang paling vital yaitu makan. Oleh karena itu Ia memerintah kepada murid-murid-Nya: ‘Kamu harus memberi mereka makan’. Yesus juga mengajarkan kepada para murid bahwa sedikit yang kita miliki, dapat dijadikan berkelimpahan apabila dipersembahkan kepada Tuhan dan diberkati oleh-Nya. Perintah Yesus yang sama juga ditujukan kepada kita semua umat-Nya.
Apa yang Dapat Dilakukan oleh Keluarga
Makan bersama dalam keluarga dan bersyukur atas berkat Tuhan berupa makanan (pangan) yang kita konsumsi setiap hari. Karena Allah telah menyediakan makanan bagi kita dan semua makhluk (Kej. 1:39-40). Menghargai makanan berarti menghargai yang menyediakan dan pemberi makanan, yakni Allah. Bentuk penghargaan dapat diwujudkan dengan makan sehat dan secukupnya, seperti yang kita doakan dalam doa Bapa Kami, “berilah kami rezeki pada hari ini (makanan secukupnya) (Luk. 11:3). Dengan makanan sehat dan secukupnya berarti kita tidak menyisakan dan membuang makanan yang ada dan tersedia. Dengan konsumsi makanan secukupnya dan sehat menghindari kita dari kerakusan, pemborosan, berbagai macam penyakit dan menghargai alam yang sudah menyediakan semuanya bagi kita. Seperti diungkapkan oleh Mahatma Gandhi: “bumi menyediakan makanan cukup untuk kebutuhan setiap manusia, tetapi bukan untuk keserakahan”.
Seperti perintah Yesus “kamu harus memberi mereka makan” mengingatkan kita bahwa makanan (pangan) adalah domain “kasih dan solidaritas”. Oleh karena itu jika ada orang yang mati karena kelaparan atau kekurangan gizi maka kita semua bersalah dan harus bertanggung jawab. Orang Samaria yang baik hati (Luk.10:25-37) mendahulukan orang yang tidak berdaya merupakan wujud cinta kasih kepada sesama sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus sendiri, mencintai sesama berarti menjadi sesama bagi orang yang setengah mati, tak berdaya dan membutuhkan segera pertolongan.
Ada banyak praktek baik yang sudah dilakukan oleh Gereja selama ini dalam memperingati HPS, sebaiknya ditingkatkan. Misalnya mengadakan pendalaman iman dan animasi, mengadakan perayaan liturgi sebagai ungkapan syukur atas pangan yang dianugerahkan Allah dan mengadakan kolekte khusus pada Hari Pangan Sedunia (HPS) baik di stasi/lingkungan/paroki komunitas-komunitas devosional, kategorial, organisasi (PK, WKRI, PMKRI, dst) maupun lembaga-lembaga pendidikan. Seperti Paulus mengumpulkan sumbangan untuk membantu mereka yang lapar (bdk. Kis. 11:28-29). Kolekte yang terkumpul tersebut diserahkan kepada Keuskupan dan juga KWI yang dikelola oleh Komisi PSE-KWI untuk bantuan darurat pangan dan pemberdayaan komunitas untuk meningkatkan pangan keluarga di keuskupan-keuskupan.
Penutup
Ungkapan kasih sayang yang paling indah adalah ketika kita bisa berbagi, apa pun bentuknya terutama berbagi dalam keluarga, kepada kedua orang tua, ayah ibu, suami/istri, anak, saudara, sahabat, dan orang-orang di sekeliling kita. Tak lupa juga berbagi rezeki kepada mereka yang paling membutuhkan yaitu mereka yang hidupnya sedang kesusahan, kelaparan, dan serba kekurangan seperti anak yatim piatu, fakir miskin, pengungsi dan lainnya.