Suatu hari Ibu Teresa keluar dariĀ gereja dan melihat seorang tua renta terkapar meregang nyawa. Ibu Teresa lalu merawat orang itu dan akhirnya meninggal dunia. Namun, di balik wajah malang itu, Ibu Teresa mengalami perjumpaan dengan Allah. Sejak saat itulah seluruh hidupnya dibaktikan kepada orang miskin, terlantar dan terpinggirkan di Kalkuta, India.
Pengalaman itu, kata Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo,Ā mengubah dan membaharui pilihan-pilihan dan keputusan dalam kehidupan Ibu Teresa, yang kemudian menjadi pribadi yang selalu mencari perkara-perkara di atas.
āIbu Teresa adalah sosok pembawa damai. Perannya dalam kehidupan masyarakat dunia menganugerahkan kepadanya Nobel Perdamaian. Ketika panitia memberikan penghargaan itu, Ibu Teresa justru mengatakan bahwa seluruh biaya pesta penyerahan Nobel Perdamaian itu bisa memberi makan kepada 400-an anak terlantar selama setahun.ā
Sikap itu, sesungguhnya tidak lazim, tapi itulah kenyataan yang dilakukan Ibu Teresa, demikian cuplikan homili Ekaristi Kudus Pontifikal di Paroki Katedral Santa Maria Diangkat ke Surga, Jakarta, yang dipimpin uskup agung itu tanggal 25 Desember 2013.
Beatifikasi Ibu Teresa, pendiri kongregasi para suster Misionaris Cinta Kasih (MC), dilaksanakan oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma tanggal 19 Oktober 2003. Dengan beatifikasi itu Ibu Teresa mendapat gelar beata, Beata Teresa dari Kalkuta, langkah terakhir sebelum kanonisasi untuk mendapat gelar santa.
Sekitar 3000 umat dari berbagai paroki di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menghadiri Misa Pontifikal bertema āDatanglah Sang Raja Damaiā denganĀ konselebran Vikjen KAJ Pastor Yohanes Subagiyo Pr dan Pastor Vincentius a Paulo Adi Prasojo Pr. Menurut Mgr Suharyo, merayakan Natal berarti merayakan perjumpaan pribadi dengan Tuhan, dan āperjumpaan sejati dengan Tuhan akan mengalami dinamika batin seperti dialami Ibu Teresa.ā
Saat ini hidup begitu kompleks dan negara dilanda berbagaiĀ persoalan dari kecil, sederhana sampai yang bisa diselesaikan, demikianĀ pengamatan uskup agung itu. āOleh karena itu diperlukan pribadi yang sungguh-sungguh beriman, bukan sekedar beragama,” kata Mgr Suharyo seraya mengajak seluruh umat Kristiani untuk menjadi pembawa damai bahkan sebagai Raja Damai.ā
Ketika menyampaikanĀ Pesan Natal di hadapan wartawan cetak dan elektronik di pelataran Wisma KAJ seusai Misa, Mgr mengangkat tiga hal penting diperhatikan yakni gejala intoleransi,Ā korupsi dan kerusakan lingkungan hidup.
Menurut Mgr Suharyo, dia bangga membaca hasil penelitian yang mengatakan bahwa sikap toleransi membaik. āNamun kadang-kadang sikap saling menghargai tercederaiĀ sikap antara masyarakat dengan kelompok lain yang cenderung menjadi eksklusif,ā kata uskup.
Jika terjadi pelarangan ibadat di gereja, lanjut Mgr Suharyo, pihak Katolik selalu melakukan dialog sehingga bisa mendapatkan suatu keputusan. āSaya mengimbau agar lakukan penyelesaian tanpa menggunakan kekerasan,ā’ kata uskup agung yang juga ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Mgr Suharyo juga berpesan agar di Tahun Politik (2014), siapa pun politisi atau aktivis partai selalu mengedepankan kepentingan umum atau Ā sosial di atas segala-galanya.***