Tugas diakon antara lain mewartakan Injil, meyakinkan orang menjadi umat Allah dengan memberi pembaptisan, memimpin berbagai upacara liturgi, melambungkan doa pujian dan permohonan dalam ibadat harian bukan hanya untuk umat Allah melainkan untuk seluruh umat manusia dalam tugasnya sebagai pelayan sabda, pelayan altar, karya amal kasih.
Selain tiga tugas pelayanan khusus itu, kata Uskup Sanggau Mgr Giulio Mencuccini CP saat menahbiskan empat frater Kapusin di Paroki Santa Maria Tak Bernoda Pusat Damai, Sanggau, Kalimantan Barat, 15 September 2017, diakon menghayati hidup selibat dan menjalani hidup rohani demi menjalani persatuan mesra dan mendalam dengan Kristus.
“Kalian harus dapat mengasihi Kristus lebih dari yang lain dan kasih itu harus nampak lebih dulu dalam kehidupan Anda dan kemudian dalam pewartaan,” pesan Mgr Mencuccini yang didampingi Minister Provinsial Kapusin Pontianak Pastor Amandus Ambot OFMCap dan Kepala Paroki Pusat Damai Pastor Fritz Budmiger OFMCap, beserta para imam konselebran lain.
Keempat diakon itu ditahbiskan dengan motto “Bersukacitalah dalam Pengharapan, Sabar dalam Kesesakan dan Bertekunlah dalam Doa (Rom. 12:12)”. Menurut Mgr Mencuccini, motto itu adalah inti nasehat dan pesan untuk empat frater yang sudah mendapat berkat orang tua yang menyerahkan mereka kepada Tuhan. “Kita patut berterima kasih kepada orang tua mereka,” kata uskup.
Panggilan menjadi diakon, lanjut uskup, adalah rahasia yang tak terselami oleh pemikiran manusia, “karena Tuhanlah yang memilih seseorang menjadi diakon dan bukan pertama-tama atas kemauan dirinya sendiri dengan mengandalkan kemampuan dan kepandaiannya.”
Seraya mengucapkan proficiat kepada empat saudara diakon yang ditahbiskan, Pastor Ambot mengatakan, awalnya 13 orang masuk sebagai postulan, kemudian sisa 7 orang saat masuk novisiat, dan sekarang masih 6 orang bertahan. “Masih cukup separuh, ini luar biasa, dua di antaranya sedang menjalani studi post S1 di STT Pastor Bonus,” kata imam itu.
Imam itu menugaskan Diakon Ferdinandus Rufinus OFMCap di Paroki Kristus Raja Sambas Keuskupan Agung Pontianak, Diakon Celestinus Joni OFMCap di Paroki Pusat Damai, Diakon Fridolinus Andat OFMCap di Paroki Santo Paulus Rasul Balai Karangan, dan Diakon Romanus Rusdi Fardani OFMCap di Rumah Retret Laverna-Bunut. Tiga terakhir di Keuskupan Sanggau.
Awalnya, Diakon Rupinus mengaku tidak tahu apa itu ordo atau kongregasi dalam tarekat religius. “Saya hanya tahu pastor saja, yang penting jadi pastor. Setelah menempuh pendidikan Tahun Orientasi Panggilan di Nyarumkop barulah saya tahu bahwa ada banyak tarekat atau ordo. Saya memilih Kapusin karena penasaran saja, teman-teman seangkatan waktu itu banyak memilih Kapusin. Meskipun awalnya coba-coba, namun saya bersyukur karena sampai saat ini saya bahagia dan tidak menyesal menjadi Kapusin.”
Diakon Joni pertama mengenal pastor ketika Pastor Fritz Budmiger OFMCap dari Swiss berkunjung ke stasi dan merayakan Misa di gedung SD. Dia berpikir, “Kok orang Barat bisa pergi ke kampung pelosok?” Tinggal di asrama dengan aneka kegiatan, kedisiplinan, Misa, dan doa Rosario membentuk hidup rohaninya yang menumbuhkan benih panggilan untuk menjadi pastor. “Atas bimbingan Pastor Fritz, saya coba mewujudkan panggilan dengan masuk Ordo Kapusin. Kapusin bagiku bukan hanya jubah coklatnya, tetapi Ordo Saudara Hina Dina yang berpihak kepada orang miskin dan papa.”
Perjumpaan Diakon Andat dengan Pastor Kapusin kurang lebih delapan tahun di Menjalin pelan-pelan menumbuhkan benih panggilan. “Selain itu saya beberapa kali menghadiri tahbisan imam, kaul kekal saudara Kapusin. Pengalaman-pengalaman ini semakin memperkuat keinginan saya untuk kelak bergabung dengan Ordo Kapusin. Awalnya saya ragu-ragu, muncul pertanyaan di benak saya ”Apakah saya mampu studi? Apakah saya mampu hidup seperti mereka?” Pengalaman panjang selama pendidikan tahap demi tahap membuat dia sampai kepada refleksi bahwa menjadi Kapusin adalah proses tanpa henti sampai akhir.
Diakon Rusdi Fardani mengenal Kapusin karena perjumpaan dengan “Si jubah coklat” ketika duduk di SMP Yos Sudarso, Parindu. “Si jubah coklat sangat menawan hati, seolah-olah menjerat hati saya yang masih muda belia. Pesona yang dipancarkan terkadang muncul dan tenggelam oleh suasana hati yang tidak menentu. Tetapi keinginan itu kembali diteguhkan ketika saya melangkah ke jenjang pendidikan SMA Don Bosco Sanggau Kapuas. Sekolah dan asrama yang merupakan tempat pelayanan ‘Si jubah coklat’ membangkitkan kembali keinginan yang sempat redup. Pancaran kegembiraan, persaudaraan, kesederhanaan dan pelayanan “Si jubah coklat” semakin memperkuat keputusan saya untuk bergabung dengan Ordo Kapusin.” (Suster Maria Seba SFIC)