Tahbisan imamat Pastor Yulianus Astanto Adi CM genap mencapai 25 tahun tanggal 30 Juli 2017. Namun, Perayaan Syukur Pesta Perak Imamat Pastor Astanto dirayakan di Paroki Keluarga Kudus Kota Baru Pontianak 19 Agustus 2017. Meskipun demikian, imam itu mengatakan, “ini bukan syukur atas kehebatan imamat saya, tapi karena Anda semua yang diberikan Tuhan kepada saya. Hari ini bukan perayaan saya pribadi, tetapi perayaan kita bersama semua.”
Dalam homili Misa yang dipimpin Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus, Pastor Astanto CM mengatakan bahwa dia tidak pantas merayakan pesta syukur itu, “mungkin saya minder atau saya tidak biasa dengan pesta, sehingga saya merenung apa yang sudah saya buat untuk patut dirayakan, dan apa yang pantas saya banggakan pada ulang tahun imamat ke-25 ini?”
Imam itu merasa kecil. “Yang saya lakukan selama ini tidak ada yang hebat. Semuanya biasa-biasa. Maka dalam permenungan saya berkesimpulan bahwa imamat bukan soal prestasi, imamat bukan soal sudah membuat berapa orang bertobat, tetapi imamat adalah Ex Opere Operato,” yang artinya (red), sakramen yang diberikan seorang imam menghasilkan rahmat dengan sendirinya karena Kristus sendirilah yang melakukannya.
“Dengan minyak yang pernah dioleskan Bapak Uskup pada tangan saya, kalau saya menumpangkan tangan pada roti dan anggur, maka roti dan anggur itu menjadi Tubuh dan Darah Kristus,” kata Pastor Astanto yang juga mengatakan dia terkenal dan ditakuti karena minyak Sakramen Orang Sakit. “Kalau saya oles dengan minyak Sakramen Orang Sakit beberapa jam kemudian atau besoknya orang itu sudah pergi menghadap Bapa.”
Biarawan Kongregasi Misi itu juga merenungkan bahwa imamat adalah Ex Opere Operantis “artinya, disposisi saya mendukung efektivitas bekerjanya sakramen itu, maka saya pernah mencoba jadi imam yang saya anggap hebat, melakukan segala sesuatu dengan penuh hati.”
Imam itu lalu menceritakan pengalaman bertugas sendirian sebagai direktur rumah retret, sekaligus pemberi retret dan pengatur tempat retret, bangun pagi-pagi membuka dan menyapu aula, mengatur kursi, menyiapkan sound system dan LCD, dan menutup aula. “Semua saya lakukan dengan penuh kegembiraan, dan saya merenung, inilah kehebatan seorang misionaris!?”
Tapi, ketika diajak oleh seorang umat untuk ikut pelatihan Performance of Excellence, imam yang pernah dua tahun jadi sekretaris Mg Agustinus Agus ketika masih Uskup Sintang itu lalu menundukkan kepala, “karena apa yang saya anggap hebat ternyata bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan, karena saya bertemu orang-orang muda yang benar-benar energik, penuh semangat melakukan apa yang mereka harus lakukan, kebanyakan bukan untuk dipromosikan, tapi mereka mau mewujudkan diri.”
Maka, “saya merasa malu, dan akhirnya saya menemukan bahwa memberitakan Injil dan melayani Sakramen harus dilakukan dengan sepenuh hati, bahkan dengan semangat heroik,” kata Pastor Rekan Paroki Keluarga Kudus dan Pastor Mahasiswa Keuskupan Agung Pontianak itu sambil kembali merenung, “Kalau begitu apa yang patut saya syukuri?”
Pastor Astanto lahir dari keluarga Katolik. Bahkan kakeknya orang Katolik pertama dan katekis di Kota Pare, Kediri, Jawa Timur, sehingga namanya diabadikan menjadi nama paroki, Paroki Santo Mateus Pare. Kakeknya memiliki enam anak termasuk ayahnya. Salah satu dari enam anak kakek itu menjadi suster, dan salah satu keponakan Pastor Astanto juga menjadi imam yakni Pastor FX Hardi Aswinarno Pr dari Keuskupan Surabaya. Seorang anak dari adik pastor itu kini juga sedang belajar di seminari. “Jadi, setiap generasi dalam kehidupan keluarga kami ada benih-benih panggilan.”
Ibu, adik dan Pastor Hardi hadir pada perayaan itu. Padahal, Pastor Astanto mengaku hampir tidak bisa masuk seminari karena formulir pendaftarannya tidak dikirim ke seminari oleh paroki paroki, maka suster budenya membantu. Kini sebagai imam dia berterima kasih pada Kongregasi Misi dan keluarganya yang mengajarkan dia mencintai orang miskin. “Dalam keluarga kami Injil diajarkan bukan hanya lewat bacaan tapi tindakan,” kata imam itu seraya menceritakan bagaimana kakeknya mengajarkan mereka membantu orang miskin.
Pastor Astanto kemudian menyimpulkan bahwa imamat adalah “perjalanan peziarahan”, karena dia pernah ditanya oleh pembimbing rohaninya, “Apakah panggilan itu ada?” Dalam kebingungan imam itu menjawab “tidak ada,” karena “saya tidak pernah dipanggil secara jelas, Astanto jadilah imam CM? Tapi yang ada adalah, saya menganggap bahwa saya dipanggil Tuhan.”
Dalam perjalanan perziarahan, imam itu mengaku bertemu banyak orang yang membantunya dalam menghayati imamatnya. “Banyak pengalaman dan pertemuan membuat saya tertantang. Dalam perjalanan hidup selalu saja ada orang yang memberikan pencerahan dalam hidup saya. Maka, yang pantas disyukuri dalam imamat saya adalah para imam di sekitar saya yang diberikan Tuhan supaya saya bisa menjalankan imamat saya dengan baik.” (Andrei Kurniawan OP)
Selamat Romo Astanto atas 25 tahun imamat. Terima kasih karena kami juga mengalami pengajaran darimu sebagai seorang imam muda yang penuh enerjik. semoga Tuhan melindungimu selalu