Pena Katolik, Pontianak | Natal hampir selalu dirayakan di tengah hiruk-pikuk dunia yang sedang berlari kencang. Lampu gemerlap, diskon besar, iklan digital, dan notifikasi gawai bersaing merebut perhatian. Kita hidup dalam budaya kecepatan dan konsumsi, ketika nilai manusia sering diukur dari apa yang dimiliki, ditampilkan, dan dikonsumsi.
Dalam situasi seperti inilah, Natal seolah berbisik pelan, tetapi tegas; berhentilah sejenak, dan lihat kembali makna hidupmu.
Nada reflektif sekaligus kritis ini terasa kuat dalam Perayaan Ekaristi Malam Natal di Kuasi Paroki St. Petrus Kanisius Supadio pada Selasa, 24 Desember 2025.

Bersama Komunitas Biara St. Dominikus Pontianak, perayaan misa yang dimulai pukul 18.00 WIB hingga selesai itu dihadiri oleh Emeritus Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus, O.P., dan para imam Ordo Pewarta (Dominikan) yakni Romo Bienvenido Trinilla, O.P., Romo Herminio Dagohoy, O.P., Romo Johanes Robini Marianto, O.P., Romo Andreas Kurniawan, O.P., serta Romo Dominiko Xaverio Budoyo Setiawan, O.P. Kehadiran para imam dan umat menghadirkan perayaan Natal yang bersahaja, namun sarat makna iman dan keprihatinan sosial.
Dalam homilinya, Romo Johanes Robini Marianto, O.P. (Romo Robini) tidak membingkai Natal sebagai perayaan yang terlepas dari kenyataan sosial. Romo Robini justru mengajak umat membaca tanda-tanda zaman dengan jujur.
Romo Robini mengatakan bahwa dunia modern, kini sungguh menawarkan kenyamanan dan kecepatan tanpa batas mulai dari belanja daring tanpa henti, hiburan instan yang terus mengalir, hingga praktik judi online yang menjanjikan keuntungan cepat. Tetapi di balik janji itu, tersimpan kenyataan pahit berupa kecanduan, kehancuran ekonomi keluarga, rusaknya relasi, dan hilangnya makna hidup.
Kritik itu tampaknya tepat pada jantung persoalan masyarakat kita hari ini. Saat hidup direduksi menjadi soal konsumsi dan sensasi, manusia perlahan kehilangan kemampuan untuk berhenti, merenung, dan peduli.
“Kita sibuk membangun gaya hidup, tetapi abai merawat kehidupan—baik kehidupan pribadi, relasi sosial, maupun kehidupan bersama sebagai masyarakat,” tutur Romo Robini, (24/12/2025).
Di tengah situasi itu, Natal menghadirkan kontras yakni Yesus tidak lahir di pusat kekuasaan atau kemewahan, melainkan di palungan yang sederhana dan terbatas. Secara ekonomi, palungan itu miskin. Namun secara manusiawi dan spiritual, ia kaya akan makna. Di sanalah hadir Maria yang setia, Yosef yang taat dan para gembala yang terpinggirkan secara sosial, tetapi justru dipilih menjadi saksi pertama peristiwa keselamatan.
Palungan menjadi kritik diam-diam terhadap cara dunia modern menilai keberhasilan. Romo Robini menantang logika yang mengukur hidup dari tampilan luar, popularitas, dan akumulasi materi. Natal mengingatkan bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh seberapa banyak ia memiliki, melainkan oleh seberapa dalam ia mampu hadir bagi sesama.
Pertanyaan Natal pun menjadi pertanyaan sosial yang mendesak, kemudian melahirkan pertanyaan apakah masyarakat kita sedang bergerak menuju kehidupan yang lebih manusiawi, atau justru terjebak dalam perlombaan gaya hidup yang melelahkan dan eksklusif? Apakah pembangunan dan kemajuan yang kita banggakan sungguh menyentuh manusia yang paling rentan, atau hanya memperlebar jurang ketimpangan?
Natal sebagaimana ditegaskan Romo Robini bahwa bukan ajakan untuk menolak dunia, melainkan undangan untuk menata ulang cara hidup di dalam dunia. Dari konsumsi untuk kesadaran akan kepedulian antar sesama manusia. Dari tampilan kecepatan digital menuju kedalaman makna informasi. Dari kesibukan menuju kehadiran yang nyata bagi keluarga, sesama dan manusia.
Hal itu bukan sekadar nasihat spiritual, tetapi kritik sosial yang relevan di tengah krisis solidaritas, maraknya individualisme, dan melemahnya ikatan sosial.
Di tengah keterbatasan, Yesus lahir—dan dari ruang sempit itulah dunia mulai diubah.
“Natal mengingatkan kita bahwa perubahan besar sering kali tidak lahir dari pusat kekuasaan, melainkan dari kesediaan manusia untuk hidup sederhana, peduli, dan setia pada nilai-nilai kemanusiaan,” ulasnya.
Menutup homilinya, Romo Robini mengatakan bahwa Natal bukan hanya perayaan iman umat Kristiani, tetapi juga tawaran etis bagi masyarakat luas termasuk di dalamnya adalah sebuah ajakan untuk memperlambat langkah, menata ulang orientasi hidup, dan mengembalikan manusia ke pusat perhatian.
“Di dunia yang terlalu sibuk mengejar gaya hidup, Natal mengingatkan kita akan satu hal yang kerap terlupakan: kehidupan itu sendiri,” pungkasnya. *Sam, Pena Katolik.