Sepuluh hingga lima belas tahun yang lalu, saya pernah mempunyai keinginan yang – bila dilihat sekarang – terasa terlalu tinggi, bahkan mungkin naif. Saya ingin membuat hutan di tanah yang gersang. Saya menanam ribuan bibit: jati, beringin dan berbagai jenis pohon yang lain. Dalam imajinasi saya, suatu hari tempat itu akan menjadi teduh, hidup, dan perlahan memulihkan dirinya sendiri.
Yang terjadi sebaliknya. Hampir semuanya gagal. Bukan hanya karena alam yang keras, tetapi karena kenyataan yang lebih dalam dan lebih menyakitkan. Saya baru menyadarinya bertahun-tahun kemudian: kegagalan itu tidak semata-mata ekologis, tetapi juga moral dan sosial.
Pertama, ada keserakahan pribadi yang belum sepenuhnya saya akui waktu itu. Saya tidak sekadar menginginkan hutan; saya menginginkan sesuatu yang produktif, sesuatu yang bernilai ekonomi, sesuatu yang bisa ‘berhasil’ menurut ukuran manusia modern. Hutan yang tumbuh perlahan, yang tidak memberi hasil cepat, ternyata sulit saya terima sepenuhnya. Di sini saya belajar bahwa niat baik dapat tercemar oleh pamrih yang halus.
Kedua, ada lingkungan sosial di sekitar tanah itu yang terlalu miskin untuk berbagi visi. Bukan miskin karena malas atau jahat, tetapi karena hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh kebutuhan hari ini. Pohon tidak dilihat sebagai kehidupan masa depan, melainkan sebagai kayu yang bisa dijual. Pada tahun kelima, semua pohon beringin habis karena tidak terawat atau bahkan dijarah. Barangkali dianggap tidak berguna, tidak menghasilkan apa-apa selain untuk dijual sebagai bonsai atau sebagai kayu bakar.
Peristiwa ini mengajarkan satu pelajaran pahit: di tengah kemiskinan dan logika ekonomi yang sempit, yang tidak segera berguna dianggap tidak layak hidup. Seiring berjalannya waktu, kondisi ekonomi di daerah itu memang berubah. Kebutuhan dasar semakin terpenuhi. Ada jalan, listrik, air bersih serta barang-barang konsumsi yang dahulu tidak terbayangkan ada. Kemiskinan pelan-pelan terkaburkan oleh pemenuhan material yang tampak sebagai kemajuan. Namun yang saya lihat bukanlah suatu pembebasan yang utuh, melainkan penggantian satu bentuk kekurangan dengan bentuk ketergantungan yang lain.
Hak-hak dasar sebagai makhluk biologis dipenuhi, tetapi sebagai manusia tidak dibentuk sebagai makhluk yang mampu berpikir abstrak: tentang martabat, tentang keadilan, tentang hak asasi, tentang batas. Pendidikan hadir terutama sebagai alat untuk bekerja dan bertahan hidup, bukan sebagai jalan untuk memahami makna hidup bersama, relasi dengan alam, dan tanggung jawab moral. Manusia menjadi lebih kenyang, tetapi tidak lebih merdeka.
Di sini saya mulai memahami bahwa kegagalan menghijaukan lahan itu berkaitan langsung dengan kegagalan yang lebih luas: kegagalan membebaskan manusia secara utuh.
Refleksi ini tidak hanya bergema dalam satu tradisi iman. Dalam berbagai kebijaksanaan keagamaan dan kultural, manusia dipahami bukan sebagai pemilik mutlak bumi, melainkan sebagai penjaga. Dalam tradisi Islam, manusia disebut khalifah di bumi – penerima amanah, bukan penguasa tanpa batas. Kerusakan alam dipandang sebagai fasad, tanda bahwa manusia telah melampaui tanggung jawabnya. Dalam tradisi ini pula dikenal sikap Zuhud: bukan penolakan terhadap dunia, melainkan kebebasan dari keserakahan dan keterikatan yang berlebihan.
Nada serupa dapat ditemukan dalam kearifan-kearifan: tentang keseimbangan, harmoni dan hidup secukupnya. Tanah dipandang sebagai ruang hidup bersama, bukan sekadar komoditas. Bumi dihormati bukan karena ia suci dalam dirinya sendiri, melainkan karena manusia sadar bahwa hidupnya bergantung pada bumi. Di titik ini, berbagai jalan iman dan kebijaksanaan seakan bertemu pada sebuah kesadaran bersama: kerusakan bumi bukan terutama akibat kurangnya pengetahuan, melainkan hilangnya batas dan kebijaksanaan moral.
Dalam terang refleksi iman Kristiani yang saya hidupi, pemahaman ini diperdalam oleh kesadaran bahwa krisis ekologis berakar pada cara manusia mencintai secara keliru. Ketika kenyamanan dan keuntungan dinaikkan menjadi tujuan tertinggi, sementara tanah, air dan hutan direduksi menjadi alat, tatanan kehidupan pun runtuh. Kehidupan yang layak bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi hidup secara baik dan bermartabat– hidup yang tahu kapan cukup, dan untuk apa ia bekerja.
Maka buku ini tidak lahir dari keberhasilan, melainkan kegagalan yang membuka mata. Buku ini bukan buku teknik penghijauan, dan bukan pula manifesto ideologis. Ini adalah usaha membaca kembali relasi manusia dengan bumi, dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri – melalui pengalaman konkret, melalui dialog lintas iman, dan melalui keyakinan bahwa pembebasan sejati bukan hanya bersifat material. Tanah yang gagal dihijaukan itu menjadi cermin. Bukan hanya bagi kondisi alam tetapi bagi cara kita membangun, mendidik, dam memahami kemajuan. Dari cermin ini, refleksi-refleksi selanjutnya dalam buku ini bertolak: mencari bentuk pembebasan yang tidak memisahkan kesejahteraan dari martabat, serta dari pembangunan dari tanggung jawab terhadap bumi. (Bagus Prasojo OP)
