MERAUKE, Pena Katolik – Vikjen Keuskupan Agung Merauke, Romo Hendrikus Kariwop MSC mengingatkan bahwa setiap orang diajarkan untuk bertindak berlandaskan kasih. Menurutnya, kasih akan melahirkan kedamaian bagi siapa saja.
“Kita diajarkan untuk hidup dalam kasih. Jangan sampai mencederai orang lain. Jangan menghakimi, jangan membalas,” tegasnya.
Pesan Romo Hendrikus ini sebagai pesan moral, pasca aksi protes warga di Kabupaten Boven Digoel, Keuskupan Agung Merauke yang memprotes pembakaran burung cenderawasih serta kasuari oleh tim dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua. Pembakaran ini dinilai mencederai kearifan masyarakat Papua, mengingat burung cenderawasi dan kasuari sangat dihormati dalam budaya Papua. Meski yang dibakar adalah satwa yang sudah mati, namun tindakan ini memicu protes oleh masyarakat.
Romo Henderikus mengatakan, bagi warga asli Papua, cenderwasih memiliki nilai luhur dan mendapat peran penting dalam acara adat, pelatikan ketua adat, dan hiasan untuk menyambut tamu agung. Romo Hendrikus, mengatakan, bahkan beberapa suku di papua menganggapnya sebagai “totem”, sehingga tidak boleh dibakar dengan alasan apapun.
Romo Hendrikus menuturkan satwa tersebut meskipun sudah mati,tidak boleh dilenyapkan. “Bila masih hidup silahkan dilepas liarkan saja,” ujarnya.
Romo Hendrikus menyerukan kepada lembaga-lembaga seperti Majelis Rakyat Papua, DPR Papua, DPRD Khusus Papua, Lembaga Masyarakat Adat, dan organisasi pendamping seperti LBH Merauke, agar lebih aktif melindungi baik satwa endemik Papua maupun martabat orang asli Papua.
“Semua pihak perlu lebih protektif terhadap budaya dan simbol-simbol kehormatan Papua. Termasuk penggunaan mahkota bulu cenderawasih oleh pejabat atau tamu dari luar Papua harus dilakukan dengan penghormatan dan izin yang benar,” tandas Romo Hendrikus.
Ia berharap tindakan seperti ini tidak terulang lagi, dan meminta warga, terutama umat Katolik Papua, untuk menghentikan aksi dan protes yang dapat memperkeruh keadaan.
Romo Hendrikus juga meminta Kepala BBKSDA Papua, Johni Santoso, untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat Papua atas tindakan tersebut.
“Kami tidak menolak penegakan hukum. Tapi tindakan itu harus dilakukan dengan menghargai nilai budaya masyarakat adat. Karena itu, kami berharap Kepala Balai meminta maaf di depan media di Jayapura,” ujarnya. (Agapitus Batbual/Merauke)
