Home BERITA TERKINI Cerita Pancasila dari Kampung Ambugaga

Cerita Pancasila dari Kampung Ambugaga

0

ENDE, Pena Katolik – Sebuah pohon sukun yang tak jauh dari pantai Ende menjadi saksi saat Soekarno memikirkan tentang dasar negara. Gagasan lahirnya Pancasila, tidak lahir dari gedung mewah di Jakarta. Atau di tempat peristirahatan di Bogor, tempat di mana Soekarno mengagumi keindahannya.

Tempat itu ada di Ende, di bawah pohon sukun tak jauh dari rumah di mana ia diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Dalam buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara, dikisahkan tentang Gagasan Soekarno tentang butir-butir Pancasila yang kemudian menjadi rumusan dasar negara bahkan lahir di bawah pohon tersebut.

Memang, buah pemikiran Soekarno akan Pancasila tidak muncul secara tiba-tiba. Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan Soekarno selama empat tahun saatb diasingkan ke Ende di Pulau Flores.

Pengasingan di Ende menjadi salah satu fase penting selama kehidupan Soekarno. Kala itu, Indonesia masih di bawah jajahan Belanda. Tepat 14 Januari 1934 Soekarno bersama sang istri, Inggit Garnasih, serta ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan di Kampung Ambugaga, Ende.

Di Ende, Soekarno dan keluarga hidup di lingkungan terpencil di tengah-tengah penduduk berpendidikan rendah. Kehidupan Soekarno dan keluarganya serba sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik seperti di kota besar.

Namun, peristiwa ini nyatanya menjadi waktu penuh arti dan rahmat bagi Soekarni dan bangsa Indonesia. Meski pada awalnya, pengasingan ini sengaja dilakukan oleh kolonial Belanda untuk memutus hubungan Soekarno dan loyalisnya.

Soekarno bersama Istri (Inggit), ibu mertua, anak angkat dan sahabat nya di depan rumah pengasingan.
Soekarno bersama Istri (Inggit), ibu mertua, anak angkat dan sahabat nya di depan rumah pengasingan.

Umat Sederhana

Masyarakat Kampung Ambugaga saat itu adalah masyarakat sederhana. Di tempat ini, kekatolikan telah berkembang cukup besar. Tentu, Katolik telah menjadi agama mayoritas penduduk di sana. Hal ini ditandai setidaknya dengan beberapa gereja dan biara yang sudah ada di sana.

Biara St Yosef adalah salah satunya. Di lokasi in, tinggal beberapa imam asal belanda. Rumah di mana Soekarno ditahan terletak tak jauh dari Biara St Yosef, hanya sekitar 600 meter.

Teknologi komunikasi pada zaman itu tentu tak semaju sekarang. Mungkin hanya surat-menyurat yang masih bis amenghubungkan Soekarno dengan para koleganya di Batavia. Listrik mungkin belum juga ada di Ende.

Barang kali, situasi ini yang menjadikan lokasi ini dipilih untuk menjadi lokasi pengasingan Soekarno. Pemerintah Belanda tentu berpikir, pergerakan yang selama ini dilakukan Soekarno tidak akan berkembang di tempat semacam ini.

Nyatanya, dugaan mereka salah. Di tempat ini, di bawah pohon sukun Soekarno merenungkan satu demi satu nilai yang nantinya akan menjadi roh Negara Indonesia. Atas pengalamannya di bawah pohon sukun itu, Soekarno pernah berkata:

“Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari… Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung.., di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama.

Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya.

Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.”

Soekarno diasingkan di Ende pada 1934. Itu berarti 11 tahun sebelum Indonesia merdeka. Setelah masa pengasingan di Ende, Soekarno terus merenung tentang apa yang ia pikirkan di bawah pohon sukun di Ende itu, bersama dengan diskusi-diskusinya dengan para Imam SVD di Biara St. Yosef. Puncaknya, pada 1 Juni 1945, dalam siding BPUPKI, Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal, yang saat ini dikenal sebagai pidato kelahidan Pancasila.

Pada sidang BPUPKI itu, pada sesi setelah makan siang, Soekarno melangkah ke podium yang letaknya lebih tinggi. Ia tidak memegang naskah pidato. Di saat itulah, Soekarno mengupas lima prinsip, yang disebutnya lima mutiara berharga. Di akhir pidatonya, ia berkakata, “Marilah kita menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Terus Dikenang

Satu dekade dihabiskan Soekarno untuk memikirkan seperti apa jiwa dari Indonesia. Soekarno mengemukakan ide tentang lima dasar negara yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhananan Yang Maha Esa. Keragaman Indonesia mampu dibuatkan “rumah” oleh Soekarno yang ia beri nama Pancasila.

Sejak tahun 1980-an, pohon sukun itu kemudian dikenal menjadi Pohon Pancasila. Namun demikian, pohon aslinya sedianya sudah mati pada tahun 1970-an. Pemerintah setempat menggantinya dengan anakan pohon yang sama di lokasi yang sama pula.

Ketika Suatu kali pada tahun 1950, Soekarno berkesempatan berkunjung ke Ende, ia kembali menengok lokasi di mana ia diasingkan. Ia juga bertemu lagi dengan orang-orang yang dahulu ia jumpai di sana.

“Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula, kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila,” begitu katanya saat itu.

Pohon sukun yang saat ini tumbuh di lokasi pengasingan Soekarno memiliki tinggi sekitar 10 meter. Daunnya cukup banyak. Dan, di sekitarnya, tak ada pohon sejenis lain.

“Jika duduk di bawahnya, menghadap laut itu enak sekali,” kata Nocent W. Doi, staf Dinas Pariwisata Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurut Nocent, Soekarno juga berpesan untuk menjaga pohon sukun itu. Pada 1972, tanpa diketahui sebab pastinya, pohon sukun itu mati. Penduduk lalu menanam satu pohon sukun lagi sebagai gantinya.

Nocent yang merupakan mantan wartawan sudah mengumpulkan cerita dan bukti sejarah Soekarno di Ende. Dia mewawancarari satu per satu sahabat atau keluarganya selama si Bung Besar tinggal di Ende.

Di Ende hari ini, pohon sukun itu menjadi saksi penceritaan kembali bagaimana kelima nilai luhur Pancasila direnungkan. Tentu tak ada Soekarno lagi. Pohonnya juga bukan yang dulu. Namun, yang pasti, kalau pendahulunya dulu hanya berbatang satu, si pohon sukun penerus ini punya lima batang. (AES)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version