VATIKAN, Pena Katolik – Dari Leo XIII pada tahun 1903 hingga Yohanes Paulus II pada tahun 2005, akhir hidup para Paus yang berkuasa selalu membangkitkan emosi yang besar dan liputan media yang intens. Berikut ini adalah kilas balik episode sejarah yang terkadang kurang dikenal dan mengejutkan, yang diceritakan dalam buku karya jurnalis Argentina, Nelson Castro, The Health of the Popes (La salud de los Papas, 2021).
Leo XIII: Umur Panjang yang Luar Biasa
Terpilih pada tahun 1878 pada usia 69 tahun, Vincenzo Gioacchino Pecci diperkirakan akan menjadi “Paus transisi”. Paus Leo XIII meninggal pada tahun 1903 pada usia 93 tahun, sebuah fakta yang sangat luar biasa. Sebagai indikasi, harapan hidup rata-rata di Italia pada awal abad ke-20 tidak lebih dari 43 tahun.
Pada tahun 1890-an, rumor tentang penyakit dan bahkan kematian beredar dalam berbagai kesempatan. Hal ini mendorong Vatikan untuk membuat inovasi yang spektakuler dalam hal komunikasi. Pada tahun 1896, untuk menangkal rumor tentang penyakit, Paus Leo XIII menjadi paus pertama yang difilmkan. Video tersebut memperlihatkan, Paus yang saat itu berusia 86 tahun itu cukup waspada dan terhibur dengan alat-alat baru ini.
Selama hari-hari terakhirnya pada bulan Juli 1903, laporan berkala diterbitkan di L’Osservatore Romano. Pada tanggal 5 Juli, surat kabar Takhta Suci melaporkan bahwa Paus menderita “hepatisasi paru-paru pikun”.
Tiga hari kemudian, dengan penekanan yang lebih besar, L’Osservatore Romano mempersiapkan untuk kemungkinan “kematian “kepergian” Paus.
“Di sudut Vatikan, penerus Santo Petrus yang ke-256 ini tengah berjuang melawan kerasnya penyakit, dan kita semua ingin mengetahui keadaan perjuangan ini, bukan karena rasa ingin tahu, tetapi karena rasa hormat atas penderitaan raksasa yang tengah berjuang melawan bahaya tujuan akhir duniawi yang disediakan bagi manusia.”
Paus tertua yang memimpin di zaman modern ini meninggal pada tanggal 20 Juli 1903. Hanya Benediktus XVI yang hidup melewati usia 93 tahun. Setelah pensiun, ia meninggal pada usia 95 tahun.

Pius X: Wafat Karena Depresi Akibat Perang Besar”
Paus Pius X terpilih di luar keinginannya pada tahun 1903. Di akhir masa hidupnya, Bapa Suci bukanlah “pasien yang mudah”. Ia menuduh mereka ingin membuang-buang waktunya. Oleh karena itu, ia sering kali tidak menaati perintah mereka yang memintanya untuk beristirahat. Ia justru menghabiskan waktunya untuk bekerja dan menyelenggarakan pertemuan dengan pelbagai pihak.
Pada tahun 1913, Paus Pius X jatuh sakit karena bronkitis.
dalam beberapa kesempatan, Paus Pius X tetap berdiri selama satu jam tanpa menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ia merasakan sedikit nyeri di perut karena kembung.
Pada musim panas tahun 1914, saat pecahnya Perang Dunia I, ini menyebabkan Pius X menderita stres berat. Depresi psikologis yang dengan cepat menguasai dirinya.
“Saya merasa perang ini akan membunuh saya,” katanya dengan sedih kepada orang-orang di sekitarnya.
Alhasil, ia menderita bronkitis lagi, dan meninggal pada usia 79 tahun pada tanggal 20 Agustus 1914. Hari itu adalah hari pertempuran militer besar pertama dalam konflik dunia itu: Pertempuran Morhange, di Lorraine, Prancis.
Dua hari kemudian, dr. Ettore Marchiafava, anggota tim medis yang mendampingi Paus, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Corriere della Sera, bahwa kematian Paus terkait dengan depresi yang dialaminya akibat guncangan perang.
“Saya ingin mengatakan bahwa Paus telah sangat menderita dalam beberapa minggu terakhir karena perang yang membuat Eropa berdarah (…). Tubuhnya pasti akan lebih kuat jika keadaan tidak memberinya pukulan berat terhadap moralnya. Saat ia dalam kondisi pikiran seperti ini, penyakitnya menyerang dengan cepat dan keras, seperti sambaran petir,” ungkap dr. Marchiafava.
“Pius X adalah seorang paus yang menangisi Perang Besar, yang mana ia dikenang sebagai korban pertama,” tulis Paus Fransiskus pada tahun 2024 dalam kata pengantar sebuah buku tentangnya.
Benediktus XV: kematian dini seorang paus yang terlupakan
Meskipun usia lanjut, Leo XIII secara keliru diramalkan dengan masa kepausan yang singkat, sebaliknya, Benediktus XV yang relatif muda, secara keliru diramalkan dengan masa kepausan yang panjang. Terpilih pada tahun 1914 pada usia 59 tahun dan dengan segudang pengalaman diplomatik, Kardinal Giacomo della Chiesa tampak sebagai orang yang tepat untuk menghadapi pergolakan geopolitik Perang Dunia I. Namun, upayanya untuk melakukan mediasi ditolak oleh semua pihak, dan Takhta Suci mendapati dirinya benar-benar terpinggirkan selama negosiasi besar yang menyusul konflik tersebut, khususnya Perjanjian Versailles.
Pada akhir hidup Benediktus XV cukup mengejutkan. Menurut sebuah catatan dalam buku Nelson Castro, Paus awalnya terserang flu pada malam tanggal 27 November 1921. Ia mendapati pintu tertutup saat pergi ke Basilika Santo Petrus pada pukul 5 pagi. Iamenunggu dengan tekun meskipun cuaca buruk, ia dikatakan terserang flu berat yang membuatnya berjuang keras untuk sembuh.
“Meskipun batuk terus-menerus yang diwarisinya dari flu ini, yang memaksanya untuk menyela pembicaraannya secara teratur, Paus tetap menjalankan tugas pastoralnya hingga kesehatannya mulai menurun drastis pada hari-hari pertama tahun 1922, sampai-sampai pada tanggal 22 Januari, pukul 5 pagi, ia jatuh dan mengalami koma parah yang tidak akan pernah pulih. Ia meninggal satu jam kemudian.”
Paus Benediktus XV meninggal dunia secara tiba-tiba, pada usia 67 tahun. Ia tentu saja tetap menjadi salah satu paus yang paling tidak dikenal dalam sejarah, meskipun pada tahun 2005, ketika Kardinal Josep Ratzinger memilih nama “Paus Benediktus XVI”, hal ini menyebabkan pendahulunya ini “ditemukan kembali”.
Pius XI: dugaan pembunuhan
Kardinal Achille Ratti terpilih pada tahun 1922, memiliki masa kepausan yang ditandai dengan penegakan kembali kedaulatan Negara Kota Vatikan, melalui Perjanjian Lateran tahun 1929. Namun, masa kepausan itu juga bertepatan dengan munculnya totalitarianisme di Italia, dalam bentuk fasisme.
Dalam cara yang mungkin tampak paradoks, Mussolini adalah mitra, dalam konteks perjanjian tahun 1929. Fasisme akhirnya mengambil dimensi agama alternatif dan merasuki semua aspek kehidupan sosial.
Dalam konteks yang sangat khusus inilah, Pius XI meninggal pada tanggal 10 Februari 1939. Itu terjadi sehari, sebelum pidato Paus yang sudah tua dan sakit itu, untuk memperingati Perjanjian Lateran. Pidato itu berisi kritik tajam terhadap rezim Mussolini.
“Di halaman-halaman pidatonya, yang drafnya ia tinggalkan di mejanya dan yang ingin ia bacakan di depan umum pada tanggal 12 Februari 1939, Paus mengutuk keras fasisme dan Nazisme.”
Kematian ini merupakan takdir bagi rezim tersebut, menimbulkan banyak pertanyaan tentang kemungkinan pembunuhan, terutama karena salah satu dokternya, dr. Francesco Petacci, tidak lain adalah ayah Clara Petacci, gundik Mussolini.
Kasus ini tidak pernah terpecahkan. Pius XI telah menderita diabetes dan masalah kardiovaskular selama dua tahun, dan kematiannya pada usia hampir 82 tahun tampaknya bisa diterima semoa orang. Namun pada tahun 1972, saat berbicara tentang kematian Pius XI, Kardinal Eugène Tisserant, yang saat itu merupakan salah satu saksi langsung terakhir pada masa itu, dilaporkan berkata, “Mereka menyingkirkannya, mereka membunuhnya.”
Pius XII: dari penyakit imajiner menjadi penyakit nyata
Kardinal Eugenio Pacelli terpilih pada tahun 1939 di usia 63 tahun, hidup melalui Perang Dunia II. Kesehatannya menurun drastis sejak tahun 1953 dan seterusnya, tahun ketika dokternya, dr. Riccardo Galeazzi-Lisi, yakin bahwa Paus menderita kanker perut.
Tahun berikutnya, dokter ini membuat daftar penyakit Paus yang memusingkan: “Pneumonia, astenia berat, rinitis, trakeobronkitis, gastritis dengan gangguan pencernaan dan nyeri ulu hati, sakit gigi, cegukan, depresi, osteoartritis dengan kelumpuhan lengan kanan, radang usus besar, prostatitis, perut kembung.”
Sangat hipokondriak dan tertekan oleh berbagai fobia, Pius XII tampaknya secara bertahap jatuh di bawah pengaruh diagnosa itu. Namun, dokter itu sebenarnya diragukan dalam kemampuannya menentukan diagnosa. Satu yang misalnya dirasa aneh, dokter gigi itu meresepkan asam kromat, zat berbahaya yang digunakan untuk mewarnai kulit sebagai salah satu pengobatan untuk Paus. Zat ini dapat merusak kerongkongan Paus, yang menyebabkan cegukan yang akan melumpuhkannya selama tahun-tahun terakhir masa kepausannya.
Menurut Nelson Castro, Paus bahkan menjadi semacam kelinci percobaan untuk “perawatan meragukan” yang dikembangkan oleh dokter Swiss Paul Niehans, yang merancang suntikan yang berasal dari janin domba dan monyet hidup. Pada tahun 1956, masalah perut Pius XII membuatnya mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, tetapi dokternya mencegahnya.
Paus meninggal di Castel Gandolfo pada tanggal 9 Oktober 1958. Kemudian, dr. Galeazzi-Lisi dituruh dalam skandal di seluruh dunia, yang menyebabkan pengusirannya dari Vatikan dan Asosiasi Medis Italia.
Yohanes XXIII: meninggal di puncak popularitasnya
Kardinal Angelo Roncalli sudah sangat tua, ketika ia terpilih menjadi paus pada tahun 1958, pada usia 78 tahun. Patriark Venesia itu adalah sosok yang ceria dan orisinal, jauh dari pertikaian internal yang mengguncang Vatikan pada tahun-tahun terakhir masa kepausan Pius XII.
Yohanes XXIII, yang memiliki kebiasaan “makan hemat” adalah Paus pertama yang pernah terlihat merokok, dua batang sehari: satu setelah makan siang dan satu lagi setelah makan malam. Ia merokok, meskipun larangan merokok diberlakukan oleh pendahulunya Pius XII.
Beberapa bulan setelah terpilih, Yohanes XXIII mengejutkan dunia dengan mengadakan Konsili Vatikan II. Sayangnya, ia hanya sempat menyaksikan sesi pertama, pada musim gugur tahun 1962. Selama periode kegembiraan di awal Konsili, pendarahan pencernaan menyebabkan dokter mendiagnosis tumor lambung.
“Bapa Suci, kami telah melakukan segala yang kami bisa, tetapi kami harus mengakui kekalahan,” ungkap salah satu anggota tim medis, dr. Valdoni dalam sebuah perjumpaan dengan Yohanes XXIII. Ia dengan sedih mengakui gagal menghilangkan tumor pada tubuh Yohanes XXIII
“Jangan khawatir, tas saya selalu siap. Maafkan saya karena menyita waktu Anda. Saya harus mengakui, ketika Anda sibuk merawat tubuh saya, saya memikirkan jiwa Anda,” jawab Yohanes XXIII, dengan rasa sapaan yang membuatnya tetap populer di Italia hingga saat ini.
“Papa buono” melanjutkan aktivitasnya hingga kematiannya pada bulan Juni 1963.
“Ia memiliki keberanian untuk terus bekerja, menepati komitmennya, dan bahkan menerbitkan ensiklik terakhirnya, Pacem in Terris, yang menandai titik balik penting dalam kebijakan kepausan internasional,” kenang Nelson Castro dalam bukunya.
Kematiannya menimbulkan emosi yang besar di seluruh dunia, bahkan di Uni Soviet, negara yang dikenal sering “menyerang” Vatikan.
Paulus VI: Jalan Salib yang Panjang
Kardinal Giovanni Battista Montini muncul pada tahun 1963 sebagai kandidat alami untuk menggantikan Yohanes XXIII. Ia terpilih pada usia 65 tahun dan merupakan bagian dari dinamika keberlanjutan. Seorang intelektual yang berpikiran terbuka tetapi dengan kepribadian yang lebih tradisional daripada pendahulunya, ia adalah mantan kolaborator Pius XII.
Namun, ia juga seorang pria yang lemah dengan kesehatan yang rapuh, yang sebelumnya pernah “dipulangkan” dari seminari di masa mudanya karena kelemahan fisiknya.
Setelah awal yang spektakuler yang ditandai dengan kehadirannya di Konsili Vatikan II dan perjalanannya ke Tanah Suci, yang merupakan pertama kalinya seorang paus bepergian dengan pesawat. Kepausannya mengalami kemunduran sejak tahun 1970 dan seterusnya, dengan Paulus VI tidak lagi menerbitkan ensiklik atau bepergian ke luar negeri.
Paulus VI menderita radang sendi menjadikannya semakin tidak mampu bergerak, dan ia secara teratur terpaksa menggunakan tandu selama audiensi. Meskipun popularitasnya sedikit membaik selama Yubelium tahun 1975, tahun-tahun terakhir kepausannya menyerupai “Jalan Salib”. Hal ini karena pergolakan mendalam dalam masyarakat, disertai dengan banyaknya pembelotan di kalangan imam sebagai dampak dari Konsili Vatikan II.
Pada tahun 1978, penculikan dan pembunuhan mantan kepala pemerintahan Perdana Menteri Italia, Aldo Moro oleh Brigade Merah, sangat memengaruhi Paus Paulus VI tersebut. Ia secara pribadi dekat dengan pemimpin bersejarah Partai Demokrat Katolik ini. Surat kabar El Pais melaporkan bahwa Paulus VI sangat terkejut, hingga ia “pingsan setelah mendengar berita itu.”
Dalam kondisi sangat lelah, Paulus VI pergi ke Castel Gandolfo pada bulan Juli 1978, di mana ia meninggal pada tanggal 5 Agustus, pada usia 80 tahun, di ruangan yang sama tempat Pius XII meninggal 20 tahun sebelumnya.
Pada saat itu, ketika Paus sakit, ia tidak dirawat di rumah sakit, namun menghabiskan waktu di kediaman pribadinya. pada 11 tahun sebelumnya, tahun 1967, ia menjalani operasi prostat yang memerlukan alat bedah yang rumit, di jantung Istana Apostolik Vatikan.
Yohanes Paulus I: kematian tak terduga dan dikelilingi oleh area abu-abu
Kardinal Albino Luciani terpilih pada tanggal 26 Agustus 1978. Ia adalah seorang pria yang dikenal karena kebaikannya, ketenangannya, dan sifat pemalunya. Ia dikenang sebai “Paus Tersenyum”, karena selalu terlihat dengan wajah berseri-seri.
“Memiliki seorang imam Gereja universal yang memiliki kebaikan hati dan iman yang cemerlang merupakan jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja.”
Paus Yohanes Paulus I sendiri terkejut dan harus menerima beban tanggung jawabnya. Jelas bahwa ia “sedikit menderita” karena hal ini.
Pada satu tulisan, Kardinal Josep Ratzinger mengatakan, “Ia tidak berharap untuk dipilih. Ia bukanlah orang yang mengejar karier.”
Terpilih pada usia 65 tahun, Yohanes Paulus I tampak relatif muda, menjanjikan masa kepausan yang berpotensi berlangsung selama 15 atau 20 tahun, atau bahkan lebih lama. Oleh karena itu, dunia Katolik terguncang hingga ke akar-akarnya ketika mengetahui, 33 hari kemudian, paus yang baru terpilih ini wafat.
Paus ditemukan meninggal di tempat tidurnya, secara resmi diumumkan, ia wafat karena sebab alamiah, serangan jantung. Desas-desus tentang pembunuhan beredar selama tahun-tahun berikutnya, tetapi paus yang berumur pendek ini sendiri menyebutkan masalah kesehatannya.
Pada tahun 2006, saudaranya Eduardo Luciani mengungkapkan dalam sebuah wawancara dengan majalah Italia populer Chi tentang kehidupan saudaranya itu.
“Albino berperilaku seolah-olah dia merasakan kemalangan. Setelah pemilihannya, dia terus menyinggung fakta bahwa dia akan ‘segera pergi’. Seolah-olah dia tahu persis apa yang akan terjadi.”
Perlu dicatat juga bahwa masa kepausannya yang singkat ditandai dengan kematian mendadak Metropolitan Ortodoks Leningrad, Nicodemus, pada tanggal 5 September, di tengah audiensi kepausan. Uskup Roma terguncang oleh hal ini, terutama karena, dalam konteks Perang Dingin, kedatangan seorang pemimpin gerejawi dari Uni Soviet di Vatikan merupakan peristiwa yang cukup besar.
Yohanes Paulus II: Penderitaan di Mata Dunia
Paus asal Polandia, yang terpilih pada tahun 1978 pada usia 58 tahun, adalah seorang olahragawan, sangat menyukai ski dan hiking, dan dalam kondisi fisik yang cukup baik untuk para kardinal yang lelah karena pertemuan dua konklaf berturut-turut.
Namun, upaya pembunuhan pada tanggal 13 Mei 1981, menandai titik balik, saat Mehmet Ali Agça menembak Paus itu dan mengenai di perut, peluru lainnya menyerempet sikunya dan mematahkan jari telunjuknya. Pemindahan Paus Polandia ke Rumah Sakit Gemelli terjadi di tengah kemacetan lalu lintas Roma. Ia menjadi Paus pertama yang dirawat di rumah sakit.
Ketika peluru dikeluarkan, para dokter melihat bahwa peluru itu tidak merusak organ vital apa pun, dan nyawa Paus terselamatkan. Akan tetapi, karena transfusi darah darurat yang diterimanya, Paus tertular sitomegalovirus. Kondisi ini membuatnya sangat lemah dan membuatnya dirawat di rumah sakit lagi pada musim panas tahun 1981, untuk jangka waktu yang lebih lama.
Upaya pembunuhan ini juga dapat dianggap sebagai penyebab tidak langsung dari penyakit-penyakit berikutnya yang melemahkannya sejak tahun 1990-an dan seterusnya, dan menyebabkan beberapa media berspekulasi tentang kematiannya yang akan segera terjadi.
“Paus sedang sekarat,” adalah tajuk utama di Courrier International pada tahun1994. Berita itu muncul setelah Paus Yohanes II harus menghentikan pidatonya karena merasa tidak enak badan selama berkat Natal Urbi et Orbi pada tanggal 25 Desember 1995. Paus akhirnya menjalani operasi pada bulan Oktober 1996 untuk radang usus buntu, yang telah menyebabkannya sangat menderita selama berbulan-bulan.
Getaran dan masalah dengan mobilitas dan bicara melemahkan Paus Yohanes Paulus II secara signifikan selama bertahun-tahun. Namun, tidak ada diagnosis resmi penyakit Parkinson, meskipun gejalanya jelas. Gejalanya terutama terlihat mulai tahun 1993, ketika ia jatuh dengan keras di akhir audiensi dengan anggota FAO.
Meskipun menderita, Paus menunjukkan ketahanan dan humor yang luar biasa. Ia “mengganti” nama Rumah Sakit Gemelli menjadi “Vatikan III”, karena ia sering dirawat. Ia menghabiskan lebih dari 120 malam di sana secara total. Ia bercanda, untuk mengetahui kesehatannya sendiri, yang harus ia lakukan hanyalah “membaca koran”.
Dari tanggal 1 hingga 10 Februari 2005, Yohanes Paulus II dirawat di Rumah Sakit Gemelli karena radang tenggorokan. Ia kembali ke sana pada tanggal 24 Februari, setelah menerima sakramen orang sakit dari Kardinal Ukraina Marian Jaworski, dan menjalani trakeostomi.
Kembalinya Paus ke Vatikan pada tanggal 13 Maret 2005 menandai dimulainya “masa terakhir” yang berat. Pada tanggal 20 Maret (Audiensi Rabu), 27 Maret (Urbi et Orbi Minggu Paskah), dan 30 Maret (Audiensi Rabu), Paus tidak dapat membacakan pidatonya. Ia hanya bisa memberkati orang banyak dari jendela apartemen kepausan.
Setelah penderitaan terakhir di bawah sorotan mata seluruh dunia, Yohanes Paulus II meninggal pada hari Sabtu, 2 April 2005, seminggu setelah Paskah. Ia meninggal pada malam Minggu Kerahiman Ilahi, hari raya yang telah ditetapkannya lima tahun sebelumnya. (AES)