Sabtu, Desember 21, 2024
28.1 C
Jakarta

Pendampingan Rohani untuk Mary Jane: Mempersiapkan untuk Hidup, Bukan untuk Mati

YOGYAKARTA, Pena Katolik – Mary Jane Fiesta Veloso tiba-tiba ditarik dari rombongan narapidana yang akan dieksekusi di Lapangan Tembak Limus Buntu di Nusakambangan, Rabu dini hari 29 April 2015. Ketika ia berjalan ke tmpat eksekusi, ia dihadang dan ditarik keluar.

Mary Jane seakan tak percaya, lolos dari maut malam itu. Malam itu, tak ada lagi harapan, namun, dalam lubuk hatinya, ada keyakinan, kehidupan akan berpihak kepadanya.

“Saya kaget. Saya bersyukur sama Tuhan masih diberikan kesempatan hidup,” kata Mary Jane kepada kuasa hukumnya, Ismail Muhammad di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta. Ismail menceritakan kembali kisah itu kepada media, Kamis 30 April 2015.

Di Malam eksekusi itu, rombongan petugas Kejaksaan Agung mendadak lari ke dalam Lapas. Mereka langsung menuju Mary.

“Mary, kamu balik lagi ke kamar ya. Eksekusi kamu ditunda,” kata seorang petugas Kejaksaan kepada Mary.

Kabar penundaan eksekusi Mary Jane cepat menyebar. Kabar itu sampai juga ke kedua orangtuanya, yang saat itu sedang dalam perjalanan menuju Jakarta dari Cilacap. Mereka akan pulang ke Manila, Filipina dan telah merelakan anaknya.

“Keajaiban benar-benar datang ke anak saya,” kata Celia Veloso, ibunda Mary Jane.

Malam itu, Mary Jane tak lagi takut pada kematian.  Mary jauh lebih tenang menghadapi eksekusi usai bertemu dengan Romo Kieser. Keadaan batin Mary jauh lebih baik. Dia bisa lebih menerima nasibnya hendak dieksekusi mati setelah banyak berdiskusi dengan Romo Kieser.

Mary Jane bahkan telah menulis surat wasiat. Mary Jane berpesan kepada perempuan Filipina agar tidak mudah percaya dengan orang lain. Ia meminta agar perempuan Filipina berhati-hati, supaya tidak terjebak ke dalam perdagangan manusia. Surat wasiat itu diserahkan kepada Kedutaan Besar Filipina untuk disampaikan kepada jaringan buruh migran di Filipina.

Romo Bernhard Kieser SJ mendampingi Mary Jane dalam sidang peninjauan kembali. IST

Pendampingan untuk Hidup

Selama masa penahanannya, Mary Jane mendapat pendapingan rohani dari Romo Bernhard Kieser SJ. Imam Serikat Yesus ini yang selama ini mendampingi Mary Jane dalam setiap tahap persidangan, hingga beberapa kali mengajukan Peninjauan Kembali, meskipun selalu gagal.

Awal perkenalan Romo Kieser dengan Mary Jane dimulai pada 2011. Romo Kieser diminta oleh Pembimbing Masyarakat (Bimas) Katolik Departemen Agama Yogyakarta untuk menjadi bapa pengakuan terpidana mati asal Filipina itu.

“Saya datang ke Pusat Rehabilitasi Narkoba Pakem sebagai bapa pengakuan bagi Mary Jane yang tidak bisa berbahasa Indonesia,” ujar imam Jesuit kelahiran Jerman ini saat ditemui HIDUP di Komunitas Kolese St Ignatius (Kolsani), Yog yakarta.

Awalnya, Mary Jane ditahan di di Pusat Rehabilitasi Narkoba Pakem sebelum dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wirogunan, Yogyakarta. Romo Kieser sejak itu mendampingi Mary Jane.

Romo Kieser juga sempat menjadi saksi dalam lanjutan sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, 4 Maret 2015. Usai memberikan kesaksian, Romo Kieser meminta izin kepada Hakim Ketua Marliyus MS untuk mengajak Mary Jane berdoa. Di setu, keduanya berdia Bapa Kami.

Romo Kieser mengatakan, mendampingi terpidana mati seperti Mary Jane, bukan untuk mempersiapkannya agar siap mati, melainkan untuk tetap hidup. Saat itu, Romo Kieser mengajak umat untuk mendoakan para terpidana hukuman mati.

Ajakan untuk berdoa bagi terpidana mati disampaikan Romo Kieser melalui para uskup di Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Bandung, dan Keuskupan Purwokerto. Saat itu ajakan ini disusul dengan gerakan bersama mendaraskan doa bagi Mary Jane dan para terpidana mati lain.

“Saya minta agar keuskupan-keuskupan mendoakan, tapi saya tidak tahu konkretnya di keuskupan lain,” kata Romo Kieser.

Gereja Katolik dikenal karena sikapnya yang jelas untuk hukuman mati. Gereja Menolak hukuman mati.

Romo Kieser berharap, Gereja Katolik bersikap kritis terhadap penetapan hukuman mati di Indonesia.

“Manusia tidak berhak mengakhiri hidup orang lain,” kata Teologi Moral di Fakultas Teologi Wedabhakti/Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.  (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini