Pena Katolik – Kata yang sering diulang-ulang, selalu, dengan benar, dan penuh cemoohan — pada sinode yang baru saja selesai, adalah klerikalisme. Tumor pada Tubuh Mistik Kristus ini sering kali dikutuk oleh banyak orang, mulai dari Paus Fransiskus dan seterusnya.
Dan memang demikian, klerikalisme adalah sebuah dosa, sebuah keburukan, sebuah kecenderungan historis yang menyedihkan dalam Gereja yang harus selalu dilawan.
Apa itu? Klerikalisme adalah keyakinan bahwa para imam dan uskup harus mempunyai hak prerogatif, keistimewaan dan hak, dan bahwa mereka harus diperlakukan sebagai bangsawan dengan pengaruh dan otoritas yang menuntut rasa hormat dan kepatuhan. Klerikalisme juga berlaku pada campur tangan berlebihan Gereja dalam urusan politik dan budaya. Hal ini memang pantas untuk dikutuk.
Mari kita perjelas: Klerikalisme adalah racun bagi Gereja; hal ini bertentangan dengan ajaran Yesus dan orang-orang kudus-Nya; hal ini merupakan momok yang terus-menerus dalam ajaran Paus Fransiskus – dan memang seharusnya demikian – dan terus-menerus dicambuk di sinode. Bagus!
Bagaimana Terlihat?
Bagaimana klerikalisme ini dapat dilihat penampakannya dalam Gereja? Sebuah ilustrasi dapat diberikan di sini. Seorang imam di sebuah paroki begitu berkuasa. Untuk setiap keputusan imam itu selalu yang berkuasa untuk menentukan. Dengan kata lain, imam itu tidak memberi kesempatan untuk siapapun menentukan apa yang akan terjadi di paroki. Mengapa demikian, imam itu menganggap bahwa imamatnya membawa serta “kuasa kepemimpinan” yang membuatnya merasa memiliki kuasa untuk menentukan apa yang berjalan di paroki. Ia lupa bahwa ada prinsip subsidiaritas atau pembagian tanggung jawab dalam Gereja.
Contoh lain, seorang imam memiliki koleksi kamera digital. Setiap ada keluaran baru sebuah kamera, ia selalu memilikinya. Bagaimana ia mendapatkannya? Kadang ia membeli dengan uangnya, dari hasil stependium Misa. Kadang ia mendapat dari “pemberian” umat kaya yang ada di paroki tempat tugasnya. Begitu senangnya, ia sering memamerkan koleksi kameranya, bahkan kepada umat-umat sederhana di paroki. Ia tidak pernah sadar akan pandangan umat atau penilaian umat tentang hobinya itu.
Dua contoh itu hanya sebagian kecil. Ada lebih banyak contoh bisa diberikan. Dua contoh itu adalah situasi ketika seornag imam “terjangkit” klerikalisme. Situasi ketika nilai-nilai selibat tidak dihayati dengan baik dan menjadi kan seorang imam lupa akan tugas imamatnya, di situlah klerikalisme terjadi. Seorang imam merasa memperoleh previlese sehingga lupa akan perannya sebagai teladan iman. Ia tidak menyadari bahwa dalam sebagain cara hidupnya, menampakkan gaya hidup yang tidak sesuai dengan nasihat Injil, parahnya mereka tidak sadar. Di sinilah terjadi klerikalisme.
Dua Poin
Pertama, meskipun klerikalisme adalah dosa dan keburukan, imamat adalah suatu kebajikan. Seorang imam bukanlah seorang bangsawan, tetapi tentu saja ia mempunyai panggilan yang mulia, seperti halnya banyak panggilan lainnya. Gereja memanggil dia untuk memperlakukan panggilan imamnya dengan penuh perhatian, bermartabat, dan waspada.
Meski tidak pernah “melebihkan” umat-Nya, dan setiap hari berjalan bersama mereka dalam pergumulan dan penderitaan, Dia “dikucilkan” sedikit, sebagaimana Yesus memanggil para rasul-Nya dan memisahkan mereka dari murid-murid-Nya. Mencintai, menghargai, dan menghormati para imam adalah suatu kebajikan yang selalu dimiliki umat Katolik, yang merupakan sifat bawaan dalam budaya Katolik kita. Seorang pendeta menginspirasi kepercayaan.
Orang-orangnya memanggilnya “Ayah” dan mencintainya karena itu. Imamat adalah kebajikan yang menjaga panggilan itu. Ini mengilhami kehidupan pelayanan tanpa pamrih, dan rasa tanggung jawab, seperti seorang pria akan melindungi identitas dan tugasnya sebagai suami dan ayah, dengan sopan santun untuk menjaganya. Tidak ada lagi klerikalisme! Lebih banyak imamat!
Kedua, pada waktu yang hampir bersamaan dengan munculnya klerikalisme di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19, muncul kutukan lain: laisisme. Hal ini merupakan sebuah penghinaan terhadap para uskup, imam, Gereja, dan segala rasa hormat yang ditunjukkan terhadap iman Katolik, khususnya di bidang pendidikan, amal, dan layanan kesehatan. Pengaruhnya masih kuat di banyak negara dan sedang meningkat di dunia sekuler.
Jadi, bukan hanya para pendeta, tapi orang awam, pemerintah, dan tokoh-tokoh budaya bisa menyalahgunakan posisi mereka untuk memaksakan kehendak mereka secara kasar kepada orang lain! Bahkan para pemimpin awam dan religius di Gereja pun bisa mengambil sikap otoriter dan arogan dalam menjalankan tugas gerejawinya. Menurutmu tidak? Baca surat saya!
Panggilan dari Yesus untuk pelayanan yang penuh kasih, rendah hati, tanpa pamrih, dan penuh sukacita diucapkan kepada semua orang yang berani menjadi murid-Nya! Pelanggaran terhadap perintah ini tentu saja dapat terjadi di kalangan imam dan uskup, namun juga di kalangan umat awam, diaken, dan religius. Mungkin kita perlu ingat bahwa kadang-kadang kita memperhatikan titik di mata orang lain dan kehilangan sorotan di mata kita sendiri!