Oleh: Simon L. Tjahjadi
Pribadi Romo Antonius Benny Susetyo, imam praja Keuskupan Malang tahbisan 3 Okt 1996, yang biasa dipanggil “Romo Benny” ini, telah melejit bak shooting star. Ia sering tampil di TV dan aneka medsos sosial, tulisannya dimuat di banyak surat kabar, sedangkan seminar-seminarnya mempunyai tema dengan spektrum luas, mulai dari soal agama, lingkungan hidup, pendidikan, budaya hingga soal-soal peka dalam bidang sosial-politik, misalnya soal HAM dan kritik atas Pemerintah. Kemungkinan besar ada kaitannya dengan dua tema yang disebut terakhir ini, pada 11 Agustus 2008 Benny pernah dikeroyok dan digebuki oleh tiga orang tak dikenal yang kemudian lari setelah merenggut HP dari kantongnya, lengkap dengan data-data di dalamnya.
Awal di Situbondo
Apa pasalnya, hingga anak Malang kelahiran 10 Oktober 1968 ini menjadi tempat rujukan banyak orang, kadang bukan tanpa kontroversi? Latar belakangnya berawal di tahun 1996, saat Benny mendapat tugas baru sebagai pastor di paroki Situbondo, Jawa Timur. Sepekan sebelumnya, terjadi kerusuhan hebat di kota santri ini. Sedikitnya selusin gereja dibakar habis, termasuk Gereja Katolik Situbondo. Benny ditugaskan ke sana untuk “ membangun persaudaraan sejati” dengan para tokoh dan saudara di Situbondo dan Bondowoso.
Sejak itulah pergumulan sosial-politik Benny kian mendalam. Dia punya banyak pengalaman baru bertemu dengan para kiai, berkunjung ke pesantren, hingga menggelar sejumlah acara bersama. Posisinya sebagai pastor Situbondo memberikan nilai tambah berupa keluasan dan keleluasaan bergaul dengan banyak tokoh masyarakat di kota kecil itu. Benny diundang ke mana-mana untuk diminta bicara tentang refleksi dan pandangannya atas kasus Situbondo dan soal-soal sosial-politik era Orde Baru. Gaya bicaranya yang jawa-timuran (blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling, namun tulus-terbuka) membuat dirinya diterima oleh para tokoh lintas agama di sana, khususnya aktivis muslim dan pemuka Islam. Ketua Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU) waktu itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun menjadi sahabat dekat Rm. Benny.
Begitu juga KH Hasyim Muzadi, KH Ali Maschan Moesa, KH Said Aqil Siradj hingga Ulil Abshar-Abdalla. Dulu, sebelum reformasi 1998, Gus Dur selalu mengajak Benny untuk diskusi atau ceramah di pesantren atau komunitas Islam. Sebaliknya, Gus Dur pun mampir, makan siang atau makan malam, di Pastoran Situbondo. Setiap Lebaran Benny Susetyo bersama sejumlah rohaniawan Katolik, Protestan, serta Konghuchu bersilaturahmi ke rumah-rumah para tokoh Islam.
Semua yang dialami dan direfleksikan itu kemudian dijadikan bahan tulisan olehnya. Adapun sang mentor yang dahulu menyemangati Benny untuk biasa menuliskan pikirannya adalah Rm. Mangunwijaya sendiri. ” Saya diimbau oleh Romo Mangunwijaya agar membuat tulisan tentang apa yang saya alami di Situbondo, ” kenang Benny atas pastor praja multitalenta yang dikaguminya itu. Pada tulisannya orang menemukan jejak-jejak pemikiran humanisme Mangunwijaya juga.
Duabelas Tahun di KWI
2002 hingga November 2013 Benny ditugaskan pada Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), paguyuban para Uskup se-Indonesia, sebagai sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK). Sekali lagi posisi ini memungkinkan ia bergerak ke mana-mana dan membentuk aneka jejaring yang menembus sekat-sekat agama, kepercayaan, serta latar belakang lainnya. Karya khusus ini ia tekuni dengan setia. “ Yah, saya mendapat penugasan sebagai pastor bidang kategorial. Tidak mengurusi umat di gereja lagi. Saya berusaha melaksanakan itu dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Begitu misalnya, searah dengan dengan perhatian KWI pada tahun 2008 tentang lingkungan hidup, khususnya pengelolaan sampah, Benny pernah berkata, soal ekologi kini sudah menjadi masalah bersama yang memerlukan langkah politik yang berkelanjutan. ” Jangan lupa, kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang lebih disebabkan oleh budaya serakah,” sebutnya. Mengapa keserakahan terjadi? Mengapa perusahaan-perusahaan raksasa menggunduli hutan dan mengeksploitasi alam untuk pertambangan? Ini semua, kata Benny, hanya bisa distop oleh para penyelenggara negara yang punya moral dan hati nurani. ” Selama masih ada korupsi, izin bisa dibeli, politik masih transaksional, maka kehidupan akan rusak. Dan itu merupakan dosa sosial yang sangat berat,” katanya.
Di sini repotnya. Sudah sejak 1998 Reformasi dicanangkan, namun korupsi dan politik duit tetap saja berjalan. Benny mengaku harapannya pada gerakan Reformasi yang sudah berlangsung selama ini telah pupus. Reformasi bukannya membawa kebaikan, tapi justru menimbulkan persoalan baru yang tak kalah kompleks. ” Sekarang kan bukan reformasi, tapi repot-nasi. Sejak awal reformasi mempunyai musuh bersama yakni Pak Harto dan para kroninya – semua terlibat dalam KKN. Para mahasiswa memang telah menjatuhkan Pak Harto. Namun orang-orang Orba telah membajak Reformasi dan berkuasa sampai hari ini,- lewat KKN lagi yang dahulu mau diganyang oleh mahasiswa!” ujar Benny dengan aksen Malangnya.
Benny juga prihatin dengan partai-partai politik yang sama sekali tidak punya ideologi. Api idealisme perjuangan untuk rakyat tidak ada. ” Ironis, partai tidak membina kader sehingga punya akar. Ideologinya, ya, hanya cari uang, posisi lewat menjilat Penguasa.” Menurut Benny, ” Kita perlu pemimpin yang memilik wawasan kebudayaan., pemimpin yang mampu membawa kita keluar dari sistem feodalisme Asal Bapak Senang ke sistem yang egaliter,” urainya. Apakah ada pemimpin macam itu? ” Jelas ada lah. Orang Indonesia kan ratusan juta,” katanya diplomatis. Benny enggan menyebut nama, namun ia mengagumi almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. ” Beliau memberikan harta miliknya untuk RI tanpa mau jasanya dicatat. Takhtanya benar-benar untuk rakyat,” ujarnya memuji mantan wakil presiden RI serta raja Kraton Jogjakarta itu.
Menjadi Penulis
Di sela-sela kesibukannya sebagai pastor, Romo Benny Susetyo selalu menyempatkan waktu untuk menulis. Setiap bulan kira-kira ada empat tulisannya tersebar di pelbagai koran berkelas, Benny sendiri mengaku, menulis itu sudah menjadi kebiasaannya sejak masih mahasiswa pada masa studi filsafatnya dahulu di Malang. “ Menulis itu kan pergumulan. Selama kita masih bergumul dengan berbagai masalah, ya, selalu akan ada tulisan-tulisan saya yang lahir,” tutur imam yang tulisannya tentang “Revolusi Mental” (Sindo, 10 Mei 2014) ini pernah membuat dirinya dikira sebagai aktor intelektual dalam program Gubernur DKI, Joko Widodo yang juga menulis tentang “Revolusi Mental” (Kompas juga 10 Mei 2014) dalam rangka pencalonan kepresidenannya saat itu.
Benny memang penulis artikel yang sangat produktif. Banyak rekannya yang adalah aktivis dan tokoh gerakan Islam telah meminta agar artikel-artikel tersebut dibukukan. Alhasil, hingga kini Benny sudah merilis sekitar 20 buku, belum termasuk artikel. ” Saya sendiri malah sudah tidak ingat persis judulnya apa saja, ” paparnya. Dapat banyak royalti dong? “Royalti opo? Kalaupun ada yang dapat ya teman-teman yang menerbitkan. Dananya untuk gerakan, pemberdayaan, membangun jaringan, dan sebagainya. Aku sendiri malah nggak ngurus royalti”., celotehnya.
Tiba-tiba
Tanpa ada angin apalagi badai, tiba-tiba 19 Desember 2023 datang surat dari ordinariat Keuskupan Malang, asal Romo Benny. Surat itu menyatakan, Romo Benny telah keluar sebagai pastor Keuskupan Malang atas dasar “ permohonan pengunduran dirinya” sendiri. Sontak banyak orang bertanya mengapa? Apakah ini berhubungan dengan kiprah R. Benny yang banyak bersentuhan dengan dunia politik-praktis? Sebagai informasi, semua rohaniwan Katolik memang dilarang Paus untuk terlibat pada politik praktis a.l. lantaran sebagai imam ia harus menjadi pemersatu semua golongan, tanpa memandang pernedaan orientasi partai umatnya.
Tapi isu ini tidak kena. Sebab politik praktis dalam Gereja Katolik berarti memanfaatkan jabatan pastornya dan melakukan segala ikhtiar untuk memobilisasi masyarakat guna memperoleh jabatan atau tahta/kuasa politik bagi dirinya. Benny tidak melakukan itu. “ Yang saya lakukan adalah menyampaikan suara profetis atau memberikan opini publik. Ini adalah bagian hak azasi manusia. Tidak bisa dilarang siapa pun.” Menurut Benny, hal sejak dahulu ia lakukan sebagai imam, bahkan mendapat dukungan dari Uskup Situmorang (Padang) dan Uskup Sutikno (Surabaya), dua Uskup yang dikatakan Benny mengerti panggilannya dalam bidangnya kini. Kedua Uskup itu kini sudah meninggal dunia.