WONOGIRI, Pena Katolik – Sehari-hari umat Katolik Jawa sering menyampaikan salam “berkah Dalem” ‘berkat Tuhan’ ketika berjumpa dengan seorang imam, atau berpapasan dengan umat lain. Namun, adakah yang tahu, bagaimana asal muasal salam ini?
Adalah Romo Soetapanitra SJ yang pertama kali menjadi imam yang mencetuskan salam “berkah Dalem” ini.
“Itu khas orisinil dari Romo Soetapanitra SJ,” kata Romo F. X. Mudjisutrisno SJ dalam tulisannya di Sesawi.net.
Salam sederhana namun bermakna mendalam ini nyatanya berlandas satu pemahaman teologi dan rohani yang mendalam. Sejarahnya dan kisahnya didapat ketika Romo Soeta belajar teologi di Belanda.
Di Belanda, orang biasa menyampaikan salam kepada sesamanya, “selamat pagi, siang, malam. Salam ini erat dengan situasi musim di Belanda. Berbeda dengan Indonesia, belanda mengenal empat musim, namun di Indonesia, hanya ada musim hujan dan panas.
Sepanjang tahun, Indonesia diselimuti sinar matahari yang menjadi sumber energi untuk seluruh ciptaan.
“Lalu, saat sudah menekuni status imamatnya sebagai pastor di alam pedusun Jawa, maka beliau lalu bertanya pada diri sendiri: “Indonesia ini kan tidak mengenal empat jenis musim, dan melimpah surya matahari dari terbit sampai terbenamnya. Nah, bukankah ini seluruh berkah Sang Pencipta untuk Indonesia.”
Dari sinilah, Romo Soeta kemudian berpikir kira-kira apa ungkapan yang dekat, yang dapat menjadi ungkapan syukur bagi umat Katolik di Jawa. Di sinilah lahir salam “berkah Dalem”.
“Maka salam syukurnya, ya mensyukuri ‘Berkah Dalem’ (Berkah -dari- Tuhan itu) sebagai gantinya untuk ucapan selamat pagi dan seterusnya.”
Pelajaran Kemuridan
Romo Mudji menceritakan kebersamaannya dengan sosok Romo Soetapanitra dan Romo Anton Mulder SJ, ketia ia berjumpa kedua imam sepuh itu di Paroki St. Yohanes Wonogiri. Salah satu yang mengagumkan dari Romo Soeta adalah bahwa ia sangat menghidupi inkulturasi liturgi Misa. Khususnya pengembangan Gendhing Jawa dalam Misa. Ia juga mengadakan “nanggap wayang kulit” di gereja, tiap ada acara penting.
Ketika Romo Mudji sempat bertugas di Paroki Wonogiri tahun 1983-1984, sudah ada beberapa stasi yang memiliki gamelan untuk pengiring Misa. Saat itu, sudah ada empat atau lima stasi yang memiliki gamelan lengkap termasuk penabuh yang bisa memainkan lagu liturgi berbahasa Jawa.
Romo Soeta mengadakan perlombaan gamelan jawa antar stasi. Pemenangnya akan ditunjuk untuk mengiringi Misa Gereja St. Yohanes Rasul Wonogiri saat Natal dan Paskah pagi. Saat itu dilakukan Misa berbahasa Jawa dengan iringan gamelan. Keseluruhan liturgi sangat bernuansa Jawa dan para prodiakon serta romonya memakai pakaian Jawa.
Sekali waktu, di satu stasidusun, ada warga yang fanatik sekali. Mereka tak suka, Romo Soeta ke sana. Romo Mudji menceritakan apa yang dilakukan Romo Soeto.
“Wooi, ajaib, beliau berkunjung atau ‘bertamu’ ke yang bersangkutan dengan datang ke rumahnya,” ujar Romo Mudji.
Romo Soeto berusaha beberapa kali untuk silaturahmi. Namun, orang itu selalu tidak ada di rumah. Barangkali, sudah ada ‘pembisik’, kalau romo Soeta akan datang bertamu.
Berhadapan dengan situasi ini, Romo Soeta nyatanya “lebih pintar”. Satu hari, ia ‘tongkrongi’ rumah orang itu. Ia sengaja tetap menunggu terus di rumah itu, sampai tuan rumah pulang. Sampai malam, Romo Soeto tidak pulang juga.
“Akhirnya yang lebih ‘sabar menunggu’ (bukan nama rumah makan) adalah Romo Soeta,” ujar cerita Romo Mudji.
Sejak saat itu, relasi keduanya cair dan selalu saling sapa. Romo Mudji mengatakan, inilah strategi atau siasat khas Jawa Romo Soeta. Ia menghadapi sikap “tak bersahabat” orang lain.