Sabtu, Oktober 12, 2024
28.3 C
Jakarta

Kisah Romo Catur yang Membangun Musala Sebagai Wujud Toleransi di Banyuwangi

Romo Tiburtius Catur Wibawa mendirikan mushala di Griya Ekologi Kelir di Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dok. Pribadi

BANYUWANGI, Pena Katolik – Satu hari, pengunjung di Griya Ekologi Kelir (GEK) bertanya, di manakah ia dapat menunaikan salat di lokasi pusat pendidikan ekologi itu. Akhirnya, karena saat itu belum ada tempat khusus, mereka pun salat di sebuah ruangan.

Namun, pada kesempatan lain, selalu saja ada pengunjung GEK yang menanyakan di mana mereka dapat menunaikan salat. Hal inilah, yang kemudian mendorong Romo Tiburtius Catur Wibawa untuk membangun sebuah musala di lokasi GEK.

GEK adalah pusat pembelajaran ekologi yang dikelola oleh SMA Katolik Hikmah Mandala, Banyuwangi. Lokasinya kurang lebih 10 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi.

Musala Bergaya Osing

Musala yang ada di GEK dibangun dengan gaya arsitektur bergaya Osing. Sederhana dengan ukuran tiga kali empat meter, musala ini cukup nyaman dan teduh dipakai untuk menunaikan salat, meski cuaca di siang hari cukup panas.

“Karena melihat hal itu dan kebutuhan untuk salat maka saya punya ide untuk menyediakan tempat bagi mereka yang ingin salat supaya salat lebih nyaman dan tenang,” ujar Romo Catur.

Sebagai pusat pembelajaran ekologi, GEK mengedepankan nilai-nilai universal dan teleransi. Romo Catur menjelaskan, bangunan musala itu juga sebagai wujud rasa toleransi beragama yang harus diciptakan di manapun berada.

Banyak pengunjung GEK berasal dari berbagai agama, terutama Islam. Ada banyak kegiatan oleh kelompok-kelompok berlatar belakang Islam yang menggunakan tempat itu untuk berbagai kegiatan.

“Tempat ini memang kita bangun untuk bertolenasi antar umat beragama. Karena toleransi itu sangat indah. Sehingga wujud toleransi di tempat ini salah satunya membangun musalah ini,” kata Romo Catur.

Menurut Romo Catur, beribadah tidak hanya dengan berdoa, baik di gereja untuk orang Kristen, dan maupun musala saja untuk umat Muslim. Menudutnya, menjaga dan melestarikan lingkungan juga merupakan wujud dari imadah. Ia mencontohkan, mengurangi pemakaian bahan sekali pakai, yang terbuat dari plastic, juga bisa dikatakan bentuk lain dari ibadah.

“Berbiadah itu tidah harus kita datang ke gereja atau datang ke masjid bagi umat muslim. Tapi juga dengan melestarikan lingkungan,” kata Romo Catur.

Terkait GEK, Romo Catur membuka bagi siapa saja untuk berkegiatan di tempat ini, baik dari umat Islam, Hindu, Budha, Kristen, Konghucu, dan Katolik. Di tempat ini, setiap orang diundang untuk menjaga toleransi beragama.

“Gria Ekologi Kelir ini bebas digunakan untuk siapa saja asalkan itu kegaiatan yang positif. entah itu dari saudara kita yang muslim, kristen, hindu maupun budha silahkan. Tapi tetap menjaga kebersihan lingkungan,” pungkas Romo Catur.

Proses pembangunan musala di GEK. Dok GEK

Sambutan dari Umat Muslim

Musala yang dibangun di lokasi GEK nyatanya disambut baik dan diapresiasi dari berbagai kalangan. Salah satunya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banyuwangi yang sejak awal mendukung pembangunan musala ini. Sementara itu, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Kabupaten Banyuwangi, memandang keberadaaan musala yang dibangun oleh seseoarang pastur ini menunjukkan Banyuwangi sangat toleran antarumat beragama.

Ketua FKUB Banyuwangi, KH Muhammad Yamin mengatakan, salat di mana saja bisa. Ia melihat bahwa di GEK ada banyak pengunjung dari berbagai kalangan agama, jadi tidak ada salahnya kalau dibangun musala. Ia tidak mempermasalahkan jika nantinya musala yang ada di GEK ada juga tempat ibadah pemeluk agama lainya.

“Salat dimana saja bisa asalkan suci, jika di tempat itu ada musala wajar karena itu bagian dari fasilitas usaha. Di hotel dan restoran juga ada musala,” kata Kiai Yamin.

Ketua Tanfizia PC NU Banyuwangi, KH Ali Makki Zaini mengatakan, siapa saja bisa membangun musala atau masjid, asal memenuhi persyaratan. Gus Maki mengatakan, membangun musala tidak pernah disebutkan harus oleh orang muslim.

Gus Maki mengatakan, dari ilmu fiqih tidak ada permasalahan jika pembangunan musala dan masjid dilakukan oleh orang non muslim. Ia menyebutkan, di tempat lain sudah banyak contohnya masjid dibangun oleh orang non muslim.

“Seperti di Negara Palestina hampir seluruh masjid yang ada di negara tersebut awalnya dibanguna oleh orang Yahudi,” tambah Gus Maki.

Edukasi Ekologi

Di tempat ini pihak pengelola, menerapkan konsep ramah lingkungan. Sehingga setiap masyarakat yang mengadakan kegiatan, tidak boleh menggunakan tempat makanan dan minuman dari plastik yang sekali pakai. Hal ini untuk mengurangi sampah palstik di Banyuwangi.

“Kalau berakitan dengan ekologi kami minimalkan menggunakan sampah plastik, menggunkan plastik sekali pakai untuk mengurangi sampah plastik, sehingga tidak ada botol atau gelas plastik yang kami sediakan,” tambah Romo Catur. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini