Home BERITA TERKINI Mengenang Romo Kees Bertens MSC, Begawan Etika Indonesia dan Kisah Nilai Minus...

Mengenang Romo Kees Bertens MSC, Begawan Etika Indonesia dan Kisah Nilai Minus untuk Mahasiswa

0

JAKARTA, Pena Katolik – Kabar duka datang dari Kongregasi Misionaris Hati Kudus (MSC) Indonesia, Romo Kees Bertens MSC (88) tutup usia di Rumah Sakit Carolus Jakarta Jumat malam 19 Juli 2024. . Romo Bertens adalah Guru Besar Emeritus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Romo Bertens dimakamkan hari ini, 22 Juli 2024 di Sandiego Hills, Kerawang, Jawa Barat.

Romo Bertens lahir di Tilburg, Belanda, pada 29 Juni 1936. Ia ditahbiskan sebagai imam dalam Tarekat Misionaris Hati Kudus pada 1960. Gelar doktor filsafat diperolehnya dari Universitas Leuven, Belgia pada 1968. Saat itu, ia menulis disertasi tentang Malebranche.

Sejak 1968, setelah lulus, Romo Bertens diutus berkarya di bidang pendidikan para calon imam di Sekolah Tinggi Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Romo Bertens kemudian pindah dan berkarya di Jakarta pada pertengahan tahun 1970-an. Ia mengajar di STF Driyarkara dan kemudian menjadi dosen di Universitas Katolik Atma Jaya.

Romo Bertens juga mengajar filsafat di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, termasuk di STF Driyarkara. Ia menjadi dosen etika di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, sejak 1983. Ia juga aktif di Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya selain sangat menaruh perhatian pada bidang pendidikan di Indonesia.

Nilai Minus dari Romo Bertens

Salah satu cerita tentang pribadi Romo Bertens disampaikan Romo Simon Petrus Lili Tjahjadi. Selama mengajar di STF Driyarkara, Romo Bertens mengajar Etika, selain juga dikenal sebagai dosen Bahasa Inggris. Romo Simon sendiri tidak sempat bertemu dengan Romo Bertens karena ia sudah pindah ke Unika Atma Jaya ketika Romo Simon mulai kuliah di STF Driyarkara.

Dari cerita kanan kiri, Romo Simon terkesan ketika Romo Bertens mengajar Bahasa Inggris. Ada cerita unik, di kelas bahasa Inggris ini, mahasiswa bisa mendapat nilai minus. Hal ini bisa terjadi, karena di kelas Romo Bertens pertanyaan ujiannya lebih dari 10, padahal nilai tertinggi 10. Jadi, kalau ada mahasiswa melakukan 12 kesalahan, maka dia akan memperoleh nilai -2 (minus dua).

Di ujian itu, mahasiswa harus menerjemahkan satu halaman teks bahasa Inggris. Jika dalam penerjemahan, ada satu kata saja yang diterjemahkan secara salah atau tidak tepat, maka nilai 10 akan dikurangi 1. Begitu seterusnya.

Di kelas Romo Bertens, mahasiswa dituntut akurasi dalam mengerjakan terjemahan. Pada akhirnya, misalnya mahasiswa mendapatkan nilai 2 saja, maka takaran itu bisa jadi sudah bagus. Karena, nilai teman-teman lain adalah -3, – 10. Romo Simon bercerita, bagaimana Romo Bertens bisa melakukan konversi hasil penilaian ini ke dalam sistem penilaian konvensional (A hingga E), tidak pernah diketahui.

Romo Bertens adalah kelompok misionaris MSC asal Belanda yang terakhir datang untuk berkarya di Indonesia. Dengan kepergiannya, ia menutup buku sejarah Misionaris MSC dari Belanda di Indonesia yang dimulai sejak 1902.

“Tidak boleh ada ruang bagi keraguan: Dengan segudang buah karyanya dalam aneka tulisan, beliau termasuk ahli filsafat paling bermutu di Indonesia yang tulisannya bisa diandalkan untuk memperoleh pengetahuan filosofis yang akurat,” begitu salah satu kesan dari Romo Simon untuk Romo Bertens.

Pada bidang filsafat, Romo Bertens adalah tempat konsultasi untuk bidang Etika, lebih khusus lagi soal Etika Kedokteran dan Etika Bisnis. Sama seperti matahari yang terbit pagi dan akhirnya meredup di senja hari, maka begitulah kehidupan almarhum Romo Bertens MSC itu berjalan biasa. Tapi dalam “kebiasaan” itu, ia memberi pencerahan dan vitalitas kepada semua orang. Melalui aktivitasnya.

“Sama seperti matahari yang terbit pagi dan akhirnya meredup di senja hari, maka begitulah kehidupan almarhum Romo Bertens MSC itu berjalan biasa. Tapi dalam kebiasaan itu, ia memberi pencerahan dan vitalitas kepada semua orang. Melalui aktivitasnya. Matahari tak pernah hidup demi diri sendiri.

Pribadi yang Tepat Waktu

Satu kesan yang ditangkap dari salah seorang muridnya, Romo Bertens adalah pribadi yang tepat waktu. Ia selalu makan siang pada jam yang sama, jam 12.00 WIB. Biasanya, ia makan di salah satu ruang kerja di Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya. Ruang berbentuk ruang sekat-sekat itu memang nyaman bagi setiap dosen sekaligus peneliti di bidang Filsafat. Hanya saat menerima tamu almarhum Romo Kees Bertens, MSC melayani tamu di Ruang Direktur.

Jam datang Romo Bertens juga selalu sama. Ia datang sebelum jam 07.00 pagi. Ia pulang jam 15.00. Saat itu ia tinggal di Biara MSC di Kemakmuran.

Di sela-sela aktivitasnya mengajar, Romo Bertens masih meluangkan waktu untuk melayani Misa di di paroki-paroki di Jakarta pada hari Sabtu atau Minggu. Ia sesekali meluangkan waktu olah raga renang.

Romo Bertens adalah pendidik sejati. Salah satu wujud kecintaannya adalah berdirinya Yayasan Samaritan.

Romo Bertens dan DUIT

Rektor Unika Atma Jaya Prof Yuda Turana mengatakan, Kees Bertens merupakan figur akademik yang inspiratif dengan kepakaran di bidang etika.

“Kita kehilangan seorang tokoh guru besar etika, tidak hanya dalam konteks keilmuan, tetapi juga mengimplementasikannya dalam setiap napas kemanusiaan,” ujarnya, Sabtu 20 Juli 2024.

Yuda menyampaikan, Kees Bertens secara gigih dan konsisten selalu berusaha mencari beasiswa bagi para mahasiswa, khususnya mahasiswa kedokteran dari Indonesia timur. Ia juga mendampingi mahasiswa penerima beasiswa tersebut.

Romo Bertens merupakan penggagas beasiswa Dokter untuk Indonesia Timur (DUIT). Beasiswa ini bertujuan untuk memfasilitasi putra-putri terbaik dari kawasan Indonesia timur untuk menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Unika Atma Jaya.

Agar bisa mengirim sebanyak-banyaknya mahasiswa untuk belajar di bidang kesehatan. Romo Bertens mendapat dana dari Misereor untuk mahasiswa dari NTT dan Papua. Dengan dana ini, Romo Bertens mengirim mahasiswa dari Indonesia Timur untuk belajar di Fakultas Kedokteran Atma Jaya Jakarta.

Dalam program ini, mahasiswa tidak hanya diberi beasiswa. Selama kuliah, mereka didampingi secara personal, sehingga bisa beradaptasi dengan tuntutan FKIK Unika Atma Jaya yang dikenal bagus dan berat. Setelah lulus, dokter baru ini harus kembali ke daerahnya dan melayani di bidang kesehatan di sana.

Dunia Etika Indonesia

Romo F.X. Armada Riyanto CM mengakui kontribusi Romo Bertens dalam bidang Etika Terapan dan Sejarah Filsafat Barat untuk Indonesia. Ia mengakuir, penguasaan “ber-bahasa Indonesia” Romo Bertens melampaui orang-orang Indonesia.

“Bila Anda ingin mengenal secara benar sejarah filsafat dalam bahasa Indonesia, tetapi Anda tidak membaca buku bukunya, hampir bisa dipastikan Anda akan terjebak dalam diksi-diksi filosofis yang rancu,” ujar Romo Armada tentang Romo Bertens.

Salah satu yang dikenang dari Romo Bertens adalah usahanya mengalihkan terminologi-terminologi dan skema-skema berpikir filosofis dari konteks Barat ke “rumah kita” (Indonesia). Untuk bisa melakukan hal ini, diperlukan pengenalan bahasa-bahasa terkait yang mumpuni. Dalam hal ini, Romo Bertens berhasil memfasilitasi dalam cara yang mengesankan.

Dengan adanya Rom Bertens, Pusat Etika Atma Jaya menjadi salah satu “mercusuar” perwujudannya. Semoga “mercusuar” itu tetap bernyala dan tetap guiding bagi kapal bangsa Indonesia. Dari sini kemudian lahir Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI) yang diakui sebagai buah persahabatan dan kolaborasinya yang indah dan tekun bersama banyak tokoh Etika Indonesia seperti Romo Franz Magnis-Suseno Su, Romo Reksosusilo CM, almarhum Prof. Aloys Agus Nugroho, dan banyak sahabat.

Di sini terlihat Romo Bertens memiliki ketekunan dan kedalaman tiada duanya dalam mengurai sejarah filsafat dan etika bisnis.

“Dalam hal komprehensibilitas dan kedalaman, bukunya tentang etika bisnis (Etika Terapan) juga Sejarah Filsafat sulit dicari kembarannya dalam bahasa Indonesia) Filosof yang ramah, menyapa, berdialog, kolaboratif (saya ngajar tandem dengan beliau dalam mengajar Etika Bisnis di Pasca Widya Mandala untuk banyak tahun sampai beliau tidak bisa lagi ke Surabaya), menumbuhkan, mencarikan scholarship dan menghubungkan murid-muridnya dengan lembaga lembaga yang kelak bisa mengembangkan kapasitas dan karir filosofis mereka,” ujar Romo Armada.

Perjuangan Humaniora

Selama hidupnya, Romo Bertens menulis sejumlah buku, di antaranya Etika (Gramedia, 1993), Membahas Kasus Etika Kedokteran (Grasindo, 1996), Pengantar Etika Bisnis (Kanisius, 2000), Perspektif Etika (Kanisius, 2001), Keprihatinan Moral (Kanisius, 2003), Sketsa-sketsa Moral (Kanisius, 2004), dan Metode Belajar untuk Mahasiswa (Gramedia, 2005). Pemikirannya juga banyak dimuat di media massa.

Menurut Kees Bertens, posisi humaniora di Indonesia masih lemah. Hal ini karena infrastruktur akademis untuk mendukung bidang ini masih sangat lemah. Ketika universitas memberi prioritas mutlak kepada pengembangan ilmu dan teknologi, berbanding terbalik untuk fakultas yang berkecimpung di bidang humaniora.

Hal ini terlihat, ketika di saat SMA, jurusan IPA dianggap identik dengan siswa yang berbakat,s sebaliknya siswa yang masuk jurusan IPS. Di sinilah, Romo Bertens melihat perjuangan untuk memajukan humaniora menjadi lebih berat lagi di Indonesia.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version