PONTIANAK, Pena Katolik | Selasa 09 Juli 2024 – Mendengar kata TBC dikalangan masyarakat tidak asing lagi.
Ada yang sesuai dengan terjadinya, ada yang memiliki pengertian pengkaburan, mengunakan istilah. Penyebutan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Sebagai contoh TBC adalah penyakit keturunan, mengapa disebut demikian karena penderita tinggal dalam satu rumah mulai dari kakek, anak dan cucunya menderita penyakit yang sama. Padahal penyakit ini sangat menular terutama dengan orang sekitar.
Dari sudut pandang lainnya TBC juga disebut sebagai penyakit kutukan dikarenakan dalam satu rumah beberapa anggota keluarga ada yang menderita TBC secara kronologis terpapar ayah atau ibunya selanjutnya anak sampai dengan anak cucu.
Sehingga dari hal tersebut orang yang menderita TBC merupakan aib bagi keluarga tersebut. Padahal penyakit TBC disebabkan oleh kuman yang ditularkan melalui batuk atau percikan dahak yang disebut dengan istilah droplet infection.
Sebagian lagi masyarakat juga menyebut penyakit TBC itu penyakit paru-paru basah (ada plek di paru-paru).
Disebutkan demikian karena pihak petugas kesehatan mengatakan hasil pemeriksaan foto torak dan agar penderita dan keluarga merasa tidak takut dan merasa tertuduh terkena penyakit keturunan atau kutukan.
Sehingga TBC memiliki arti yang bukan sebenarnya. Padahal penyakit tersebut, penyakit yang sangat menular dan perlu dicegah agar tidak tertular.
Ada juga masyarakat mengenalnya dengan sebutan Koch Pulmonal (KP) atau Tuberkulosis. Penyebutan ini di masyarakat luas tanpa pemahaman yang jelas apa sebenarnya penyakit TBC tersebut.
Faktor lain: punya peran
Pemahaman dan pengertian yang kurang baik dan keliru yang ada dan diterima oleh masyarakat perlu mendapat perhatian oleh tenaga kesehatan. Oleh sebab itu sebelum mendapat perawatan dan pengobatan perlu di skrining dan divalidasi tentang pengetahuan penyakit TBC.
Ini adalah salah satu faktor kegagalan dalam perawatan dan pengobatan TBC akibat kurangnya pengetahuan, faktor lainnya seperti tingkat pendidikan, nutrisi, keteraturan minum obat, sistem support, fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan juga memiliki peran terjadinya kegagalan dalam perawatan dan pengobatan.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan edukasi yang baik dan benar. Beberapa hasil penelitian melalui diskusi kelompok kecil meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga penderita TBC dalam mencegah kegagalan perawatan dan pengobatan (Usu Sius, 2007 tidak dipublikasikan).
Dalam rangka meningkatkan kepedulian terhadap pencegahan dan penanggulangan TBC di Indonesia, mari kita mereview kembali penyakit TBC dan kegagalannya yang telah di programkan oleh pemerintah.
Penyakit TBC merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis, melalui batuk atau percikan dahak dari penderita. TBC tidak hanya menyerang organ paru, semua organ tubuh manusia menjadi tempat berkembangnya, tergantung dari imunitas tubuh seseorang tersebut. Bisa terjadi pada tulang, usus, otak, kelenjar dan organ tubuh lainnya.
Disiplin pemeriksaan
Adapun keluhan penderita batuk berdahak atau kering lebih dari 3 minggu, penurunan berat badan, keringat di malam hari terutama subuh, nafsu makan berkurang, jika keluhan bertambah parah bisa menimbulkan sesak napas, batuk berdarah.
Untuk memastikan apakah terdapat kuman TBC maka perlu dilakukan skrining, yaitu anamnesis dengan mewawancara penderita dan keluarga terkait keluhan, pemeriksaan dahak, tes tuberkulin, dan foto torak/dada. Saat ini untuk mempercepat deteksi dini TBC dengan pemeriksaan mesin tes cepat molekuler (TCM).
Setelah terdiagnosa penderita mendapat akses pengobatan yang telah distandarkan baik obat maupun waktunya.
Obat anti TBC akan diberikan berdasarkan usia, kasus baru, kasus kambuh, gagal. Dalam perawatan dan pengobatan yang ditekankan adalah keteraraturan waktu minum obat, disiplin, serta evaluasi pemeriksaan ulang.
Keberhasilan dapat ditentukan oleh berkurangnya keluhan seperti batuk, sesak napas, meningkatnya nafsu makan dan penambahan berat badan. Beberapa penelitian kegagalan sering terjadi pada tahap awal pengobatan Apa saja yang terjadi?
Penderita merasa sembuh karena tidak ada keluhan batuk sehingga berhenti minum obat (droup out), padahal minum obat tidak boleh satu haripun terlewatkan karena adanya sifat kuman yang tertidur. Selain itu faktor bosan minum obat, putus asa karena keluhan masih ada dan bahkan bertambah seperti mual, muntah.
Ketakutan akibat air seni berubah warna merah setelah minum obat, sklera mata kuning serta masalah ekonomi terkait bolak balik ke fasilitas kesehatan dan ini merupakan factor lain yang menyebabkan kegagalan minum obat.
Peran tenaga keperawatan
Indonesia dengan jumlah kasus terbanyak nomor dua secara global, setelah negara India.
Tinggi nya kasus TBC perlu adanya tindakan pencegahan dengan terus menerapakan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), makan makanan yang bergizi, serta menjaga diri dan kelurga dari TBC.
Selain itu lingkungan tempat tinggal penderita mendapat perhatian tetap terjaga sirkulasi udara dan paparan sinar matahari dikamar, mengunakan masker, membuang dahak tidak sembarangan kaleng berisi desinfekan/air sabun atau ke toilet, menjemur tempat tidur 2-3 kali seminggu dan dua minggu pertama minum obat penderita masih menjadi sumber penularan sehingga orang sekitar tetap menjaga jarak tetapi bukan menjauhi.
Orang serumah dengan penderita dilakukan skrining dan pemeriksaan. Hal ini dilakukan agar proses perawatan dan pengobatan bagi penderita seiring sejalan dan tidak terjadi siklus berulang terjadinya penyakit TBC pada orang tersebut..
Pendidikan kesehatan yang benar dan tepat merupakan salah satu kunci faktor pencegahan kegagalan dalam perawatan dan pencegahan bagi penderita TBC dan kelaurga, karena pengertian dan pemahaman yang baik dan benar melalui proses pengolahan informasi yang didapat. Peran tenaga kesehatan seperti perawat, dokter, dan lainnya sangat dibutuhkan.
Dengan menjalankan dan melakukan tahapan perawatan dan pengobatan, kegagalan TBC yang terjadi dapat terhindar sehingga harapan kita bersama tingginya keberhasilan pengobatan dan pencegahan penularan terhadap kasus baru tercapai serta angka kesakitan dan kematian dapat diturunkan.
By. Ns. Usu Sius, S.Kep, M.Biomed (Staf Dosen Prodi DIII Keperawatan | Fakultas Kesehatan) Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo.