VATIKAN, Pena Katolik – Meskipun terdapat beberapa orang suci di Afrika, yang merupakan bagian dari bekas Kekaisaran Romawi, namun dengan kemartiran St. Charles Lwanga, ada arti istimewa bagi Afrika. St Charles Lwanga adalah seorang yang pindah agama ke dalam Gereja Katolik pada akhir abad ke-19. Ia terinspirasi oleh teladan dan ajaran misionaris Katolik di Afrika (White Fathers).
St. Charles Lwanga dan rekan-rekannya menjadi martir pada pemerintahan Raja Mwanga II, yang memerintah di Buganda yang saat ini masuk dalam wilayah Uganda. Ia memaksa St. Charles Lwanga dan teman-temannya untuk meninggalkan iman Kristiani mereka.
Mereka semua menolak. Atas tindakan ini, Raja Mwanga II mengirim St. Charles Lwanga dan rekan-rekannya untuk dibakar sampai mati di Namugongo pada tanggal 3 Juni 1886.
Ketika mengunjungi Afrika pada tahun 1993, St. Yohanes Paulus II menunjuk para Martir Uganda sebagai mercusuar bagi seluruh benua. St. Yohanes Paulus II mengakui bahwa para Martir Uganda menjadi terang di dalam Tuhan, dan menyebutkan kalau pengorbanan mereka mempercepat kelahiran kembali Gereja di Afrika.
“Di zaman kita sekarang, seluruh Afrika dipanggil kepada terang Kristus. Afrika dipanggil kembali untuk menemukan jati dirinya yang sebenarnya dalam terang iman kepada Anak Allah. Semua yang benar-benar Afrika, semua yang benar dan baik serta mulia dalam tradisi dan budaya Afrika, dimaksudkan untuk menemukan kegenapannya di dalam Kristus,” pesan St. Yohanes Paulus II.
Para Martir Uganda menunjukkan hal ini dengan jelas. Mereka adalah orang Afrika yang paling sejati, pewaris yang layak atas kebajikan nenek moyang mereka. Dengan memeluk Yesus Kristus, mereka membuka pintu iman kepada bangsanya sendiri (lih. Kis 14:27), sehingga kemuliaan Tuhan dapat bersinar di Uganda, di Afrika.
St. Yohanes Paulus II kemudian menyebutkan bagaimana Afrika, khususnya Uganda, masih membutuhkan cahaya ini, untuk menyinari banyaknya peperangan dan kekerasan yang menimpa masyarakat:
Berapa banyak orang Uganda yang membutuhkan terang Injil untuk menghilangkan kegelapan yang masih tersisa akibat kerusuhan sipil, kekerasan, dan ketakutan selama bertahun-tahun. Saat ini, Uganda berada di persimpangan jalan: rakyatnya membutuhkan garam firman Tuhan untuk mewujudkan nilai-nilai kejujuran, kebaikan, keadilan, kepedulian terhadap martabat orang lain. Berapa banyak saudara dan saudarimu yang masih belum bertemu Kristus. (AES)