33.8 C
Jakarta
Sunday, May 19, 2024

Seorang Wanita Kristen Arab Pertama Memimpin Universitas Haifa di Israel

BERITA LAIN

More
    Mouna Maroun orang Arab pertama yang terpilih menjadi rektor universitas di Israel, Universitas Haifa. Ia termasuk dalam minoritas Kristen di antara orang Arab. CNA

    HAIFA, Pena Katolik – Untuk pertama kalinya, seorang wanita Arab-Kristen terpilih menjadi rektor sebuah universitas di Israel. Mouna Maroun terpilih menjadi rektor di Universitas Haifa. Pengumuman penunjukan Profesor Maroun dilakukan pada 11 April di tengah ketegangan dengan Iran dan ketika protes anti-Israel meningkat di universitas-universitas di seluruh dunia.

    Maroun termasuk dalam minoritas Arab di Israel, minoritas Kristen di antara orang Arab, dan minoritas Maronit di antara orang Kristen. Sebelumnya, tidak ada orang Arab, Kristen, atau wanita lain yang pernah menduduki posisi rektor di Universitas Haifa sebelumnya.

    “Pemilihan saya adalah pesan penting bahwa segala sesuatu mungkin terjadi di dunia akademis Israel. Ini adalah pesan bagi minoritas Kristen bahwa kita berakar di sini, bahwa kita bisa sukses di sini; dan ini juga merupakan pesan bagi generasi muda Arab: Jika Anda mempunyai impian, Anda benar-benar dapat mewujudkannya dalam masyarakat Israel dan khususnya di universitas,” ujar Maroun, dalam sebuah wawancara dengan CNA.

    Profesor Mouna Maroun bersama orang tuanya pada hari kelulusannya pada tahun 2000. CNA

    Kampus di Gunung Karmel

    Universitas Haifa terletak di Gunung Karmel, sekitar enam mil dari Desa Isfiya, tempat Maroun dilahirkan. Kakek dan neneknya tiba di sini dari Lebanon pada awal abad ke-20. Orangtuanya saat itu setengah melek huruf, karena tidak ada sekolah untuk mereka pada saat itu. Namun, ia menceritakan, orangtuanya percaya bahwa hanya melalui pendidikan tinggi, keempat putri mereka dapat berhasil berintegrasi ke dalam masyarakat Israel.

    “Itu sebabnya mereka mendorong kami untuk melanjutkan studi,” ujar Maroun.

    Maroun juga menganut keyakinan itu. Masa kecilnya ia sangat aktif di gereja dan belajar, mengetahui bahwa hanya dengan belajar saya bisa sukses di Israel.

    Menjadi rektor, Maroun menempati posisi bergengsi di dunia akademis ini.

    “Saya selalu percaya bahwa emansipasi minoritas Arab di Israel dilakukan melalui pendidikan tinggi. Saya tidak percaya pada politik; saya percaya pada pendidikan tinggi.”

    Ketika Maroun tiba di universitas, dia tidak tahu satu kata pun dalam bahasa Ibrani. Arab dan Yahudi memiliki sistem pendidikan terpisah. Saat itu, ia juga hampir tidak bisa berbahasa Inggris.

    Pada usia 54 tahun, Maroun sekarang menjadi ahli saraf terkenal, dan ahli dalam gangguan stres pasca-trauma. Dia telah menjadi anggota fakultas di universitas tersebut selama lebih dari 20 tahun dan pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Neurobiologi. Ia juga menjadi anggota senat akademik.

    Maroun secara resmi akan menjalankan tugasnya selama empat tahun sebagai rektor mulai Oktober ini. Maroun merasa diremehkan, ia menyadari, tak seorangpun mengharapkan ia dapat menjadi pemimpin di dunia akademik itu. Namun, karena diremehkan itu, menjadi kekuatan Maroun, sehingga ia dapat semakin maju dalam kariernya di dunia pendidikan.

    “Tidak seorang pun mengharapkan saya sukses, menjadi seorang Arab di Israel, seorang Kristen, dan yang terpenting, menjadi seorang wanita. Saya bisa melakukan apa yang saya yakini, saya punya impian dan saya mewujudkan impian ini tanpa tekanan, hanya keluarga saya yang mendorong saya untuk terus berada di jalur ini,” tambahnya.

    Kantor pusat Fakultas Ilmu Sosial di dalam kompleks Universitas Haifa pada bulan April 2024. CNA

    Tantangan Dunia Pendidikan

    Salah satu tantangan pertama yang akan dia hadapi adalah mengintegrasikan fakultas kedokteran dan teknik ke dalam universitas, yang secara historis sebagian besar terdiri dari seni dan humaniora. Tujuan kedua adalah untuk mendapatkan peringkat sebagai salah satu universitas riset terkemuka, baik di Israel maupun internasional.

    Universitas Haifa adalah salah satu universitas paling beragam dan inklusif di Israel. Sebanyak 45% dari 17.000 mahasiswanya berasal dari masyarakat Arab dan 50% lainnya dari seluruh mahasiswanya adalah mahasiswa generasi pertama yang menerima pendidikan tinggi di keluarganya.

    Di kampus ini mahasiswanya terdiri dari Yahudi, Muslim, Druze, dan Kristen (total 15-20 denominasi agama berbeda). Maroun sendiri bangga dengan afiliasi keagamaannya dan memakai salib emas di lehernya. Selain itu, Laboratorium Studi Keagamaan adalah bagian dari Universitas Haifa, dengan fokus pada dialog antaragama.

    “Kami memiliki apa yang disebut laboratorium alami, dimana semua agama hidup berdampingan dan hidup tanpa ketegangan,” katanya.

    Menjadi rektor Arab di sebuah universitas di Israel setelah 7 Oktober 2023 adalah tugas yang menantang. Peristiwa ini merupakan trauma bagi semua orang, dan semua orang akan mengingat di mana mereka berada.

    Maroun sebagai umat manusia, ketakutan atas apa yang terjadi pada 7 Oktober dan pada saat yang sama ia juga ketakutan atas apa yang terjadi di Gaza.

    Maroun menyampaikan pendapatnya mengenai protes anti-Israel yang saat ini terjadi di beberapa universitas Amerika. Ia berpendapat, administrasi universitas-universitas di Amerika harus mempunyai pernyataan moral dan etika.

    Mereka perlu mengatakan dan tidak dapat menyangkal apa yang terjadi pada 7 Oktober serta apa yang terjadi di Gaza. Maroun mendorong komunitas pendidikan ini untuk mengambil tindakan untuk mendorong proses perdamaian tanpa memihak.

    “Hal ini karena akademisi tidak bisa memihak dalam konflik ini. Akademisi di seluruh dunia harus menjadi jembatan bagi perdamaian, negosiasi, dan interaksi serta tidak bias karena hal ini sangat berbeda dengan sains.”

    Maroun menjelaskan bahwa keahliannya di bidang trauma dan otak serta latar belakang Kristennya telah membawanya untuk mengembangkan kepekaan khusus terhadap orang lain dan mencari jalan dialog dan rekonsiliasi. Hal ini akan menjadi sangat penting pada hari-hari dan bulan-bulan mendatang di Israel, katanya.

    “Untuk mengatasi trauma ini (peristiwa 7 Oktober) kita perlu waktu, kita perlu rehabilitasi, dan kita perlu rekonsiliasi antara kedua belah pihak,” ujarnya.

    “Saya percaya bahwa seiring berjalannya waktu, kita dapat berdamai dan mulai membangun jembatan empati, pemahaman, dan membendung emosi satu sama lain.”

    Maroun menyadari, semua orang di Israel adalah tetangga dan hidup berdampingan. Ia percaya dan berdoa bahwa sudah saatnya anak-anak dari kedua belah pihak tumbuh untuk memiliki impian bersama. Bisa jari mereka mewujudkan impian tersebut melalui pendidikan tinggi. (AES)

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI