Sabtu, November 16, 2024
27.3 C
Jakarta

Mengenang 30 tahun Genosida di Rwanda dan Kritikan Terhadap Gereja Katolik

Perayaan Ekaristi di sebuah gereja di Rwanda. IST

RWANDA, Pena Katolik – Anggota Forum Profesional Kristen Afrika (ACPF) menyatakan solidaritas mereka terhadap masyarakat Rwanda saat peringatan 30 tahun genosida di negara itu yang menewaskan sekitar 800.000 orang. ACPF berdedikasi untuk mempromosikan dan melindungi Kehidupan, Nilai-Nilai Keluarga, dan pemerintahan.

Mengingat peristiwa genosida di Rwanda pada tahun 1994, yang berlangsung sekitar 100 hari, para pejabat ACPF menyampaikan belasungkawa terdalamnya.

“Hari ini, kami berhenti sejenak untuk merenungkan penderitaan luar biasa yang dialami oleh para korban dan keluarga mereka, dan menyampaikan belasungkawa terdalam kami kepada semua yang terkena dampak,” tambah mereka.

ACPF mengatakan peringatan 30 tahun genosida perlu menginspirasi umat manusia untuk berkomitmen mengupayakan perdamaian abadi.

“Saat kita memperingati hari jadi ini, mari kita berkomitmen kembali untuk menciptakan dunia di mana kekejaman seperti ini tidak akan pernah terulang kembali,” kata mereka. “Semoga kenangan para korban menginspirasi kita untuk tanpa lelah mengupayakan perdamaian, toleransi, dan pengertian.”

Para pejabat ACPF juga meminta komunitas internasional “untuk menegaskan kembali komitmennya dalam mencegah genosida dan kekejaman massal, memajukan keadilan, hak asasi manusia, dan martabat bagi semua.”

Dalam pernyataan tanggal 7 April, para pemimpin Kristen di Afrika mengatakan mereka “memuji ketahanan dan tekad Rwanda dalam membangun kembali, memupuk persatuan, dan rekonsiliasi, serta menawarkan harapan bagi semua.”

Apa yang Salah dengan Gereja

Genosida Rwanda tahun 1994 dilaporkan dipicu oleh kematian presiden negara tersebut, Juvenal Habyarimana, pada tanggal 6 April 1994, bersama rekannya di Burundi, Presiden Cyprien Ntaryamira. Kedua presiden tersebut, keduanya Hutu, baru saja kembali dari perundingan perdamaian antara Hutu dan Tutsi ketika pesawat mereka ditembak jatuh ketika hendak mendarat di Kigali, menewaskan semua orang di dalamnya.

Selama genosida yang terjadi dalam kurun 100-an hari, Gereja dituduh oleh banyak pengkritik telah mengabaikan kekerasan ini, bahkan terkesan menyangkal. Kesan ini muncul karena Gereja (Konferensi Uskup Rwanda) menolak mengakui bahwa terjadi pembantaian di Rwanda.

Meski demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa beberapa imam terlibat langsung dalam upaya mobilisasi pembantaian ini sebagai inisiatif pribadi tanpa perintah atau arahan dari otoritas Gereja Katolik.

Pada Mei 2023, Paus Fransiskus memecat seorang pastor Katolik Rwanda yang dianggap sebagai dalang genosida dari tugas kependetaannya.

Pastor Wenceslas Munyeshyaka, yang bertugas di Keuskupan Evreux Perancis, dituduh berperan aktif dalam genosida di berbagai wilayah Kigali ketika ia menjadi pendeta di Paroki Keluarga Kudus di Keuskupan Agung Kigali.

Pada bulan November 2006, pengadilan militer di Rwanda menyatakan Munyeshyaka bersalah atas pemerkosaan dan keterlibatan dalam genosida terhadap Tutsi pada tahun 1994 dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup secara in-absentia, KTpress melaporkan.

Tak hanya itu, tahun 2017 Paus Fransiskus telah meminta pengampunan atas peran Gereja Katolik dalam genosida di Rwanda tahun 1994, yang menewaskan 800.000 orang dalam 100 hari kekerasan.

“Dosa dan kegagalan gereja dan anggotanya telah menodai wajah agama Katolik,” katanya.

Paus berbicara setelah bertemu dengan Presiden Rwanda, Paul Kagame. Vatikan mengakui bahwa beberapa pastor dan biarawati Katolik telah “menyerah pada kebencian dan kekerasan” karena ikut serta dalam genosida itu.

Menurut Vatikan, Paus Fransiskus “mengungkapkan keinginannya agar pengakuan yang rendah hati atas kegagalan pada masa itu, yang sayangnya telah merusak wajah gereja, dapat berkontribusi pada ‘pemurnian ingatan’ dan dapat mendorong, dalam harapan dan kepercayaan baru, sebuah masa depan perdamaian”.

Permintaan Maaf Gereja

Tahun 2016, Gereja Katolik di Rwanda telah meminta maaf atas peran anggotanya dalam genosida yang menewaskan ratusan ribu warga Rwanda pada tahun 1994. Para uskup Rwanda meminta “pengampunan atas dosa kebencian dan perselisihan yang terjadi di negara tersebut hingga membenci rekan senegaranya sendiri karena asal usul mereka”. Pernyataan ini dibacakan setelah misa di paroki-paroki di seluruh negeri pada hari Minggu, 20 November 2016.

Pada tahun 1994, ekstremis Hutu di Rwanda menargetkan etnis minoritas Tutsi dan Hutu moderat dalam pembunuhan besar-besaran selama tiga bulan yang menyebabkan sekitar 800.000 orang tewas.

Meskipun gereja menyatakan tidak mengirimkan siapa pun untuk berpartisipasi dalam pembunuhan tersebut, gereja mengakui bahwa anggotanya aktif, dan meminta maaf atas “pemimpin Kristen yang menyebabkan perpecahan di antara orang-orang dan menanamkan benih kebencian.”

Gereja mengeluarkan permintaan maafnya bertepatan dengan hari terakhir Tahun Jubilee Kerahiman yang dideklarasikan oleh Paus Fransiskus.

Empat pendeta Katolik didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional PBB untuk Rwanda atas peran mereka dalam genosida pada tahun 2001.

Di antara mereka adalah Pendeta Katolik Rwanda Athanse Seromba yang dijatuhi hukuman 15 tahun penjara pada tahun 2006, ditingkatkan menjadi penjara seumur hidup, karena berpartisipasi aktif dalam pembantaian sekitar 2.000 orang Tutsi yang mencari perlindungan di gerejanya.

PBB telah mengkritik Gereja Katolik di masa lalu karena kegagalannya meminta maaf atas keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut.

Kelompok hak asasi manusia juga ikut mengkritik gereja dan perannya dalam genosida. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini