FLORES, Pena Katolik – Setiap 30 Maret, masyarakat Indonesia merayakan Hari Film Nasional. Peringatan ini untuk mengenang film pertama yang diproduksi orang Indonesia pada 30 Maret 1950 berjudul “Darah dan Doa”. Namun, siapa sangka bahwa para Misionaris Sabda Allah (Societas Verbii Divini/SVD) bahkan telah memulai sejarah perfileman di Nusantara pada tahun 1923.
Gereja Katolik Indonesia, khususnya di Flores ternyata mencatat sejarah sebagai pembuat film pertama di Nusantara. Pada tahun 1923, para Misionaris Sabda Allah (Societas Verbii Divini/ SVD) membuat sebuah etnografi yang berjudul: “Ria Rago: De Heldin And Het Ndona-Dal.” Yang artinya, ‘Ria Rago: Pahlawan Wanita Lembah Ndona’.
Karya ini tercatat sebagai film pertama yang dibuat di Bumi Indonesia. Dengan terungkapnya data sejarah ini, dilihat dari urutan tahun pembuatan, film pertama yang diproduksi di Indonesia adalah film dari Flores, NTT.
Philipus Tule mengungkapkan hal itu membuka Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri, di Provinsi NTT, di Hotel Sotis Kupang, Selasa 19 Oktober 2021. Acara ini diprakarsai oleh Komisi III DPR RI, dan Lembaga Sensor Film Indonesia, serta penandatanganan MOU antara Unwira dengan LSF Nasional. Unwira diwakili oleh Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Yosep Andreas Gual, MA.
Menurut Dosen FISIP Unwira, Mikhael Rajamuda Bataona, jika ditengok berdasarkan waktu produksi, film Ria Rago dibuat mendahului film lain yang dibuat di Indonesia. Tahun produksi ini lebih tua dari waktu pembuatan film pertama di Indonesia yang selama ini film “Loetoeng Kasaroeng” dianggap sebagai film pertama Indonesia dan dibuat tahun 1926.
Dengan kenyataan ini, maka “Ria Rago” dibuat dua tahun sebelumnya. Film ini dibuat oleh dua misionaris SVD di Flores. Berdasarkan dokumen Tarekat SVD yang tersimpan di Generalat SVD (Roma). Saat itu, misi Flores memiliki dua orang imam yang adalah ahli dalam pembuatan film.
Kedua misionaris ini dikirim untuk belajar film di Hollywood, AS, atas perintah Uskup Flores saat itu. Kedua imam tersebut adalah Pastor Simon Buis, SVD dan Fr. Belthens, SVD. Sekembalinya dari Amerika, mereka berdua menjadi sutradara dan produser. Film etnografi berdurasi 110 menit itu memuat tulisan Belanda “plaats en tijde van het werkelijk gebeurde” dengan tempat dan waktu yang benar terjadi pada tahun 1923.
Namun meski dibuat tahun 1923, film tersebut baru dirilis pada tahun 1930, sesuai dengan tanggal lolos sensor di Belanda. Menurut, Rektor Universitas Katolik Widya Mandira, Romo Philipus Tule, SVD, film ini merupakan karya yang unik dan memiliki makna etnografis yang sangat dalam. Film Ria Rago ini, bercerita tentang kasus kawin paksa seorang gadis Katolik bernama Ria Rago dari Desa Nua Nellu (Ndona) dengan seorang pemuda bernama Dapo Doki, seorang Muslim dari Desa Rada Wuwu yang sudah berkeluarga. (AES)