LARANTUKA, Pena Katolik – Paskah hampir tiba, sebagai negeri di mana umat Katolik hanya sebagian kecil dibanding keseluruhan penduduk, namun tetap saja Perayaan Paskah disambut dengan meriah. Di beberapa daerah di Indonesia, umat Katolik merayakan Paskah dengan beberapa tradisi unik.
Di Flores, Semana Santa dikenal sebagai tradisi yang telah mendunia. Semana Santa ada rangkaian devosi kepada Yesus dan Maria yang menggambarkan Misteri Paskah. Sayang, dikarenakan pandemi Covid-19, tahun ini Prosesi Semana Santa kembali ditiadakan. Meski begitu, dalam tulisan ini kita akan mencoba melihat apa itu Semana Santa.
Pekan Suci
Semana Santa atau Hari Bae adalah ritual perayaan Pekan Suci Paskah yang dilakukan selama tujuh hari berturut-turut oleh umat Katolik di Larantuka, Flores Timur. Kata Semana Santa berasal dari bahasa Portugis “semana” yang berarti ‘pekan’ atau ‘minggu’ dan “santa” yang berarti ‘suci’.
Secara keseluruhan, semana santa berarti pekan suci yang dimulai dari Minggu Palma, Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu Paskah.
Semana Santa merupakan kegiatan yang telah menjadi ikon dari Flores Timur dan menjadi daya tarik tarik tersendiri, baik bagi peziarah maupun wisatawan. Selain menggeliatkan ekonomi dan pariwisata, tradisi ini juga menjadi wujud toleransi antar umat beragama di Flores Timur.
Sejarah Semana Santa
Pada tahun 1500-an, Larantuka sangat kuat menjalani tradisi tua kekatolikan dengan devosi Katolik kepada Bunda Maria. Melalui Maria, seseorang akan sampai kepada Yesus. Semana Santa di Larantuka tidak bisa dilepaskan dengan warisan Portugis untuk Indonesia. Tradisi ini dibawa oleh Portugis yang datang untuk berdagang rempah-rempah, termasuk cendana dari Pulau Solor dan Timor pada abad ke-16 yang berpusat di Lohayong, Solor Timur, Flores Timur.
Pada awalnya, setelah menaklukkan Bandar Malaka tahun 1511, kapal-kapal dagang milik Portugis berlayar menuju Kepulauan Maluku dan Kepulauan Banda untuk mencari rempah-rempah. Sebagian kapal-kapal Portugis itu ada yang bergerak tajam ke arah selatan ketika melewati Laut Flores atau Laut Banda.
Kerja sama inilah yang membawa kekatolikan ke tanah Flores. Sejak itu, ada beberapa orang lokal yang kemudian semakin dekat bergaul dengan orang-orang Portugis.
Pada tahun 1645, Raja Larantuka bernama Olla Adobala dipermandikan oleh seorang imam Katolik Portugis. Olla Adobala kemudian menyandang nama Don Fransisco Olla Adobala Diaz Viera Ghodinho.
Tuan Ma
Pengaruh Portugis sangat terasa pada kehidupan umat Katolik di Larantuka. Tak heran, umat Katolik lalu memiliki kedekatan pada Devosi Maria. Hal inilah yang menyebabkan Larantuka juga disebut sebagai Nagi dan Kota Reinha (kota yang diberkati Maria). Wilayah di pesisir pantai ini menjadi kota dengan sebuah wilayah gerejawi yang diatur oleh seorang uskup (keuskupan) pertama di Pulau Flores sejak lima abad yang lalu.
Tradisi Semana Santa dimulai sejak penemuan Patung Tuan Ma di Pantai Larantuka pada tahun 1510. Patung tersebut diperkirakan terdampar di pantai akibat karamnya kapal milik Portugis di perairan Larantuka.
Atas perintah dari Kepala Kampung Lewonama saat itu, patung Tuan Ma tersebut kemudian disimpan di rumah pemujaan korke (bahasa lokal). Warga setempat yang kala itu belum mengenal sosok patung tersebut, kemudian menghormatinya sebagai benda sakral. Masyarakat pun kerap memberikan sesaji ketika merayakan peristiwa tertentu seperti perayaan panen dan perayaan-perayaan lainnya.
Perayaan Semana Santa di tempat ini terjadi tiga kali, yang kerap disebut dengan Hari Baedi Nagi, Hari Bae di Konga, dan Hari Baedi Wureh. Perayaan ini menempatkan Yesus dan Bunda Maria dalam prosesi. Maria berkabung menyaksikan penderitaan anaknya sebelum dan saat disalibkan sebagai pusat ritual.
Rangkaian Prosesi
Pekan Semana Santa di Larantuka dirayakan hampir seminggu penuh, mulai dari hari Minggu Palma sampai dengan Minggu Paskah. Pada saat perayaan ini sedang berlangsung, warga Kota Larantuka di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur selalu antusias menyambut perayaan ditemukannya patung Tuan Ma (Bunda Maria).
Banyak peziarah dari sejumlah penjuru tanah air akan berdatangan ke kota Bunda Maria itu. Mereka ingin menyaksikan perayaan besar tersebut sekaligus ingin mendapatkan mukjizat karena sebagian besar dari pengunjung adalah orang sakit, terutama sakit stroke dan sakit cacat. Peziarah yang sakit seperti itu kebanyakan didampingi oleh anggota keluarganya agar dapat menyembah Tuan Ma.
Para peziarah yang datang dari daratan Flores, Timor, Sumba, dan Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur kebanyakan merupakan generasi muda. Orang Flores yang sudah tua dan tinggal di perantauan biasanya menyuruh anak mereka untuk mengikuti ziarah tersebut.
Selain mengenakan pakaian berwarna hitam, biasanya peziarah juga membawa doa rosario dan gambar-gambar kudus untuk disimpan di sekitar patung Tuan Ma dan Tuan Ana. Gambar-gambar itu diyakini akan diberkati oleh Tuan Ma untuk keselamatan seluruh keluarga.
Adapun rangkaian prosesi Semana Santa secara keseluruhan, yaitu Minggu Palma, Rabu Trewa/Abu, Kamis Putih, Jumat Agung atau Sesta Vera, Sabtu Santo/Suci, hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu Paskah.
Terhenti di Masa Pandemi
Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung meniadakan dan membatalkan seluruh perayaan devosional Semana Santa tahun 2022. Pembatalan ini tertuang dalam surat yang ia keluarkan tertanggal 18 Maret 2022.
Mgr. Fransiskus menjelaskan, alasan pembatalan ini dikarenakan pandemi COVID-19 dan meningkatnya kasus positif corona di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Di kedua kabupaten ini situasi Covid-19 berada pada level 3 secara nasional. Maka demi kepentingan keselamatan dan kesehatan seluruh warga masyarakat kita, Semana Santa tahun ini kembali ditiadakan Semana Santa di Larantuka, Konga, Wure pada tahun ini.
“Termasuk juga paroki-paroki yang sudah ada kebiasaan tradisi ini. Tidak diadakan prosesi Jumat Agung dan prosesi Alleluya di Larantuka, Konga, dan Wureh,” ungkap Uskup Larantuka.
Perayaan Liturgi Pekan Suci di gereja tetap dirayakan seperti biasa, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat, seperti memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, atau dengan hand sanitizer, jumlah umat 50 % dari kapasitas tempat duduk di gereja, dan menjaga jarak tempat duduk 1 meter. Mgr. Fransiskus juga menyampaikan, paroki boleh mengatur memperbanyak kesempatan misa, agar sebanyak mungkin umat boleh hadir dalam perayaan-perayaan suci.
Dengan pembatalan ini, maka tercatat sudah tiga tahun Prosesi Semana Santa tidak diadakan di Keuskupan Larantuka. Padahal, prosesi ini sebelumnya menjadi perayaan besar yang diikuti ribuan umat dari berbagai daerah bahkan dari luar Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Memang sudah tiga tahun berturut-turut kita tidak merayakan Semana Santa menurut tradisi kita. Meskipun secara ritual devosional kita tidak melakukannya, tetapi hal tersebut tidak mengurangi makna dari tradisi kita,” ungkap Mgr. Fransiskus.
Meski begitu, ada harapan umat dapat memaknai Paskah secara lebih rohaniah, lebih mendalam terhadap misteri iman dan keselamatan. Mgr. Fransiskus mengajak umat untuk tetap memaknai Paskah sebagai peristiwa keselamatan seluruh dunia, Yesus Tuhan dan Juru Selamat, rela berkorban, menderita sengsara dan wafat di kayu salib.
Ditambahkan Mgr. Fransiskus, situasi konkrit saat ini juga menghendaki kita rela berkorban, mau menderita, bekerjasama dengan semua pihak, untuk mengatasi pandemi virus corona, demi keselamatan semua orang, termasuk diri kita.
“Jadi dengan tidak menjalankan tradisi Semana Santa sebagaimana biasa pada saat ini, adalah juga merupakan bagian dari pengorbanan kita, bagian dari ekspresi iman dan kerja sama kita dalam upaya mengatasi pandemi virus corona,” Mgr. Fransiskus.
Semua berharap, pembatalan Semana Santa tahun ini menjadi yang terakhir. Di tahun depan, umat Katolik berharap dapat merayakan devosi ini kembali.
Antonius E. Sugiyanto