31.1 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Penjajahan Inggris dan Kelahiran Paroki Santo Yohanes Bengkulu

BERITA LAIN

More
    Gereja St. Yohanes Bengkulu

    BENGKULU, Pena Katolik – Patung St. Yohanes setinggi 5 meter itu berdiri di dalam lingkungan Paroki Santo Yohanes Penginjil Bengkulu. Namun, di balik patung megah itu, ada perjalanan Panjang sejarah Paroki St. Yohanes, yang siapa sangka diawali dari kehadiran penjajah Inggris di kota itu.

    Bumi Raflesia

    Sejarah berdirinya paroki ini tidak bisa lepas dari sejarah pedudukan Inggris di Bengkulu yang lebih dikenal dengan nama Bumi Rafflesia, ini tentu karena di tempat ini ditemukan pertama kali Bunga Raflesia Arnoldi, atau bunga bangkai oleh Stanford Raffles.

    Pada 24 Juni 1685, Inggris menjejakkan kakinya di Bengkulu. Ada tiga orang utusan Kerajaan Inggris: Ralp Ord, Benyamin Bloome, dan Joshua Charlton yang tiba di Bengkulu. Kedatangan mereka adalah untuk menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan-kerajaan di sana. Alhasil, pada 16 Agustus 1685, terjadi penandatanganan perjanjian perdagangan antara Inggris dan Kerajaan Sileba. Perjanjian ini ditandatangani Charles Baswell Esq dari Inggris dan Pangeran Ingalu Raja, dari Kerajaan Silebar. Selanjutnya pada pertengahan 1685, Inggris membangun Benteng York di antara laut dan Sungai Serut.

    Bengkulu menjadi daerah yang ramai, banyak orang-orang Eropa yang datang dan menetap di Bengkulu. Inilah awal kedatangan umat Kristen dan Katolik di Bengkulu.

    Penguasa East Indie Company (Serikat dagang Inggris) yang saat itu berpusat di Madras, India  meminta para misionaris Ordo Theatin untuk mengutus beberapa imam ke Bengkulu. Gayung bersambut, Pemimpin Theatin mengirim Pastor Martelli ke di Bengkulu pada Desember 1702. Ia tinggal di Benteng York. Saat itu tahun 1703, dalam laporan Pastor Martelli ada 300 orang umat Katolik di Benkulu.

    Menarik mencermati bahwa pusat misi Katolik pada awal abad 18 di Sumatera ada di Pantai Utara Aceh, di mana Misionaris Fransiskan melayani daerah itu. Kedua pusat misi ada di Bengkulu. Saat itu, kedua pusat misi ini berada dalam Keuskupan Malaka.

    Pada awal masa pewartaan ini, Pastor Martelli mendapat bantuan dari Pastor Castelli. Malang, pada 1706 Pastor Martelli dibunuh saat melayani umat. Sejak itu, Pastor Castelli pun bekerja sendiri melayani umat di Bengkulu.

    Bantuan baru datang tahun 1708, saat kedatangan Pastor Johannes Maria Comini. Namun, konflik antara rakyat Bengkulu dengan bangsa Inggris sudah mulai terjadi. Tak dipungkiri, konflik ini membawa dampak buruk bagi karya misi di Bengkulu. Kediaman Pastor Castelli diserang dan dihancurkan rakyat Bengkulu. Benda-benda suci diambil. Alhasil karya misi yang sudah bertahun-tahun dilakukan hancur, tidak ada lagi harapan. Putus asa, Pastor Castelli meninggalkan Bengkulu dan menuju ke Kalimantan, menyisakan Pastor Comini yang melayani di Bengkulu.

    Tugas Pastor Castelli digantikan Pastor John Milton. Namun belum lama ada di Bengkulu, beliau sudah sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 14 September 1714. Pastor Johannes Maria Comini kembali bekerja seorang diri.

    Pergantian Kepemimpinan

    Pada tahun 1712 Yoseph Collet diangkat menjadi Deputi Gubernur Benteng York. Ia meminta izin pada EIC (East Indie Company) untuk menggantikan Benteng York dan membangun sebuah benteng baru di atas karang, sebuah bukit kecil yang menghadap ke laut sekitar 2 kilometer dari Benteng York. Pada 1714 dimulailah pembangunannya dan selesai pada 1718. Yoseph Collet menyebutnya Benteng Marlborough, sebagai penghormatan terhadap Winston Churchill yang mendapatkan gelar ‘Duke of Marlborough’. Selain itu, Inggris juga mendirikan Benteng Anna di daerah Muko-Muko.

    Pastor Comini ditarik ke Goa India karena diangkat menjadi pimpinan Ordo Theatin Asia. Tugasnya di Bengkulu digantikan Pastor Josef Maria Ricca. Ia berhasil membangun kapel di dekat Benteng Anna. Namun konflik yang terjadi antara Inggris dan masyarakat Bengkulu saat itu sungguh tidak menguntungkan.

    Pemberontakan terjadi pada 1719. Benteng, gereja diserang dan dibakar, Pastor Ricca menolak untuk melarikan diri, ia memilih tinggal bersama umatnya. Pada saat itu ia juga sedang mengadakan misa Jumat Agung, pada saat penghormatan salib, penduduk pribumi memberontak masuk dan akhirnya membunuh Pastor Ricca.

    Perjuangan para Misionaris

    Pada 1721, pasukan Inggris merebut benteng kembali. Usaha mengirim misionaris dari Ordo Theatin tidak berhasil. Tetapi berkat keteguhan Pastor Johanes Maria Comini sebagai pimpinan Ordo Theatin kawasan Asia, 2 orang misionaris dapat dikirim ke Bengkulu. Mereka adalah Pastor Carolus Fideli dan Pastor Alexander Rotigno. Selama pelayanannya, Pastor Fideli dapat membangun kembali kapel yang rusak saat pemberontakan tahun 1719 dan juga membangun kapel di daerah Muko-Muko.

    Tugas Pastor Fideli digantikan Pastor Johanes Fransiscus Rescala karena ia diangkat menjadi pimpinan Ordo Theatin. Situasi yang kondusif membuat para pedagang dari Eropa kembali ramai mendatangi Bengkulu. Bengkulu mendapat tambahan tenaga misionaris ketika Pastor Johanes Maria Uguccioni datang ke Bengkulu pada 1736.

    Konflik yang terjadi antara Inggris dan Prancis di Eropa semakin menghebat. Pada awal April 1960 benteng Marlborough direbut Prancis. Saat itu Pastor Johanes Maria Uguccioni meninggalkan Bengkulu dan pergi ke Manila yang sudah dikuasai Inggris. Saat singgah ke Bengkulu, dia melihat bahwa karya misi yang sudah lama dimulai telah hancur akibat peperangan antara Inggris dan Prancis.

    Tahun-tahun sesudahnya, Bengkulu menjadi rebutan antara Inggris dan Belanda. Inggris dapat mempertahankan Bengkulu. Saat Sir Thomas Stamford Raffles menjabat sebagai Gubernur di Bengkulu, ia berusaha melebarkan kekuasaannya ke Palembang. Namun, berdasarkan persetujuan damai antara Belanda dan Inggris di tahun 1824, Inggris akhirnya pergi dari Sumatera, termasuk Bengkulu.

    Tahun 1811 sampai 1923, wilayah Bengkulu dan Sumatera Selatan masuk dalam Prefektur Apostolik Sumatera yang berpusat di Padang. Saat itu, yang menjadi Prefek Apostolik pertama adalah Mgr. Libertus Cluts, OFM Cap. Ordo Kapusin dipercaya untuk mengerjakan karya misi di daerah ini. Namun setelah kepergian Inggris dari Bengkulu, karya misi yang semula dilaksanakan Ordo Theatin tidak dapat diteruskan.

    Pada 27 Desember 1923, sesuai ‘breve’ dari Tahta Suci daerah Sumatera Selatan dan Bengkulu menjadi Prefektur Apostolik yang terpisah dengan Prefektur Apostolik Sumatera (Padang). Prefektur Apsotolik yang baru ini dinamakan Prefektur Apsotolik Bengkulu yang pos misinya ada di Tanjungsakti.

    Pada 23 September 1924, para misionaris dari Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) tiba pertama kalinya di Tanjungsakti. Mereka adalah Pastor H.J.D. van Oort SCJ, Pastor K. van Steekelenburg SCJ, dan Bruder Felix van Langenberg, SCJ. Ketiga orang ini disambut oleh Pastor Spanjers OFM Cap. Dengan kedatangan para misionaris ini, maka tenaga misi untuk melayani umat di daerah Sumatera Selatan dan Bengkulu bertambah.

    Pastor van Oort SCJ diberi kepercayaan sebagai kepala misi. Dalam perkembangan yang sangat singkat, Palembang dan Bengkulu ditetapkan sebagai pos misi yang kedua dan ketiga. Dalam perkembangan selanjutnya, Tanjung-Karang dan Jambi menjadi pos misi selanjutnya. Pada 28 Mei 1926 Mgr. H.L. Smeets SCJ menjadi Prefektur Apostolik yang pertama walaupun beliau baru tiba bulan September 1925. Jabatan ini tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 19 Januari 1927 beliau kembali ke Nederlands. Pastor van Oort, SCJ menggantikan tugas beliau sampai tanggal 19 Januari 1939, saat Pastor H.M. Mekkelholt, SCJ diangkat sebagai Prefek Apostolik.

    Pada saat itu, di Bengkulu masih ada sedikit umat Katolik. Salah satunya adalah keluarga Van der Vossen. Keluarga ini memiliki kedudukan yang amat penting. Dari keluarga ini pulalah maka pada November 1926 dibeli sebuah rumah di Jalan Pasar Melintang. Rumah ini ditempati Pastor M. Neilen SCJ sebagai pastoran sekaligus tempat ibadat, dan beliau adalah pastor paroki pertama Paroki St. Yohanes Penginjil. Pastor Neilen SCJ mendapat bantuan dari Pastor N. Hoogeboom, SCJ.

    Dalam tugas pelayanannya, Pastor Neilen, SCJ juga memulai HCS (Hollandsch-Chineesche School) pada 31 Desember 1926. Untuk itu, ia mengirim surat undangan kepada pimpinan kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB)untuk berkarya di Bengkulu. Undangan itu ditanggapi pemimpin umum para suster dengan mengirim 4 orang suster pada tanggal 21 November 1921, yaitu Sr. Hadeline, Sr. Carolus, Sr. Fabiola –ketiganya berkarya di bidang pendidikan dan Sr. Jacquiline yang berkarya di bidang kesehatan. Dengan kehadiran para suster, maka pendidikan HCS diserahkan secara penuh kepada mereka pada 6 Januari 1930. Saat ini, sekolah HCS menjadi SD Sint Carolus yang dengan setia masih dilayani oleh para suster CB.

    Pada 1929 dibeli tanah dan rumah di daerah Kampung Cina. Ada 2 bagian, bagian yang lebih dekat dengan laut digunakan untuk susteran dan sekolahan dan bagian lainnya yang lebih tinggi digunakan sebagai pastoran dan asrama putra. Di sebelah pastoran itulah didirikan gereja. Dalam Liber Baptizmorum (Buku Baptis), ada beberapa orang yang dibaptis pada awal gereja Bengkulu, yaitu Corry Rosmini yang dibaptis 19 Mei 1917, Maria Tjoa Goei Nio (Mariani Tjimantara) dibaptis 1930, dan Josephus Lie Hian Soen yang dibaptis 1930.

    Pada 1 Januari 1967, berdirilah paroki lain di daerah Lebong, yaitu Paroki St. Stephanus, Curup. Pastor Andreas Lukasik (1972-1975) mulai merintis pembukaan daerah selatan. Saat itu, persebaran umat masih terbatas di sekitar gereja dan Kampung Cina. Tahun 1981, saat Pastor Darricau, MEP menjadi pastor paroki (1978-1984), dibangunlah gereja baru di samping gereja lama. Pada masa Pastor Nico van Steekelenburg, SCJ pembangunan gereja selesai. Ia juga banyak merintis stasi dan wilayah-wilayah di lingkungan Paroki St. Yohanes Penginjil. Gedung gereja yang baru ini akhirnya diberkati oleh Mgr. J.H. Soudant, SCJ pada Hari Raya Pentakosta, 22 Mei 1983.

    Paroki St. Yohanes terdiri dari 38 stasi. Jumlah umat katolik Paroki St. Yohanes Penginjil sebanyak 7.304 jiwa. Dari keseluruhannya itu, 60% tinggal di Kota Bengkulu. Dilihat dari latar belakang budayanya, umat katolik di Bengkulu sungguh beragam seperti Jawa, Tionghoa, Batak, Flores dan lain sebagainya. Sebagai daerah misi gereja katolik, Bengkulu sudah dilayani oleh misionaris Ordo Theatin sejak tahun 1702, Perkembangan misi mengalami pasang surut. Misi gereja mulai mengakar dan menguat ketika para misionaris SCJ mendapat kepercayaan dari Takhta Suci untuk melayani daerah Sumatera Bagian Selatan, termasuk Bengkulu.

    Ketika Indonesia merdeka, Pastor Neilen SCJ yang memulai menaburkan benih paroki kembali bertugas di Bengkulu, menggantikan tugas Pastor J. Keeper SCJ. Saat zaman penjajahan, sudah banyak penduduk dari Jawa yang ‘dipindahkan’ ke Bengkulu dalam rangka program kolonialisasi. Program transmigrasi ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada 1950 dengan membuka lahan di daerah Kemumu. Pada tahun 1969, daerah Talang Boseng dan Pasar Talo menjadi daerah transmigrasi penduduk Jawa. Dari antara mereka juga terdapat beberapa keluarga katolik.

    Pada 1972, Pastor Andreas Lukasik SCJ memulai pelayanan daerah Selatan dan mulai mencari keluarga-keluarga katolik dari kalangan para transmigran. Reksa pastoral kemudian dipercayakan pada Pastor Nico van Steekelenburg (1981-1991). Setelah Pastor Nico van Steekelenburg SCJ, dimulailah periode imam-imam pribumi seperti Pastor YG Marwoto, SCJ dan Pastor Harry Subekti, SCJ. Pastor Endrokaryanto SCJ menjadi imam pribumi pertama yang menjadi pastor paroki.

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI