29.5 C
Jakarta
Tuesday, April 30, 2024

Mengenang Ignas Kleden: Filsuf dan Sosiolog Indonesia

BERITA LAIN

More
    Ignas Kleden. IST

    JAKARTA, Pena Katolik – Sastrawan sekaligus sosiolog, Ignas Kleden, meninggal dunia pada Senin 22 Januari 2024 dini hari. “Telah berpulang dalam damai, Bapak Ignas Kleden pada Senin, 22 Januari pukul 03.46 WIB di RS Suyoto, Jakarta Selatan,” tulis informasi yang diterima Pena Katolik dalam sebuah WA Grup.

    Ignas lahir pada 19 Mei 1948 di Waibalun, Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Ia lahir dari keluarga guru, ayahnya adalah kepala sekolah dasar. Mungkin karena latar inilah, tradisi berpikir Ignas sudah berkembang sejak ia masih berusia dini.

    Semasa remaja, Ignas sempat masuk seminari dan bercita-cita menjadi imam.  Di sinilah, ia sudah menunjukkan kecerdasannya. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik di sekolah dasar, dan diterima di seminari di Flores.

    Semasa di seminari, Ignas dikenal sebagai sosok yang cerdas dan kritis. Satu kali, Ignas ditegur karena memakai sandal saat mengikuti Misa. Atas teguran itu, Ignas berkata kepada imam, “Bagaimana Romo bisa tahu, bahwa Tuhan lebih suka sepatu daripada sandal?”

    Meski di seminari hal ini tentu bisa dinilai sebagai tanda ketidakdisiplinan namun di sisi lain, ini menunjukkan sikap kritis Ignas yang sudah ada sejak remaja. Berhadapan dengan realitas, ia tidak mudah menerima begitu saja. Ia bertanya dan selalu ingin mencari tahu kebenarannya.

    Namun, setelah beberapa tahun di seminari, Ignas menimbang untuk tidak melanjutkan formasinya sebagai calon imam. Ia memilih mundur padahal tinggal setahun lagi ia akan ditahbiskan menjadi imam, hingga membuat keluarga terkejut atas keputusan ini.

    Ia menyadari, bahwa dirinya tidak cocok menjadi imam. Ia tidak dapat menjadi pengkhotbah yang baik.

    Keluar dari seminari, Ignas melanjutkan pendidikannya, hingga meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982). Untuk program Doktor, Ignas menyelesaikan pendidikan Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).

    Pada tahun 2003, bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono, Ignas menerima Penghargaan Achmad Bakrie. Ia dinilai sebagai sosok yang turut mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi.

    Semasa hidupnya, Ignas pernah bekerja sebagai editor pada yayasan Obor Jakarta (1976-1977), Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and Economic Studies, Jakarta. Di tahun 2000, Ignas Kleden turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur.

    Agama, Negara, Sastra, dan Sosial

    Berkat sejarah pemikirannya dan tentu karena latar pendidikannya ini, Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK Ledalero) Romo Otto Gusti Madung SVD menyebut Ignas sebagai seorang sosiolog dan filsuf sekaligus. Tentu sebutan ini tidak hanya menjadi satu pujian. Warisan pemikiran Ignas menunjukkan bahwa hal itu benar-benar nyata dalam diri Ignas.

    Dalam tulisan di Kompas Charles Beraf mengatakan bahwa Ignas memang amat mencintai filsafat, tetapi dia tak hanya tinggal dalam ruang spekulatif-filosofis untuk melihat persoalan sosial. Malah dia berhasil mengawinkan filsafat dan sosiologi, suatu pendekatan baru dalam jagat ilmu sosial yang cenderung positivistik-empiristik.

    Itu sebabnya Ignas dikenal sebagai ilmuwan sosial yang amat kontekstual dalam pemikirannya tentang apa saja yang hidup dalam masyarakat (budaya, sastra, politik, hukum, teologi, dan lain-lain), tetapi tetap kritis dan dialektis melihat persoalan sosial.

    Meski dikenal sebagai ilmuan sosial senior, bukan berarti Ignas ketinggalan zaman. Pandangannya tentang realitas social tetap mengikuti perkembangan. Hal ini misalnya terlihat dalam pandangannya tentang fenomena media sosial. Ketika membagikan pengalamannya di IFTK Ledalero, Ignas mengatakan bahwa “perkembangan media sosial mempengaruhi cara kita berkomunikasi antar manusia. Bahasa komunikasi melalui WA, misalnya membuat orang mengalihkan bahasa sebagai konsep, menjadi semata-mata kode atau simbol.”

    Ignas mengatakan, antara simbol dan konsep ada perbedaan. Simbol biasanya dibuat di jalan raya untuk memberi arah kendaraan. Sebagai konsep, bahasa menyampaikan ide yang jelas.

    Ignas berpendapat, berhadapan dengan tantangan teknologi khususnya media sosial yang marak mereproduksi bahasa yang singkat dan istilah-istilah baru, manusia perlu mengkounter bahasa yang sudah menjadi kode dalam media sosial menjadi konsep. Ignas mengatakan, menulis merupakan latihan yang memberikan keseimbangan, karena menulis adalah menyampaikan buah pikiran yang harus bisa dipahami oleh pembaca.

    Pada satu kesempatan tahun 2018, dalam Rapat Koordinasi Bimbingan Masyarakat Katolik di Kupang, NTT, Ignas menjelaskan kewajiban negara untuk menjamin bahwa setiap agama yang ada dalam negara dilindungi dan mereproduksi diri agar tetap eksis. Sebaliknya, agama juga harus menyadari diri bahwa agama selalu ada dalam negara. Menurut Ignas, negara bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup agama, maka dapat diandaikan bahwa negara juga dapat menjamin bahwa masing-masing agama yang diakui hak hidupnya.

    Kini, salah satu pemikir besar Indonesia ini telah pergi. Namun, warisan pemikiran dan buah-buah gagasannya akan selalu mewarnai dunia pemikiran Indonesia. (AES)

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI