ARIZONA, Pena Katolik – Pastor Rob Clements mendapat beberapa komentar menarik ketika ia mulai memimpin prosesi Ekaristi di salah satu tugas parokinya pada tahun 1990-an. Ia adalah imam Keuskupan Arizona, Amerika Serikat.
“Kamu adalah sebuah kemunduran.”
“Ini bukan tahun 1950-an.”
“Rasanya seperti kita berjalan mundur,” kata seorang ibu dari seorang putra altar kepada Pastor Clements.
Namun ketika Pastor Clements menjadi imam yang melayani Arizona State University pada tahun 2011, ia melihat adanya kesenjangan dalam kehidupan rohani para mahasiswanya. Saat itu, ia memikirkan suatu solusi.
“Ketika saya tiba di sini, hal itu (Ekaristi-red) merupakan kebutuhan yang sangat besar, karena, sungguh, menurut saya masih ada jarak dalam pemahaman terhadap Adorasi Ekaristi,” kata Pastor Clements kepada Register.
Saat itu, Pastor Clements berinisiatif mengadakan adorasi di lingkungan kampus. Satu inisiatif yang sangat membantu meningkatkan kualitas kehidupan rohani para mahasiswa.
“Adorasi Ekaristi telah menghasilkan buah yang baik; khususnya, meningkatkan kesalehan,” kata Pastor Clements.
Arizona State University adalah salah satu dari beberapa perguruan tinggi sekuler di Amerika Serikat. Kampus ini telah melaksanakan prosesi Ekaristi secara berkala dalam beberapa tahun terakhir. Di seluruh Amerika, ada beberapa kampus lain yang mengadakan Adorasi di kampus: Columbia University, Vanderbilt University, Illinois University, Alabama University, dan Texas A&M University. Semuanya termasuk kampus top di Amerika Serikat dan dunia.
Keberatan dan Keheranan
Di Arizona State University, Prosesi Ekaristi berlangsung pada Hari Raya Kristus Raja pada bulan November dan pada Hari Raya Corpus Christi pada musim semi, Hari Raya Salib Suci pada bulan September dan Minggu Palma. Salah satu Prosesi Ekaristi dimulai setelah jam 4 sore. Misa kampus ini diadakan sebelum jam 6 sore. Setelahnya diadakan Prosesi Ekaristi mengelilingi kampus melintasi jalan yang sibuk dan jembatan penyeberangan. Sepanjang perjalanan, ada beberapa pemberhentian untuk mendaraskan doa di altar sementara yang telah dipasang di kampus.
Selama prosesi ini, ada tiga reaksi dari para mahasiswa dan orang-orang yang melihatnya. Reaksi pertama ini seperti dicaritakan Ben Power, seorang mantan mahasiswa yang pernah berpartisipasi di dalamnya. Ia melihat adanya penghormatan spontan, beberapa orang ikut bergabung. Pastor Clements mengatakan dia melihat orang-orang keluar dari mobil mereka di lampu lalu lintas dan berlutut di trotoar, yang lainnya negatif.
Reaksi kedua seperti terjadi dua tahun yang lalu, seorang mahasiswa teknik yang atheis mengatakan kepada orang-orang yang berkumpul di dekat altar di luar asrama teknik bahwa Tuhan mereka tidak nyata. Pastor Clements mengatakan beberapa tahun yang lalu seorang wanita mulai meneriakkan kata-kata kotor. Meski begitu, mahasiswa tetap berdoa kepada St. Michael sang Malaikat Agung.
Reaksi ketiga ada di antara keduanya. Ini mungkin merupakan reaksi yang paling umum. Orang-orang memiringkan kepala mereka, agak bingung karena merasa heran, saat mereka melihat sesuatu berbeda seperti yang pernah mereka lihat dalam hidup mereka.
Sejarah Prosesi
Prosesi liturgi Kristen dimulai pada masa Gereja mula-mula. St Basil menggambarkannya sebagai “kuno” dalam sebuah surat yang ditulisnya pada tahun 388. Secara khusus, prosesi Ekaristi kemungkinan besar dimulai pada abad ke-13, setelah Paus Urbanus IV melembagakan Corpus Christi pada tahun 1264. Praktik-praktik tersebut tidak lagi diterapkan secara luas setelah Konsili Vatikan Kedua pada tahun 1960-an, meskipun St. Paulus VI memujinya dalam ensikliknya tahun 1965, Mysterium Fidei, yang diterbitkan menjelang akhir Konsili. St Yohanes Paulus II mempromosikan prosesi Ekaristi dalam suratnya tahun 1980 Dominicae Cenae dan berpartisipasi di dalamnya sebagai paus.
“Apa yang Yesus berikan kepada kita dalam keintiman di Ruang Atas, kita ungkapkan secara terbuka, karena kasih Kristus tidak diperuntukkan bagi segelintir orang tetapi ditakdirkan untuk semua orang,” kata Paus Benediktus XVI sebelum prosesi Ekaristi di Roma pada bulan Juni 2011 di luar Basilika St. John Lateran, yang berjarak sekitar 2 1/2 mil di luar Kota Vatikan.
Paus Fransiskus berbicara pada bulan Juni 2019 di awal prosesi Ekaristi Corpus Christi serupa di luar sebuah gereja di pinggiran Kota Roma. Ia merefleksikan kisah dalam Lukas bab 9 tentang Penggandaan Roti dan Ikan, yang dianggap Gereja sebagai gambaran awal Ekaristi, dan mencatat bahwa Yesus memberi tahu murid-muridnya: “Berilah mereka makan.” Fransiskus mengatakan, Ekaristi dimaksudkan untuk diberikan kepada orang lain, dimulai dari mereka yang “merasa diberkati dan dicintai” setelah menerima Ekaristi.
“Tuhan datang ke jalan-jalan kita untuk menyampaikan berkat bagi kita dan memberi kita keberanian,” kata Paus Fransiskus.
Memulai Tradisi Lama
Di Kampus Texas A&M telah mengadakan prosesi Ekaristi pada bulan Oktober 2021 dan pada musim gugur tahun 2022 dan berencana untuk mengadakan prosesi lainnya selama Pekan Paskah pada tahun 2024. Sekitar 700 hingga 800 siswa berpartisipasi dalam dua kegiatan sebelumnya.
“Keinginan staf kami adalah untuk membawa Yesus ke tempat siswa kami belajar, tinggal dan bersosialisasi,” kata , kata Pastor Will Straten, imam yang melayani prosesi di Kampus Texas A&Mmelalui email.
Saat sebagian besar peserta berdoa Rosario, sekitar 30 mahasiswa dan staf berjalan di depan, membagikan brosur kepada penonton di kampus. Mereka menjelaskan apa itu prosesi Ekaristi dan mengundang mereka untuk bergabung. Di tengah jalan, di alun-alun depan Memorial Student Center, peserta berlutut, menyanyikan tiga himne, berdiam diri selama lima menit, lalu kembali ke Pusat Katolik Kapel St. Maria di area kampus.
Unit Kegiatan Rohani Katolik di Illinois University juga telah mengadakan prosesi Ekaristi, termasuk pada bulan lalu. Pastor Robert Lampitt, kepala pendeta di St. John’s Catholic Newman Center, mengatakan kepada Register bahwa dia berharap dapat mengadakan satu program setiap semester.
“Saya pikir prosesi Ekaristi mencapai tiga hal. Pertama, mereka memberikan kesempatan kepada umat beriman untuk menyatakan iman dan pengabdian mereka di depan umum. Ini mungkin merupakan prosesi pertama bagi banyak siswa kami. Kedua, hal ini memaparkan kampus yang lebih luas pada keyakinan Katolik kita bahwa Yesus adalah Tuhan bahkan bagi universitas sekuler ini. Dia peduli terhadap mereka, mengasihi mereka dan mengundang mereka ke dalam hubungan dengan-Nya. Ketiga, ini adalah kesempatan untuk memohon berkat Tuhan atas universitas kita: mahasiswa, dosen dan staf. Ada begitu banyak rasa sakit dan luka, sebagian besar tersembunyi, sehingga Yesus rindu untuk disembuhkan.”
Reaksi Kekaguman
Unit Kegiatan Rohani Katolik Columbia University mulai mengadakan prosesi Ekaristi pada Hari Raya Kristus Raja dan Corpus Christi tahun ajaran lalu. Mereka mulai setelah Misa Minggu di Gereja Notre Dame, yang berada di sudut Morningside Drive dan West 114th Street di Manhattan bagian atas di New York City, dan berlanjut di sepanjang jalan umum dan menuju jantung kampus, yang dikenal sebagai College Walk. Meskipun perguruan tinggi ini didirikan di atas lahan sebuah gereja Episkopal pada tahun 1750-an, Kolumbia kini menjadi sekolah swasta nonreligius Ivy League — dan memiliki salah satu kampus paling sekuler di negara ini.
Ide untuk mengadakan prosesi Ekaristi di kampus pada awalnya menyangkut Karina Magnus, seorang mahasiswa Katolik di sana, yang meminta kepastian dari Pastor Roger Landry. Dia melanjutkan dan berpartisipasi, mengambil gambar pada sesi pertama dan berjalan pada sesi kedua. Ia terkejut dengan reaksi para penonton, yang melihat beberapa lusin orang berjalan bersama seorang imam yang mengenakan jubah di bawah kanopi sambil memegang monstrans perunggu yang membawa Hosti yang dikonsekrasikan di balik kaca transparan dan menyanyikan lagu-lagu pujian.
“Sebagai universitas sekuler, kami memperkirakan akan ada sedikit reaksi balik. Saya kira kita belum benar-benar memahaminya,” kata Magnus, 21, seorang mahasiswa senior dan jurusan biokimia, kepada Register.
Teman-temannya yang beragama Protestan dan tidak beriman dibuat bingung oleh pemandangan tersebut. Mereka terkejut saat mengetahui bahwa umat Katolik percaya bahwa sepotong roti yang disucikan oleh seorang imam Katolik selama Misa menjadi Tubuh dan Darah Yesus yang sebenarnya dan, oleh karena itu, Tuhan.
Namun mereka juga mengungkapkan kekagumannya atas keindahan acara tersebut dan komitmen nyata dari orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya. Beberapa orang mengatakan mereka mengira hanya ada segelintir umat Katolik di Colombia University, nyatanya lebih banyak dari bayangan mereka.
“Mereka benar-benar terkejut dengan banyaknya orang yang kami temui berjalan-jalan di kampus bersama Yesus. Banyak dari mereka yang lebih terbuka terhadap hal ini daripada yang saya perkirakan,” kata Magnus.
Sukacita bagi Dunia
Pastor Landry mengatakan kepada Register bahwa prosesi Ekaristi tahun ajaran lalu meningkatkan kegembiraan, keberanian dan iman di kalangan umat Katolik di Kolombia. Ia mengatakan ia telah melihat peningkatan dalam kehadiran Misa harian, adorasi Ekaristi, dan penghormatan terhadap Ekaristi.
“Seseorang tidak dapat tidak ikut serta dalam prosesi Ekaristi tanpa menumbuhkan kesadaran bahwa kita tidak sedang menemani sepotong roti tidak beragi secara melingkar,” kata Pastor Landry melalui email.
Hal ini juga membantu membawa iman Katolik keluar dari gedung gereja, dengan menanggapi “ateisme praktis”. Paham ini yang mendasari sekularisme, yang didefinisikan oleh Benediktus XVI sebagai ‘hidup seolah-olah Tuhan tidak ada.
“Melalui prosesi Ekaristi, umat Katolik secara terbuka mewartakan dengan sukacita yang rendah hati bahwa Tuhan beserta kita masih bersama kita, menemani kita menjalani hidup dan memanggil kita untuk mengikutinya,” kata Pastor Landry, imam yang juga pendiri Thomas Merton Institute for Catholic Life di Columbia (dan kolumnis Register).
Jenis manifestasi iman di depan umum seperti ini pada akhirnya mengarah pada salah satu dari dua kesimpulan: “Umat Katolik itu gila, memuja roti seolah-olah roti adalah pencipta dan penyelamat dunia”. Kesimpulan kedua ,”Umat Katolik itu tampaknya adalah orang yang paling tidak peduli dan jika mereka semua percaya bahwa yang ada di monstran itu bukanlah roti melainkan Tuhan, maka mungkin aku gila sampai aku bergabung dengan mereka”.
Magnus mengatakan prosesi tersebut merupakan momen penting dalam kehidupan spiritualnya. Dia sedang mempertimbangkan apakah akan memulai program doktoral di bidang biokimia atau menjadi misionaris kampus melalui Fellowship of Catholic University Students (dikenal sebagai FOCUS) setelah lulus.
“Itu adalah pengalaman yang sungguh menakjubkan dan penuh doa bagi saya, seperti pertama kalinya saya mengatakan, ‘Ini adalah iman saya, dan saya sangat bangga mengungkapkannya secara terbuka, kepada siapa pun,’” kata Magnus.
Magnus mengatakan sekarang dia melihat peristiwa seperti itu penting bagi mahasiswa Katolik. Proses Ekaristi sangat diperlukan di kampus-kampus.
“Rasanya semua orang di sekitarmu menganggapmu aneh. Namun ini adalah bentuk kesaksian. Dan senang mengetahui bahwa Anda tidak sendirian,” ungkap Magnus.
Demikian pula di Arizona State, Pastor Clements mengatakan prosesi Ekaristi telah membantu menumbuhkan rasa kebersamaan di kalangan mahasiswa Katolik. Perasaan bahwa mereka adalah bagian dan saling terhubung adalah perasaan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang beriman Katolik. Power mengatakan prosesi Ekaristi telah membantu pemahamannya tentang hakikat Injili dalam agama Katolik.
“Saya pikir, bagi saya, ini adalah sebuah pengingat penting akan kesaksian publik akan iman saya: untuk mendapatkan pengingat bahwa apa yang Yesus katakan kepada saya, bukan sekedar kebenaran intelektual yang saya setujui, atau apa yang saya lakukan pada hari Minggu. Ini adalah keseluruhan hidup saya,” kata Power yang berasal dari Scottsdale, Arizona.