SURABAYA, Pena Katolik – Panggilan seseorang, sering menjadi satu bagian dari “misteri hidup”, tidak ada yang dapat sepenuhnya berhasil menerka, apa yang akan terjadi. Perjalanan panggilan Diakon Agustinus Hermawan OP menjadi salah satu bukti. Saat melihat ke belakang, tak ada bayangan sedikitpun tentang hidup mimbiara, juga pilihan hidup menjadi seorang Imam Dominikan (Ordo Praedicatorum/OP).
“Sejak kecil saya tidak pernah bercita-cita menjadi romo atau pastor. Saya tidak pernah berpikir, atau membayangkan suatu saat akan menjadi pastor atau romo. Saya juga tidak pernah aktif di Gereja. Saya kalau ke gereja, ya datang tidak pernah menjadi misdinar atau kegiatan lain seperti kegiatan lain seperti putra altar,” kata Diakon Agus, panggilan akrab Diakon Agustinus, saat ditemui di Gereja Redemptor Mundi Surabaya, Jawa Timur, 11 April 2023.
Namun, sejak kecil, dalam diri Agus selalu terkesan dengan para imam yang ia lihat setiap kali mengikuti Misa setiap hari Minggu. Agus terkesan dengan cara para Romo berkomunikasi, terutama dengan anak-anak.
“Yang saya tertarik dan senang, sejak kecil itu melihat bagaimana pastor saat memimpin misa, sikap dan dalam berkomunikasi dengan umat atau anak-anak,” kenang Diakon Agus.
Namun, ketertarikan itu tak langsung menjadi sebuah panggilan dan kerinduan untuk menjadi imam suatu saat nanti. Agus sama sekali tidak tertarik untuk menjadi pastor. Hal ini berlangsung hingga ia menyelesakan pendidikan SD, SMP, dan SMA.
OMK dan Karismatik
Merenungkan perjalanan panggilannya, Diakon Agus menilai bahwa panggilan ini “datang terlambat”. Setelah lulus SMA, ia kuliah hingga lulus S1 Akutansi pada tahun 2005. Ia lalu bekerja sebagai seorang akuntan di Jakarta. Selama masa bekerja inilah, Ia mulai merasakan benih-benih panggilan untuk menjadi seorang imam.
“Setelah tamat kuliah saya langsung bekerja selama dua tahu. Sejak itu saya mulai mengikti kelompok kharismatik, mudika. Sebenarnya saya ikut-ikut saja waktu itu,” kata Diakon Agus.
Suatu hari, Agus ikut sebuah Ekaristi di gereja. Entah mengapa, di sini ada ketertarikan menjadi romo. Di sini boleh jadi menjadi awal ketika Agus mulai menyadari nilai luhur menjadi seorang imam.
“Ketika saya mengikuti misa, saya perhatikan, penampilan romo, cara memimpin misa, bagaimana romo memberikan kotbah. Dalam hati berkata; bagus juga ya romo mememimpin misa tidak jelek-jelek amat sih. Terus saya pikir bagaimana kalau saya jadi romo juga,” katanya dalam hati.
Mungkin saat itulah bibit panggilan mulai bertumbuh. Kata orang, gayung pun bersambut. Tahun 2006, kelompok Mudika di mana Agus bergabung mengadakan retret di Puncak, Bogor yang didampingi Romo Adrian Adiredjo OP. Saat itu, Romo Adrian baru setahun ditahbiskan menjadi imam. Di sinilah, Agus berjumpa dengan Romo Adrian dan mulai mengenal Ordo Pewarta (Ordo Praedicatorum/OP).
“Saat itulah pertemuan pertama dengan Romo Adrian,” kenangnya.
Dua tahun kemudian, Agus bertemu lagi dengan Romo Adrian di Jakarta. Saat itu, Badan Pelayanan Keuskupan (BPK) Pembaruan Karismatik Katolik (PKK) Keuskupan Agung Jakarta mengadakan rekoleksi dan pembicaranya adalah Romo Adrian. Ketika datang untuk kedua kali ini, Romo Adrian datang membawa brosur Dominikan.
Saat itu ada waktu bagi Agus dan Romo Adrian untuk berbicara lebih mendalam tentang panggilan. Pertanyaan Agus saat itu adalah tentang kemungkinan untuk seseorang yang sudah bekerja, untuk dapat diterima di sebuah kongregasi religious. Agus bertanya, apakah ia yang sudah dua tahun bekerja, dapat diterima untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biarawan dan juga menjadi seorang imam.
“Kalau sudah dua tahun di luar, apalagi sudah bekerja, boleh kah orang seperti saya ini masuk ke seminari? Apakah belum terlambat ya romo?” begitu tanya Agus saat itu.
Pertanyaan ini dengan mudah dijawab oleh Romo Adrian.
“Ya, masih bisalah,” jawabnya.
Saat itu, Romo Adrian menyerahkan brosur Ordo Pewarta kepada Agus untuk dibawa pulang ke rumah.
“Karena belum punya niat, saya simpan saja di rumah brosur tersebut,” kata Diakon.
Semakin Subur
Usai pertemuan kedua itu, apalagi setelah membaca beberapa brosur, riak-riak kecil mulai kelihatan. Namun, Agus masih merasa seperti biasa. Keinginan menjadi seorang imam bertumbuh sedikit demi sedikit. Masih ada keragugan, apakah tidak terlambat kalau saya masu semunari dan menjadi romo? Pertanyaan-pertanyaan ini terus muncul. Ia merasa perlu membicarakan keinginan ini, namun tidak tahu kepada siapa ia dapat bercerita.
Keraguan Agus tak berhenti di sini. Ia pun masih merahasiakan keinginan ini kepada kedua orangtuanya. Ia masih merahasiakan dan masih mencari waktu yang cocok untuk menyampaikan mimpin ini kepada orangtuanya. Sampai pada suatu hari, Agus berani menyampaikan kepada ibunya, meski saat itu ia belum sepenuhnya menyampaikan keinginan untuk masuk seminari dan jadi romo.
“Saya belum berani berterus terang ke orangtua, apalagi ke mami. Saya masih mencari-cari waktu yang tepat dulu,” jawab Diakon Agus.
Meksi begitu, komunikasi antara Agus dan Romo Adrian semakin sering dilakukan. Di sini, Agus telah mulai menyemai dan mengembangkan penggilan hidupnya menjadi seorang religious. Di sini juga, Ordo Pewarta sepertinya telah menjadi pilihan.
Agus tak langsung menyampaikan secara detail rencananya masuk Biara Ordo Pewarta. Tahun 2010, ia memulai masa aspiran dalam Ordo Pewarta di Surabaya. Ketika tiba saatnya ia berani mengungkapkan keinginannya masuk menjadi calon Imam OP, di luar dugaannya, sang ibu menerimanya dengan penuh kerelaan. Sang ibu merelakan Agus untuk mempersembahkan hidupnya bagi pewartaan Kabar Gembira.
“Kalau itu pilihanmu, sekolahlah baik-baik,” begitu Diakon Agus menirukan kata-kata ibunya.
Herman/ Surabaya