Home BERITA TERKINI Imam Boleh Memberkati Pasangan Sejenis Sebagai umat Biasa, namun Bukan Berupa Berkat...

Imam Boleh Memberkati Pasangan Sejenis Sebagai umat Biasa, namun Bukan Berupa Berkat Pernikahan

0
Antoine Mekary | ALETEIA

VATIKAN, Pena Katolik – Dikasteri Ajaran Iman Vatikan baru saja menerbitkan deklarasi doktrinal Fiducia Supplicans yang disetujui oleh Paus Fransiskus. Dalam doktrin ini, Vatikan menjelaskan mengenai ajaran pernikahan dalam Gereja Katolik yang tidak berubah, antara pria dan wanita serta pro-kreasi.

Namun, Vatikan juga menjelaskan satu poin yang memungkinkan seorang imam memberkati pasangan sesama jenis. Berkat yang dimaksud dalam poin ini bukan berkat pernihakan, namun berkat biasa yang dapat diberikan seorang imam kepada umat secara umum. Berkat ini sama sekali tanpa ritualisasi atau kesan pernikahan apa pun, yang berarti pemberkatan ini tidak menandakan persetujuan perkawinan.

Ketika dua orang meminta pemberkatan, meskipun situasi mereka sebagai pasangan “tidak biasa”/pasangan sejenis, seorang imam yang ditahbiskan dapat menyetujuinya dan memberi berkat, sama seperti kalau umat pada umumnya. Sikap kedekatan pastoral ini harus menghindari unsur-unsur yang menyerupai ritus pernikahan. Ini berarti, berkat ini sama sekali berbeda dengan berkat pernikahan.

Fiducia Supplicans mengeksplorasi tema pemberkatan, membedakan antara yang bersifat ritual dan liturgi, dan yang spontan. Dalam kategori kedua inilah, ada pertimbangan mengenai kemungkinan menyambut setiap orang, bahkan mereka yang tidak hidup sesuai dengan norma-norma doktrin moral Kristen. Namun mereka dengan rendah hati meminta untuk diberkati. Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang hidup dalam “situasi yang tidak teratur” (irregular situations), misalnya pasangan sejenis.

Media Salah Memberitakan

Banyak media di banyak negara, termasuk di Indonesia, salah dalam mengartikan maksud berkat yang dijelaskan dalam Fiducia Supplicans. Media-media Indonesia yang memuat kesalahan ini diantaranya: seperti BBC, Detik, kabar24.bisnis, Tempo, Sinar Harapan, dan Media Indonesia.

Media-media yang terbit di Indonesia salah dalam memahami poin-poin yang disampaikan dalam Fiducia Supplicans. Kesalahan ini terutama terkait berkat untuk pasangan sesama jenis dan tentang penjelasan tentang Sakramen Pernikahan. Media-media ini mencampuradukkan makna berkat secara umum dengan Sakramen dengan penjelasan yang tidak tepat bahkan salah.

Judul di setiap pemberitaan dari beberapa media di Indonesia juga cenderung mengaburkan pesan inti dari Fiducia Supplicans. Ada kesan bahwa media-media ini sama sekali tidak membaca dokumen asli Fiducia Supplicans dan hanya menterjemahkan dari media lain berbahasa Inggris.

Dalam pemberitaan media ini, misalnya dikatakan bahwa “Gereja mengajarkan bahwa ketertarikan terhadap sesama jenis bukanlah dosa, namun tindakan homoseksual adalah dosa”.  Kalimat ini salah dan bahkan bertentangan dengan apa yang ditulis dalam Fiducia Supplicans.

Deklarasi Fiducia Supplicans sama sekali tidak membahas mengenai keterkaitan antara ketertarikan sesama jenis dengan dosa. Media-media ini mencampuradukkan beberapa ajaran Gereja dengan cara yang sama sekali tidak tepat.

Deklarasi Fiducia Supplicans bahkan memperjelas bahwa ajaran Gereja tentang hubungan seksual hanya “menemukan maknanya yang alami, pantas, dan sepenuhnya manusiawi” dalam “persatuan yang eksklusif, stabil, dan tak terpisahkan antara seorang pria dan seorang wanita,”. Artinya, hubungan seksual dapat dibenarkan dalam relasi perkawinan antara pria dan wanita. Dikasteri Ajaran Iman menekankan bahwa Gereja mempunyai hak dan kewajiban untuk menghindari ritus apa pun yang mungkin bertentangan dengan keyakinan ini atau menimbulkan kebingungan.

Poin-poin Penting

Sudah 23 tahun telah berlalu sejak Dikasteri Ajaran Iman menerbitkan deklarasi Dominus Jesus pada bulan Agustus 2000, sebuah dokumen yang sangat penting secara doktrin.

Fiducia Supplicans dimulai dengan pendahuluan dari prefek, Kardinal Victor Fernandez, yang menjelaskan bahwa deklarasi tersebut mempertimbangkan “makna pastoral dari berkat”. Dalam hal ini, ada kemungkinan untuk “perluasan dan pengayaan pemahaman klasik” tentang berkat melalui refleksi teologis “berdasarkan pastoral visi Paus Fransiskus”.

Refleksi ini “menyiratkan perkembangan nyata dari apa yang telah dikatakan tentang pemberkatan selama ini. Berkat mungkin diberikan kepada pasangan sesame jenis tanpa secara resmi mengesahkan status mereka atau mengubah dengan cara apa pun ajaran abadi Gereja tentang pernikahan. Ini berarti, berkat yang diberikan kepada pasangan sesama jenis ini adalah berkat sebagai umat biasa, yang datang karena dilandasi sikap iman dan kesadaran sebagai seorang berdosa yang ingin memperoleh berkat dari Allah.

Panduan berkat ini juga berlaku bagi umat Katolik yang menikah lagi secara sipil tanpa menerima pembatalan pernikahan. Dengan demikian, seorang yang sebelumnya menikah secara Katolik, namun menikah lagi dengan pasangan lain secara sipil, masih dapat menerima berkat, namun berkat ini bukan pengakuan atas pernikahan sipil itu.

Pemberkatan itu tidak dapat diberikan dengan cara yang dapat menimbulkan kebingungan mengenai hakikat pernikahan. Ini berarti, imam perlu bijak dalam memberikan berkat.

“Keyakinan ini didasarkan pada doktrin Katolik abadi tentang perkawinan; hanya dalam konteks inilah hubungan seksual menemukan maknanya yang alamiah, tepat, dan sepenuhnya manusiawi. Doktrin Gereja tentang hal ini tetap dipegang teguh.” (Fiducia Supplicans, no 4).

Menghalangi Pemberkatan Sesama Jenis

Panduan ini merupakan intervensi terbaru – dan paling otoritatif – yang dilakukan Vatikan terhadap isu yang telah melibatkan Gereja universal dalam beberapa tahun terakhir. Pada bulan September 2022, para uskup di wilayah Belgia yang berbahasa Flemish menerbitkan upacara pemberkatan bagi pasangan sesama jenis di keuskupan mereka. Langkah ini tampaknya sangat kontras dengan penegasan Dikasteri Ajaran Iman pada bulan Februari 2021, bahwa Gereja tidak memiliki kuasa untuk memberikan berkat pada perkawinan sesama jenis.

Sekelompok kardinal menulis surat kepada Paus pada bulan Juli (Dubia) untuk meminta klarifikasi mengenai pendirian Gereja mengenai pemberkatan sesama jenis, dan isu-isu lainnya. Panduan Dikasteri Ajaran Iman yang terbit ini didasarkan pada banyak tema yang dipaparkan Paus Fransiskus dalam tanggapannya terhadap para cardinal itu. Tanggapan ini diterbitkan oleh Vatikan pada bulan Oktober lalu.

Dikasteri Ajaran Iman menegaskan bahwa pedomannya akan menghalangi upaya selanjutnya untuk meresmikan pemberkatan tersebut. Apa yang telah dikatakan dalam deklarasi ini mengenai pemberkatan pasangan sesama jenis sudah cukup untuk memandu kebijaksanaan dan kebapakan para imam yang ditahbiskan. Di luar panduan ini, tidak ada tanggapan lebih lanjut mengenai cara-cara yang mungkin untuk mengatur rincian pemberkatan jenis ini.

Fiducia Supplicans terdiri dari 5.000 kata. Dasar pedoman mengenai pemberkatan pasangan sesama jenis ini didasarkan pada perbedaan baru antara pemahaman liturgi dan pemahaman “pastoral-teologis” tentang pemberkatan. Dikasteri Ajaran Iman mengatakan bahwa pemberkatan pastoral, dibandingkan dengan pemberkatan yang dilakukan berdasarkan ritus liturgi yang diformalkan, bisa lebih “spontan” dan tidak terikat oleh “persyaratan moral”.

“Justru dalam konteks inilah seseorang dapat memahami kemungkinan untuk memberi berkat dalam situasi yang tidak biasa, dan untuk pasangan sesama jenis tanpa secara resmi mengesahkan status mereka, atau mengubah dengan cara apa pun ajaran abadi Gereja tentang pernikahan,” tulis Kardinal Victor Fernández, Prefek Dikasteri Ajaran Iman.

Dikasteri Ajaran Iman mengatakan pedoman barunya merupakan kelanjutan dari teks tahun 2021 karena pedoman sebelumnya hanya berlaku untuk “berkat liturgi,” yang mensyaratkan “bahwa apa yang diberkati harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan, sebagaimana diungkapkan dalam ajaran Gereja.”

Liturgi vs Pastoral

Namun Dikasteri Ajaran Iman menyatakan bahwa berkat tidak boleh direduksi hanya pada “sudut pandang” liturgi saja. Terdapat bahaya bahwa tindakan pastoral yang begitu dicintai dan tersebar luas akan tunduk pada terlalu banyak prasyarat moral, yang, di bawah kendali, dapat menutupi kekuatan kasih Allah, yang tak bersyarat, yang menjadi dasar dari tindakan tersebut. anugerah.

“Oleh karena itu, ketika manusia meminta berkah, analisa moral yang mendalam tidak boleh dijadikan sebagai prasyarat untuk memberikan berkat itu. Sebab, mereka yang mencari berkah hendaknya tidak diharuskan memiliki kesempurnaan moral terlebih dahulu.”

Dikasteri Ajaran Iman juga menggambarkan pemberkatan “di luar kerangka liturgi” sebagai bagian dari “wilayah spontanitas dan kebebasan yang lebih besar” yang, meskipun bersifat opsional, merupakan “sumber daya pastoral” yang berharga.

Seseorang yang meminta berkat, kata Dikasteri Ajaran Iman, menunjukkan bahwa dia membutuhkan kehadiran Tuhan yang menyelamatkan dalam hidupnya, dan orang yang meminta berkat dari Gereja mengakui kehadiran Tuhan sebagai sakramen keselamatan yang ditawarkan Tuhan.

“Berkah seperti ini dimaksudkan untuk semua orang. Tidak seorang pun boleh dikecualikan dari mereka.”

Petunjuk untuk mendapatkan berkah

Deklarasi ini menawarkan beberapa kualifikasi untuk memberkati pasangan sesama jenis dan mereka yang berada dalam “situasi yang tidak biasa” untuk “menghindari kebingungan dan membedakannya dengan pemberkatan yang sesuai dengan sakramen pernikahan.”

Pertama, pemberkatan ini harus “tidak diritualisasikan” dan tidak boleh diungkapkan dalam ritus formal apa pun oleh otoritas gerejawi. Ritualisasi seperti itu merupakan pemiskinan yang serius karena hal ini akan menyebabkan kontrol yang berlebihan terhadap sikap yang sangat bernilai dalam kesalehan, sehingga merampas kebebasan dan spontanitas para imam dalam pendampingan pastoral mereka dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, berkat-berkat ini tidak boleh diberikan bersamaan dengan upacara-upacara persatuan sipil (pernihakan sipil), atau dengan pakaian, gerak tubuh, atau kata-kata apa pun, yang pantas untuk pernikahan.

Ketiga, membayangkan bahwa pemberkatan bagi pasangan sesama jenis dan mereka yang berada dalam situasi tidak normal ini dapat diberikan dalam situasi “spontan”. Misalnya ketika mereka bertemu dengan seorang imam dalam kesempatan ziarah ke tempat suci atau dalam pertemuan sepontan dengan seorang imam. Berkat ini sama dengan yang diberikan kepada umat pada umumnya, yang secara sepontan berjumpa dengan gembala mereka.

Keempat, berkah tersebut, tidak mengandung niat untuk melegitimasi apapun, melainkan membuka kehidupan kepada Tuhan, meminta pertolongan-Nya untuk hidup lebih baik, dan juga memohon kepada Roh Kudus agar nilai-nilai =Injil dapat dihayati dengan kesetiaan yang lebih besar. Kepekaan pastoral dari para imam yang ditahbiskan harus dilatih untuk memberikan berkat spontan seperti ini.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version