Home RENUNGAN Bacaan dan Renungan Senin 9 Oktober 2023, Minggu Biasa XXVII (hijau)

Bacaan dan Renungan Senin 9 Oktober 2023, Minggu Biasa XXVII (hijau)

0

Bacaan I: Yun. 1:1-17; 2:10

Datanglah firman TUHAN kepada Yunus bin Amitai, demikian: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku.”

Tetapi Yunus bersiap untuk melarikan diri ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN; ia pergi ke Yafo dan mendapat di sana sebuah kapal, yang akan berangkat ke Tarsis. Ia membayar biaya perjalanannya, lalu naik kapal itu untuk berlayar bersama-sama dengan mereka ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN.

Tetapi TUHAN menurunkan angin ribut ke laut, lalu terjadilah badai besar, sehingga kapal itu hampir-hampir terpukul hancur.

Awak kapal menjadi takut, masing-masing berteriak-teriak kepada allahnya, dan mereka membuang ke dalam laut segala muatan kapal itu untuk meringankannya. Tetapi Yunus telah turun ke dalam ruang kapal yang paling bawah dan berbaring di situ, lalu tertidur dengan nyenyak.

Datanglah nakhoda mendapatkannya sambil berkata: “Bagaimana mungkin engkau tidur begitu nyenyak? Bangunlah, berserulah kepada Allahmu, barangkali Allah itu akan mengindahkan kita, sehingga kita tidak binasa.”

Lalu berkatalah mereka satu sama lain: “Marilah kita buang undi, supaya kita mengetahui, karena siapa kita ditimpa oleh malapetaka ini.” Mereka membuang undi dan Yunuslah yang kena undi.

Berkatalah mereka kepadanya: “Beritahukan kepada kami, karena siapa kita ditimpa oleh malapetaka ini. Apa pekerjaanmu dan dari mana engkau datang, apa negerimu dan dari bangsa manakah engkau?”

Sahutnya kepada mereka: “Aku seorang Ibrani; aku takut akan TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan daratan.”

Orang-orang itu menjadi sangat takut, lalu berkata kepadanya: “Apa yang telah kauperbuat? Sebab orang-orang itu mengetahui, bahwa ia melarikan diri, jauh dari hadapan TUHAN. Hal itu telah diberitahukannya kepada mereka.

Bertanyalah mereka: “Akan kami apakan engkau, supaya laut menjadi reda dan tidak menyerang kami lagi, sebab laut semakin bergelora.”

Sahutnya kepada mereka: “Angkatlah aku, campakkanlah aku ke dalam laut, maka laut akan menjadi reda dan tidak menyerang kamu lagi. Sebab aku tahu, bahwa karena akulah badai besar ini menyerang kamu.”

Lalu berdayunglah orang-orang itu dengan sekuat tenaga untuk membawa kapal itu kembali ke darat, tetapi mereka tidak sanggup, sebab laut semakin bergelora menyerang mereka.

Lalu berserulah mereka kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, janganlah kiranya Engkau biarkan kami binasa karena nyawa orang ini dan janganlah Engkau tanggungkan kepada kami darah orang yang tidak bersalah, sebab Engkau, TUHAN, telah berbuat seperti yang Kaukehendaki.”

Kemudian mereka mengangkat Yunus, lalu mencampakkannya ke dalam laut, dan laut berhenti mengamuk. Orang-orang itu menjadi sangat takut kepada TUHAN, lalu mempersembahkan korban sembelihan bagi TUHAN serta mengikrarkan nazar.

Maka atas penentuan TUHAN datanglah seekor ikan besar yang menelan Yunus; dan Yunus tinggal di dalam perut ikan itu tiga hari tiga malam lamanya. Lalu berfirmanlah TUHAN kepada ikan itu, dan ikan itupun memuntahkan Yunus ke darat.

Demikianlah Sabda Tuhan

U. Syukur Kepada Allah

Mazmur Yun. 2:2-4,7

  • Katanya: “Dalam kesusahanku aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku, dari tengah-tengah dunia orang mati aku berteriak, dan Kaudengarkan suaraku.
  • Telah Kaulemparkan aku ke tempat yang dalam, ke pusat lautan, lalu aku terangkum oleh arus air; segala gelora dan gelombang-Mu melingkupi aku.
  • Dan aku berkata: telah terusir aku dari hadapan mata-Mu. Mungkinkah aku memandang lagi bait-Mu yang kudus?
  • Ketika jiwaku letih lesu di dalam aku, teringatlah aku kepada TUHAN, dan sampailah doaku kepada-Mu, ke dalam bait-Mu yang kudus.

Bacaan Injil – Lukas 10:25-37

Pada suatu ketika, seorang ahli kitab berdiri hendak mencobai Yesus, “Guru, apakah yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus kepadanya, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Jawab orang itu, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu.

Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata Yesus kepadanya, “Benar jawabmu itu. Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”

Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata lagi, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Jawab Yesus, “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulnya, dan sesudah itu meninggalkannya setengah mati.

Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu. Ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu. Ketika melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.

Lalu datanglah ke tempat itu seorang Samaria yang sedang dalam perjalanan. Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasih. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah menyiraminya dengan minyak dan anggur.

Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya, ‘Rawatlah dia, dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya waktu aku kembali.’

Menurut pendapatmu siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab orang itu, “Orang yang telah menunjukkan belas kasih kepadanya.” Yesus berkata kepadanya, “Pergilah, dan lakukanlah demikian!”

Demikianlah Injil Tuhan.

U. Terpujilah Kristus.

SIAPAKAH SESAMAKU MANUSIA?

Kita mempunyai semboyan yang sangat tepat bagi orang Katolik di Indonesia. Inilah warisan berharga dari Mgr Albertus Soegijapranata SJ, Uskup putera asli Indonesia pertama: “Jadilah 100% Katolik, 100% Indonesia”. Lalu, apa yang dimaksud dengan “100% Katolik” itu? Mungkin ada yang berpendapat bahwa itu identik dengan “hidup suci, jujur dan baik hati,” karena itu, ukurannya adalah rajin ke Misa tiap hari, baca Kitab Suci tiap pagi, doa Rosario sesering mungkin, pergi ziarah setiap bulan Maria, doa novena dan masih ditambah puasa Senin-Kamis serta matiraga. Kriteria itu kalau hanya untuk dirinya pribadi sendiri, ya boleh saja; asalkan jangan digunakan sebagai alat untuk menilai atau menghakimi orang lain hanya dengan satu ukuran itu saja.

Perikop Injil hari ini berkisah tentang Orang Samaria yang murah hati (good Samaritan), semoga dapat melengkapi ukuran “100% Katolik” itu. Orang beriman Katolik yang baik perlu tercermin secara nyata dalam tingkah laku atau perilakunya yang peduli pada nasib orang lain khususnya yang sedang menderita dan membutuhkan perhatian. Ia tidak boleh bersikap “acuh tak acuh” atau “cuek” melulu.

Kisah ini seperti tulisan Penginjil Lukas yang dituturkan Tuhan Yesus kepada seorang ahli Taurat yang merasa dirinya “lebih ahli dan menguasai” ayat-ayat Kitab Suci. Bermula dari pertanyaan, yang bernada “ingin menguji” Yesus: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Luk.19: 25).


Seperti biasanya Yesus tidak menjawab langsung, IA balik bertanya, apa yang tertulis dalam Kitab hukum Taurat. Karena ia seorang ahli Taurat, ia hafal di luar kepala bunyi ayat-ayat dari Kitab Ulangan 6: 5 dan Kitab Imamat 19: 18 tentang mengasihi ALLAH dengan segenap jiwa, kekuatan dan akal budi serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Dan Yesus membenarkannya. Namun didorong oleh rasa penasaran – karena niat jahatnya ingin menjatuhkan nama baik Tuhan Yesus di depan umum – si Ahli Taurat itu masih mengejar lagi dengan satu pertanyaan: “Dan siapakah sesamaku manusia?” (ayat 29).

Untuk menjawab pertanyaan itu, dikisahkan oleh Yesus sebuah ceritera tentang Orang Samaria yang murah hati. Kisah dari Yesus itu sangat menarik (seperti biasanya!). Konon, ada seseorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho dirampok habis-habisan dan badannya disiksa sampai luka parah. Badannya tergeletak loyo di pinggir jalan. Seorang imam kebetulan melalui tempat itu, lewat terus dari seberang jalan. Mungkin karena “najis” bagi seorang imam memegang orang yang sudah sekarat mau jadi mayat. Ada pula seorang Lewi, keturunan terhormat dari para Imam, juga bersikap sama: hanya menoleh dari seberang jalan lalu langsung pergi. Mungkin mereka berdua itu hanya berkata dalam hati “Kasihan ya orang itu”, tapi tidak berbuat apa pun karena itu buru-buru pergi. Maka lewatlah seorang Samaria, orang yang dianggap “bukan Yahudi, orang ‘najis’ dan “kafir”, justru menghampiri si korban. Ia menolongnya tidak tanggung-tanggung: Luka-lukanya dibalut dengan perban; ia dibawa ke rumah penginapan yang terdekat dan dititipkan untuk dirawat di sana. Bahkan orang Samaria itu masih berjanji akan melunasi semua biaya yang digunakan untuk perawatannya. Sungguh luhur sekali budi “orang kafir” itu, padahal ia tidak mengenal siapa si korban itu. Dari ketiga orang lewat itu, siapakah sesama dari si korban, demikian pertanyaan Yesus kepada ahli Taurat itu. Dan dengan berat hati ia jawab: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (ayat 37). Si ahli Taurat ini tidak mau mengakui jujur dengan menyebut “Orang Samaria” karena berat sekali untuk mengakui kebaikan yang dibuat oleh “orang kafir”: orang Samaria selalu dicap sebagai orang yang pasti salah dan jahat karena “kafir,” itulah pola pikir yang keblinger, meski ia seorang ahli!

Refleksi: Andaikata kita lewat jalan itu dan melihat orang tergeletak luka parah, apa reaksi kita? Mungkin akan berhenti dan menelpon ambulan? Atau lewat saja karena alasan tidak ada waktu, tidak mau repot, nanti malah dituduh pelakunya…. dan lain-lain alasan yang masuk akal, tetapi tidak memenuhi syarat bagi orang yang peduli atau berbela rasa.

“100% Katolik” memang tidak ada “barometer” lain, kecuali hukum cinta kasih: Kasih kepada ALLAH dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi serta kasih kepada sesama manusia seperti diri sendiri. Dan mencintai sesama manusia tidak diartikan sesama suku, sesama asal daerah, sesama agama, sesama bangsa, sesama partai, sesama kelompok, sesama komunitas atau sesama keluarga saja! Cinta kasih Kristus menembus batas-batas suku, bangsa, agama, strata sosial dan paham politik serta sekat-sekat premordial lainnya. Bahkan cinta kasih-NYA mengajarkan untuk mencintai musuh, lawan bebuyutan, orang yang pernah menjatuhkan atau menyakiti hati!

Adakalanya manusia mengesampingkan bahkan menolak untuk bertanggung jawab untuk bertindak dalam semangat kasih, seperti dilakukan oleh Yunus yang lari dari panggilannya untuk menyerukan pertobatan kepada penduduk Niniwe seperti dikisahkan dalam Kitab Yunus dalam Bacaan Pertama. Penolakan itu mungkin disebabkan oleh kemalasan tetapi juga mungkin oleh kesombongan dan ketidak-pedulian terhadap sesama. Bagaimana dengan sikap batin kita bila menerima panggilan seperti Yunus itu? Relakah hati kita bila menyaksikan orang lain itu bertobat atau berubah menjadi orang yang baik hati? (Paulus Krissantono)

Abraham, Bapa Bangsa

Abraham, leluhur bangsa Yahudi, diakui dalam iman Kristiani sebagai Bapa Bangsa, Bapa para beriman dan tokoh teladan iman kepercayaan kepada Allah. Di kalangan bangsa Arab beliau dikenal sebagai “Sahabat Allah”. Gelaran itu terdapat di dalam Kitab II Paralipomenon 20:7.

Abraham adalah putera Terah dan lahir di Ur Kasdim. Menurut Kitab Kejadian 25:7, ia meninggal dunia pada umur 175 tahun dan dimakamkan oleh anaknya Ishak dan Ismael. Mulanya ia bernama ‘Abram’ yang berarti “Bapa yang Agung”, diubah Tuhan menjadi ‘Abraham’ yang berarti “Bapa banyak orang” atau “Bapa sejumlah besar bangsa” (Kej 17:4,5). Dalam surat Roma bab 4, Paulus menunjukkan bahwa Abraham adalah bapa semua orang beriman, “bukan hanya mereka yang bersunat, tetapi juga yang mengikuti jejak iman Abraham.” (Rom 4:12).

Sekitar tahun 1850 seb. masehi, Abraham dipanggil Tuhan untuk meninggalkan negerinya sendiri dan pergi ke suatu negeri baru yang akan ditunjukkan Tuhan kepadanya. Tuhan berjanji kepadanya bahwa ia akan menjadi bapa bagi suatu bangsa yang besar dan dalam namanya banyak bangsa akan diberkati. Sara, istri Abraham mandul dan tidak mungkin mempunyai anak lagi. Kanaan, tanah terjanji itu, telah dihuni oleh banyak suku bangsa yang menyembah dewa-dewi kafir. Meskipun demikian, Abraham melakukan apa yang Tuhan katakan kepadanya dengan penuh iman sehingga Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Karena imannya itu, Tuhan membuatnya kudus dan layak bagiNya.

Janji Tuhan mulai dipenuhi dalam kelahiran Ishak pada masa tua Sara. Tetapi Tuhan sekali lagi mau mencobai Abraham dengan meminta Abraham mempersembahkan Ishak, puteranya yang tunggal. Demi imannya, Abraham melakukan apa yang diminta Tuhan dari padanya. Ia membawa Ishak untuk dikorbankan di gunung Moria, tetapi Tuhan akhirnya membatalkan hal itu. Cerita ini mau menunjukkan secara tegas bahwa Tuhan tidak menghendaki lagi korban manusia, sebagaimana dipraktekkan oleh suku-suku bangsa di sekitar. Iman Abraham yang kokoh itu dipuji di dalam Kitab Sirakh 44:19-21; Rom 4; Gal 3:7, dan Ibr 11:8-12.

Kedermawanan dan keramah-tamahan Abraham ditunjukkan secara jelas di dalam hubungan pribadinya dengan keponakannya, Lot. Ketika ternak gembalaan mereka semakin banyak sehingga tidak memungkinkan mereka hidup bersama di suatu daerah, maka Abraham membiarkan Lot memilih tanah yang disukainya (kej 13:5-9). Kejadian 18:1-15 menguraikan keramah-tamahan Abraham kepada 3 orang asing yang datang ke perkemahannya.

Pertemuan dengan Melkisedek yang diceritakan di dalam Kej 14: 18-20 menunjukkan hubungan pertama bangsa Hibrani dengan Yerusalem, yang kemudian menjadi Kota Suci. Dalam Kej 23 Abraham memperoleh tuntutannya atas tanah Palestina dengan membeli tanah pekuburan di Machphela. Pembelian tanah itu sesungguhnya menjadi bukti yang paling kuat dari realitas sejarah Abraham, yang kemudian dipersoalkan beberapa ahli.

Doa Penutup

Di usia senjanya, Abraham tetap setia untuk percaya pada tuntunan-Mu. Kini dalam keseharian kami, kadang kami ragu untuk selalu ad adalam jalan-Mu. Bapa semoga kami akan semakin awas dalam meneliti mana jalan yang harus kami lalui. Amin

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version