Pena Katolik- Singkawang, Minggu 20 Agustus 2023 – Dalam rangka Konferensi Sinodal Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) yang berfokus pada Gereja Masyarakat dan Agama-agama (GERMASA) serta Lingkungan Hidup, acara Dialog Kebangsaan ‘Menuju Indonesia Emas’ menjadi salah satu sorotan utama. Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus, hadir sebagai narasumber dan memberikan wawasan berharga terkait peran Gereja Katolik di Kalimantan Barat.
Majelis Sinode Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) mengumumkan rencana penyelenggaraan Konferensi Sinodal yang berfokus pada Gereja Masyarakat dan Agama-agama (GERMASA) serta Lingkungan Hidup. Konferensi ini akan diadakan dari tanggal 20 hingga 23 Agustus 2023 di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, dengan tujuan memperkuat semangat bersama dalam mengimplementasikan Panggilan dan Pengutusan Gereja dalam konteks misi Allah untuk menyelamatkan dunia.
Konferensi Sinodal GPIB ‘Menuju Indonesia Emas’ tampil dengan gemilang dengan kehadiran narasumber-narasumber terkemuka. Mengacu pada Program Sinodal tahun 2023-2034, Bidang GERMASA dan Lingkungan Hidup GPIB akan menyelenggarakan Konferensi Sinodal GERMASA yang merupakan yang ketiga kalinya diadakan. Konferensi ini merupakan wadah bagi gereja untuk berkolaborasi, berdiskusi, dan menyusun strategi dalam menghadapi isu-isu yang relevan dengan keesaan gereja, lintas iman, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan hidup.
Mgr. Agustinus Agus, Uskup Agung Keuskupan Agung Pontianak, dipercayakan menjadi narasumber dalam Dialog Kebangsaan “Menuju Indonesia Emas” yang akan digelar dalam rangka Konferensi Sinodal GERMASA GPIB. Dialog Kebangsaan ini dijadwalkan pada hari Minggu, 20 Agustus 2023, di Vihara Tri Dharma Bumi Raya Sui Kheu Thai Kung Singkawang, Kalimantan Barat. Dialog tersebut bertujuan untuk membahas pemikiran dalam berbagai perspektif, termasuk sosial, politik, ekonomi, dan teologi, guna membantu gereja bersiap menghadapi tantangan-tantangan masa depan.
Acara itu juga diramaikan oleh sejumlah tokoh berpengaruh, di antaranya mantan Walikota Singkawang, Tjhai Chui Mie, Laksamana Madya TNI Purn Robert Mangindaan dari Lembaga Pertahanan Nasional RI, serta Pdt Prof. John Titaley dan Pdt Sylvana Apituley, yang akan memberikan wawasan dan perspektif berharga dalam menjawab tantangan masa depan gereja dan masyarakat.
Dalam paparannya, Uskup Agustinus memaparkan bagaimana sejarah peran Gereja Katolik di Kalimantan Barat, yang dimulai pada permulaan abad ke-19. Gereja katolik, menurut Uskup Agustinus tidak hanya memusatkan perhatian pada kehidupan rohani, tetapi juga terlibat dalam membangun infrastruktur pendidikan dengan mendirikan sekolah Nyarumkop pada tahun 1916. Upaya ini diteruskan dengan mendirikan rumah sakit dan mengenalkan bibit karet unggul ke Sejiram, yang mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah.
“Gereja katolik bermisi di Kalimantan Barat ada tiga hal pokok yang dilakukan diantaranya membangun pendidikan supaya masyarakat pintar, membangun rumah sakit supaya masyarakat sehat dan melatih pemberdayaan ekonomi supaya ekonomi berjalan,” kata Uskup Agustinus.
Menjadi 100% Katolik- 100% Indonesia
Salah satu nilai penting yang ditekankan oleh Uskup Agustinus adalah prinsip inklusivitas Gereja Katolik. Beliau mengutip kata-kata Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, “100 % Katolik 100 % Indonesia,” yang mencerminkan semangat gereja dalam tidak membeda-bedakan suku, agama, dan golongan dalam pelayanannya. Dalam konteks ini, Uskup Agustinus merujuk pada ajaran Yesus dalam Matius 25:40, bahwa segala sesuatu yang dilakukan untuk saudara yang paling hina adalah seperti dilakukan untuk Tuhan sendiri. (Mt.25,40- “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya utk Aku”).
Menyambut ajaran itu, Uskup Agustinus mengingatkan peran umat GPIB dalam memperhatikan dan merespons kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Pandangan itu tercermin dalam Gaudium et Spes dari Paus Paulus VI, yang menyatakan bahwa kegembiraan, harapan, duka, dan kecemasan manusia dewasa ini adalah bagian dari perhatian Kristus dan murid-muridnya. Dalam hal ini, Paus Fransiskus juga menyebutkan dalam Evangeli Gaudium bahwa umat Kristiani, termasuk para imam katolik dan semua pendeta GPIB, memiliki tanggung jawab membangun dunia yang lebih baik.
Uskup Agustinus juga mengingatkan tentang dokumen Nostra Aetate dari tahun 1965, yang menyatakan bahwa Gereja Katolik mengakui nilai-nilai benar dan suci dalam agama-agama non-Kristen. Beliau menekankan pentingnya menolak diskriminasi dan penindasan atas dasar ras, warna kulit, status, atau agama, sejalan dengan semangat Kristus.
Dalam Dialog Kebangsaan hari itu, Uskup Agustinus memberikan wawasan mendalam tentang Gereja Katolik yang telah terlibat dalam membangun Kalimantan Barat serta berkontribusi pada semangat inklusivitas, kepedulian sosial, dan harmoni antaragama. Konferensi Sinodal GPIB semakin menjadi panggung penting bagi pemikiran dan aksi kolektif dalam mewujudkan Indonesia Emas melalui peran gereja dan masyarakat.
Tiga pokok integritas pemimpin
Menjelang penutup acara, beberapa majelis bertanya tentang pilihan siapa yang paling baik untuk menjadi pemimpin di Indonesia tahun 2024 sebab menurut salah satu peserta itu dikatakan bahwa mulai saat ini jelas sudah masuk tahun politik.
Mula-mula Uskup Agustinus menegaskan untuk memilih pemimpin tidak boleh dengan paksaan. Baginya memilih pemimpin harus didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang beradab. Menanggapi hal itu, Uskup Agustinus menekankan tiga pokok integritas memilih seorang pemimpin. Pertama, pemimpin yang takut akan Tuhan. Setiap pemimpin yang takut akan Tuhan bisa dipastikan kehidupannya secara moral baik.
Kedua, pemimpin yang mengedepankan kepentingan banyak orang. Bukan untuk keuntungan diri tapi mampu melihat dan memperhatikan orang-orang kecil. Kemudian yang ketiga, pemimpin yang mau melayani semua kalangan.
“Untuk itu janganlah memilih pemimpin yang hanya mau menjadi ‘pejabat’,” kata Uskup Agustinus sembari menutup sesinya. (PEN@/Samuel).