28.5 C
Jakarta
Wednesday, May 1, 2024

Jutaan Orang Menjadi Korban Perdagangan Manusia data Tahun 2021, Kawin Paksa Salah Satunya

BERITA LAIN

More

    NEW YORK, Pena Katolik – Jutaan orang di seluruh dunia menjadi korban perdagangan manusia, kerja paksa, dan eksploitasi seksual. Laporan terbaru dari Departemen Luar Negeri A.S., kelompok anti-perdagangan manusia, dan pemimpin global lainnya berfokus pada masalah serius perdagangan manusia, kerja paksa, dan perbudakan modern.

    Pada tahun 2021, 27,6 juta orang di seluruh dunia menjadi sasaran kerja paksa. Angka itu berasal dari laporan September 2022, yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional, Organisasi Migrasi Internasional PBB, dan kelompok advokasi hak asasi manusia yang berbasis di Australia, Walk Free Foundation.

    Menurut laporan itu, 17,3 juta orang menjadi korban eksploitasi kerja paksa, 6,3 juta korban eksploitasi seksual komersial paksa, dan 3,9 juta orang menjadi korban kerja paksa yang dipaksakan negara pada hari tertentu di tahun 2021. Angka-angka ini termasuk sekitar 3,3 juta anak menjadi sasaran kerja paksa. Separuh dari anak-anak ini dieksploitasi secara seksual untuk keuntungan komersial.

    Walk Free Foundation pada 16 Juni menerbitkan analisisnya yang terpisah, termasuk peringkat masing-masing negara, dalam edisi terbaru Indeks Perbudakan Globalnya. Diperkirakan 28 juta orang menjadi sasaran kerja paksa tahun lalu, sementara 22 juta lainnya ditemukan dalam pernikahan paksa. Pernikahan paksa sangat lazim di negara-negara Arab dan umumnya dipaksakan oleh anggota keluarga.

    Indeks Perbudakan Global memperkirakan bahwa 50 juta orang (1 dari 150 orang di dunia) hidup dalam perbudakan modern di tahun 2021. Jumlah ini meningkat dari 40 juta orang di tahun 2016.

    Catatan Data

    Ada perdebatan tentang bagaimana mendefinisikan korban perdagangan manusia dan perbudakan. Halaman web Departemen Luar Negeri AS tentang perdagangan manusia mencatat bahwa “perbudakan modern” tidak didefinisikan dalam hukum internasional atau AS. Beberapa kasus kawin paksa mungkin memenuhi definisi AS atau internasional tentang perdagangan manusia, tetapi tidak semua kasus memenuhinya.

    Terlepas dari pandangan yang berbeda, Grace Forrest, Direktur Walk Free, menekankan perlunya memerangi perdagangan manusia dan perbudakan.

    “Perbudakan modern menembus setiap aspek masyarakat kita,” kata Forrest dalam pernyataan 16 Juni 2023.

    Indeks Perbudakan Global mendasarkan perkiraannya pada ribuan wawancara dengan para penyintas yang dikumpulkan dalam survei di 75 negara. Menurut perhitungannya, “perbudakan modern” mengacu pada situasi eksploitatif di mana seseorang tidak dapat menolak atau pergi karena ancaman, kekerasan, paksaan, atau penipuan.

    Indeks Perbudakan Global, yang mencakup pernikahan paksa, menempatkan Korea Utara sebagai yang terburuk: Lebih dari 1 dari 10 orang diperkirakan berada dalam kondisi perbudakan modern. Di Eritrea, sekitar 9 dari 100 orang diperkirakan adalah budak modern. Sekitar 3 dari 100 orang di Mauritania adalah budak, dengan proporsi yang lebih sedikit di Arab Saudi, Turki, Tajikistan, dan Uni Emirat Arab. Sekitar 1 dari 100 orang di Rusia, Afghanistan, dan Kuwait juga berada dalam perbudakan modern.

    Lebih dari separuh orang yang hidup dalam perbudakan modern berada di negara-negara G20. Negara-negara ini membantu mendorong perbudakan dengan mengimpor produk dan perlengkapan yang produksinya bergantung pada kerja paksa. Di antara negara-negara G20, India memiliki 11 juta orang dalam perbudakan modern. Sementara itu, Tiongkok memiliki 5,8 juta orang dan Rusia memiliki 1,9 juta orang. Di Turki perbudakan odern ini bahkan masih terjadi, di mana di negara itu ada 1,3 juta kasus. Sementara itu di AS memiliki 1,1 juta orang.

    Perdagangan manusia dan kerja paksa lebih dekat ke rumah daripada yang dipikirkan banyak orang Amerika. Indeks Perbudakan Global memperingatkan bahwa pekerja migran di sektor pertanian di AS dan Kanada rentan terhadap kerja paksa. Indeks tersebut mengutip penggunaan kerja paksa di penjara umum dan swasta Amerika. Rantai pasokan ke pasar AS juga berisiko menggunakan kerja paksa, kata laporan itu. Wisatawan AS ke Karibia memicu “pariwisata seks” yang bergantung pada eksploitasi seksual dan perdagangan anak di bawah umur.

    Indeks Perbudakan Global membuat peringkat pemerintah negara berdasarkan berbagai faktor yang terkait dengan perbudakan modern: bagaimana negara mengidentifikasi dan mendukung para penyintas; bagaimana sistem peradilan pidana bekerja untuk mencegah perbudakan modern; koordinasi dan akuntabilitas anti-perbudakan pemerintah di tingkat nasional dan daerah; bagaimana negara mengatasi faktor risiko, sikap sosial, dan institusi lain yang memungkinkan perbudakan modern; dan sejauh mana pemerintah dan bisnis menghilangkan kerja paksa dari produksi barang dan jasa.

    Menurut indeks tersebut, Inggris Raya, Australia, dan Belanda memiliki system terkuat terhadap melawan perbudakan modern, diikuti oleh Portugal dan Amerika Serikat. Respon pemerintah terhadap perbudakan modern paling lemah di Iran, Eritrea, Korea Utara, Somalia, dan Libya.

    Departemen Luar Negeri A.S. pada bulan Juni merilis Laporan Trafficking in Persons terbarunya, yang menilai negara-negara di seluruh dunia berdasarkan cara kerja pemerintah mereka untuk mencegah dan menanggapi perdagangan manusia.

    “Setiap tahun jutaan orang dieksploitasi di dalam dan lintas perbatasan,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.

    Untuk mempertahankan peringkat 1, pemerintah harus menunjukkan “kemajuan yang berarti” terhadap perdagangan manusia setiap tahun. Negara Tingkat 2 tidak memenuhi standar minimum ini tetapi masih melakukan “upaya signifikan”. Daftar tingkat 2 ini mencakup negara-negara yang tidak secara proporsional menanggapi jumlah korban perdagangan orang yang signifikan.

    Negara di tingkat 3 tidak memenuhi standar minimum undang-undang AS dan tidak melakukan upaya signifikan untuk melakukannya. Negara-negara ini mungkin menghadapi beberapa pembatasan pendanaan pada bantuan asing.

    Ada 24 pemerintah yang diperingkatkan pada Tingkat 3: Afghanistan, Aljazair, Belarus, Burma, Kamboja, Chad, Tiongkok, Kuba, Curacao, Djibouti, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Guinea-Bissau, Iran, Korea Utara, Makau, Nikaragua, Papua Nugini, Rusia, Sint Maarten, Sudan Selatan, Suriah, Turkmenistan, dan Venezuela.

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI