SAMOSIR, Pena Katolik – Firhot Simbolon baru saja tiba di Samosir. Selama ini, ia adalah perantauan orang Batak yang bekerja di Jambi. Saat lewat di depan Gereja St Mikael Pangururan, ia terkesan dengan arsitektur gereja itu. Tak berpikir lama, ia pun berhenti sejenak untuk melihatnya. “Baru datang dari Jambi kami, datang ke sini ingin melihat gereja,” ujarnya.
Sebagai orang Batak, Firhot paham filosofi bentuk bangunan itu. Dengan tinggi 33 meter dari permukaan tanah, Gereja St Mikael memang dibangun menyerupai rumah adat Batak. Kekhasan rumah adat Batak Toba adalah berupa rumah panggung.
Arsitektur rumah adat ini sebenarnya melambangkan tiga lapisan kosmos orang Batak atau “tri tunggal banua” ‘dunia’. Tiga lapisan ini terdiri dari banua ginjang ‘dunia atas’, banua tonga ‘dunia tengah’, dan banua toru ‘dunia bawah’.
Pusuk Buhit
Atap Gereja St Mikael sengaja tidak dibuat loteng atau penyekat. Hal ini melambangkan sikap yang mengarah ke atas kepada Allah. Sedangkan di bagian tengah, adalah tempat di mana manusia beritus atau berdoa. Gereja ini juga dibangun dengan sebuah ruangan di bagian bawah. Untuk saat ini, bagian bawah ini difungsikan sebagai Museum Pusaka Batak Toba.
Ketinggian ujung atap bagian depan dan belakang juga berbeda. Dalam filosofi orang Batak, hal ini bermakna sebuah harapan di mana anak yang datang kemudian harus lebih baik. Sebagai orang beriman Kristiani, hal ini juga dapat dimaknai, iman manusia kepada Allah akan terus berkembang semakin baik dari waktu ke waktu.
Dosen Antropologi di STFT St Yohanes Pematang Siantar, Pastor Herman Nainggolan OFMCap menjelaskan, gereja ini adalah buah karya Pastor Leonardus Egidius Joosten OFMCap. Ketua Lembaga Pusaka Karo sekaligus penutur sejarah Batak itu bertugas di Paroki Pangururan saat ia mulai membangun Gereja St Mikael. Di dalam kompleks gereja, terdapat juga sebuah sopo, yang tepat berdiri di depannya. “Sopo ini sebenarnya tempat orang-orang untuk berkumpul dan berdiskusi,” ujar Pastor Herman.
Dengan susunan bangunan semacam ini, kompleks gereja sebenarnya dimaksudkan menjadi semacam perkampungan orang Batak. Pastor Herman menjelaskan, di perkampungan Batak pada umumnya terdiri dari beberapa rumah dan juga ada sebuah sopo untuk tempat bertemu.
Satu hal lagi, Gereja St Mikael ini juga dibangun menghadap ke Pusuk Buhit. Pastor Herman menjelaskan, hal ini bisa direfleksikan bahwa berkah berasal dari gunung. Ia melanjutkan, Pusuk Buhit adalah tempat awal mula orang Batak. “Dengan mengarah ke Pusuk Buhit, ini dapat kita maknai juga sebagai mengarahkan kita kepada Yang Ilahi,” ujarnya.
Gereja Simbol
Berjalan mengelilingi Gereja St Mikael ini setiap orang tidak hanya belajar tentang budaya. Di dalam setiap simbol yang dibuat, sekaligus menyiratkan nilai-nilai iman Kristiani. Satu yang langsung jelas terlihat adalah ukiran Yesus dan Ekaristi yang terdapat di bagian depan gereja ini. Pada bagian lebih atas, terdapat juga ukiran St Mikael pelindung Paroki Pangururan. Masih di bagian depan, terdapat juga ukiran empat pengarang Injil.
Di samping kiri dan kanan Gereja St Mikael terdapat relief kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pastor Herman menjelaskan, sebagai sebuah gereja yang dibangun oleh imam-imam Fransiskan terdapat juga ukiran St Fransiskus Asisi di bagian kiri luar gereja.
Saat masuk ke dalam interior gereja, nuansa seni Batak tetap saja terasa kental. Di masing-masing tiang terdapat ukiran yang melambangkan 14 peristiwa Jalan Salib. Sementara itu, di bagian depan interior gereja, terdapat altar yang dihiasi dengan lukisan-lukisan bercorak Batak.
Pastor Herman menjelaskan, warna yang dipakai yaitu merah, hitam, dan putih juga merupakan warna mistis yang selalu dipakai dalam budaya Batak. Warna merah melambangkan kehidupan, hitam itu sesuatu yang gelap, dan putih melambangkan sesuatu yang suci.
Keseluruhan lukisan dan ukiran di Gereja St Mikael juga dibuat dengan ornamen motif gorga yang melambangkan sulur yang tak pernah berhenti. Pastor Herman mengatakan motif ini sebenarnya melambangkan kekekalan. “Beginilah, gereja ini dibangun serupa dengan rumah Batak, namun difungsikan sebagai rumah ibadat,” pungkasnya.
Antonius E. Sugiyanto (Samosir)