Senin, Desember 23, 2024
26.7 C
Jakarta

Satu Abad SD Xaverius Pringsewu: Merindukan Sri Mulyani

Para siswa SD Xaverius Pringsewu bersama Mgr. Albertus Hermelink Gentiaras SCJ. IST

PRINGSEWU, Pena Katololik – Redemtha Wasitah (87 th), guru SD Xaverius Pringsewu, Lampung, merindukan salah satu muridnya yang sekarang menjadi orang penting Indonesia, Sri Mulyani yang menjabat sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia. Sri Mulyani bersekolah di SD Xaverius Pringsewu dan kemudian melanjutkan ke SMP di Tanjung Karang (sekarang Bandarlampung) pada tahun 1975. Redemtha dan Sr Arnolde FSGM (almh) adalah dua guru SD Xaverius Pringsewu, Lampung yang dikunjungi oleh Sri Mulyani ketika menghadiri reuni di Bandarlampung beberapa waktu lalu.

Demikian diungkapkan oleh dr Yohanes Sugiri Ruslan, putera dari Redemtha Wasitah saat membicarakan Reuni Agung Menuju Satu Abad SD Xaverius Pringsewu, Lampung, Kamis (18/05/2023). Cerita tentang Sri Mulyani disampaikan Sr Arnolde kepada Sugiri. Reuni Agung akan berlangsung dua hari, tanggal 19 – 20 Mei 2023. Sekitar 700 orang sudah mendaftarkan diri untuk hadir dalam acara ini. Dan, Ibu Redemtha Wasitah menunggu Sri Mulyani.

Bagi Redemtha Wasitah, demikian dituturkan Sugiri – putera ketiganya, menjadi guru SD Xaverius adalah suatu kebangaan dan martabat. Ini kesan kuat yang selalu diceritakan Wasitah kepada enam anaknya. Kekuatan para suster / biarawati dari Kongregasi Para Suster Fransiskan dari St. Georgeus Martir Thuine dari Jerman dalam membangun manusia melalui pendidikan jelas terlihat dari spirit yang diberikan kepada para guru dan muridnya.

Keteladanan hidup para suster dan juga Romo Kanjeng memberikan makna dalam tentang hidup. Romo Kanjeng adalah nama panggilan Mgr Albertus Hermelink Gentiaras SCJ, uskup pertama Tanjung Karang.

“Ia menanamkan perilaku disiplin, budi pekerti, jujur, terbuka, rendah hati dan menerima semua orang tanpa membedakan agama atau suku,” ujar Sugiri.

Tantangan utama bagi para guru adalah mentransfer nilai-nilai yang sudah ditanamkan para suster kepada para murid. Keberhasilan dunia pendidikan sebenarnya bukanlah nilai, tetapi mentransfer nilai kemanusiaan tersebut agar menjadi bekal bagi para murid untuk hidup selanjutnya. Demikian diurai oleh Redemtha Wasitah sebagaimana dikutip oleh Sugiri.

“Kesan tentang nilai yang sama itu juga yang merupakan kesan dari Titiek,” ujar Wara Indrasti, alumnus SD Xaverius Pringsewu tahun 1970. Ia adalah seorang puteri dari guru SMP Xaverius. Menurut Titiek, nilai yang ia temukan dengan bersekolah di Xaverius dibanding dengan sekolah-sekolah lain adalah kedisiplinan, tata krama, dan non diskriminasi. Reward and pusnishment selalu menjadi indikator dari perilaku anak didik.

“Yang tidak disiplin dan terlambat masuk sekolah ya akan menanggung akibatnya sebagai bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh anak didik,” ujar Titiek.

Syukur dan Bangga

Beberapa alumni bersyukur dan berterimakasih kepada SD Xaverius, Pringsewu, Lampung. Meski berada di daerah belum berkembang, Pringsewu yang waktu itu merupakan kota kecamatan kecil, ada lembaga pendidikan dasar yang cukup bermutu dengan menanamkan dasar nilai berguna bagi kehidupan mereka dalam masyarakat di kemudian hari.

Awie panggilan akrab Wiryanto Yudris adalah alumnus SD Xaverius yang sekarang Bernama SD Fransiskus pada 1975. Dirinya merasa bangga menjadi salah satu alumnusnya. Sekolah ini, menurut Awie telah banyak berkarya dalam memajukan dan meningkatkan kualitas masyarakat Pringsewu. Kualitas itu dibawa para alumni berkarya di berbagai kota di Indonesia. Ia berharap bahwa pemerintah setempat mau bekerjasama dengan alma maternya untuk mempersiapkan generasi baru demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Ketua Panitia Reuni Akbar SD Xaverius Harry H Limaran (pakaian batik) dan Kepala Sekolah SD Fransiskus (d/h SD Xaverius) Sr Yovita FSGM. IST

Rasa syukur juga diungkapkan alumnus SD Xaverius tahun 1973 yakni Agustina Sri Wahyuni,. Ia harus bersyukur karena meski merupakan sekolah Katolik, SD Xaverius pada waktu itu telah menanamkan nilai pluralisme kepada para muridnya yang terdiri dari berbagai strata sosial, agama dan etnis. Ketika sekola, para murid bersatu dan menyatu sebagai Indonesia kecil yang indah, tanpa diskriminasi oleh apapun. Terwujud nilai solidaritas tanpa kamar di antara para murid. Agustina sekarang berdomisili di Yogyakarta. Meskipun jarak memisahkan, ia dengan suka cita membuka bazar yang dimaksudkan untuk memeriahkan Reuni Agung itu.

Sementara Roberthus Hoyan Siubera memiliki kuat atas pondasi yang ditanamkan para Pendidikan SD Xaverius. Yang dikagumi adalah mata pelajar berhitung, menulis halus, budi pekerjti, menyulam, baris berbaris, pemeriksaan kuku, prakarya dan lain-lain. Energi murid menurut Hoyan disalurkan secara positif oleh para guru. Dirinya masih ingat peristiwa ketika menggunakan sepatu Bigboss. Meskipun termasuk sepatu keren pada masanya, sepatu itu tetap ditenteng ketika hujan. Dan, dia harus menerima ketika sepatu di bagian ujung jempol harus rusak terlebih dulu dan menjadi olok-olok rekan-rekannya. Hoyan menganggap bahwa olok-olok itu adalah pendidikan mental secara horizontal.

“Saya terpaksa harus mencari tiga bibit mangga sebagai hukuman menyusul dia menebang pohon mangga yang sedang panen dengan menggunakan chinsaw. Padahal 3 bibit mangga itu tidak ada di Pringsewu dan harus mencari sampai ke Bogor dan itupun dibeli dari Babah Punhok, ayah salah satu rekannya,” ujar Hoyan sambil tertawa.

“Seorang suster harus marah, kecewa dan mendongkol ketika bunga Wijaya Kusumanya dipotong oleh murid-muridnya. Padahal awalnya suster tersebut ingin menunjukkan kepada para murid pada malam hari, proses pemekaran bunga yang termasuk langka tersebut. Namun pada siangnya, suster tersebut terkejut, ketika mengetahui bunga-bunganya sudah dipotong dan dibawa pulang oleh muridnya,” kenang Hoyan.

Petrus Sumaryanto, SD Xaverius angkatan 1976. Sejak kecil dirinya telah disekolahkan di sekolah Katolik. Dengan nilai-nilai humaniora yang telah ditanamkan saat kecil, dirinya merasa tidak kesulitan ketika menjadi pendidik, ia mengajarkan nilai yang sama.

Dari atas ke bawah (kanan) : Robertus Hoyan Siubera, Wiryanto „Awie“ Yudris, Martha Susanti, Agustina SW, Titiek Kamdhani dan murid-murid SD Xaverius (insert). IST

“Saya bersyukur pada jaman itu masih menikmati uang jajan dengan uang sen rupiah. Bahkan uang Rp 5 dapat mengenyangkan perut seharian. Sehingga tidak mengherankan uang sekolah zaman itu tidak mahal. Meski apa-apa murah, yang tidak murah adalah guru karena mereka menuntut disipilin dan tanggung jawab tanpa reserver. Ya kami ikutla,” ujar Petrus Sumaryanto.

Hukuman fisik diterima dan itu berlaku sama untuk murid laki-laki ataupun perempuan. Sebagai contoh, Sumaryanto mengenang, ketika mendapat giliran belum lancar membaca, dirinya mendapat hadiah cambuk. Namun hukuman itu kami terima dengan senang dan tanpa dendam.

“Coba saja, zaman sekarang, pasti sudah dilaporkan dan (dianggap-Red) melanggar HAM. Memang beda, tetapi kami bahagia,” ujar Petrus.

Menyambut Reuni Agung SD Xaverius ini, para alumni berharap SD Xaverius dapat melakukan quantum leap ‘lompatan quantum’ karena transformasi digital dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang ada selama ini. Hanya saja, diingatkan bahwa tiada pengawasan terhadap gadget akan memiliki dampak negatif pada murid-murid yang tidak kenal waktu dalam beradaptasi atas gadget tersebut. Setidaknya itu ditegaskan oleh salah satu alumnus, Martha Susanti Adwiyani, lulusan SD Xaverius tahun 1967.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini